Sebuah rumah pemakaman di Nagano memiliki kontrak. Salah satu mobil pengangkut jenazah mereka saat ini tengah berada di Unit Dinding, tidak kelihatan, dan saat saksi mata dan pejabat terakhir telah meninggalkan rumah kematian, mobil itu mundur ke gerbang yang sama tempat van itu datang dan pergi sebelumnya. Sebuah brankar lipat dikeluarkan, dibuka dan didorong ke dalam bilik kematian; brankar itu dijepitkan rapat-rapat di samping ranjang tempat Furuya tergeletak bergemin dan tanpa ikatan. Selang-selang itu telah dilepaskan dan digulung kembali ke dalam ruangan gelap tempat ahli kimia itu, yang masih tetap tidak terlihat, mengisi beberapa laporannya. Dalam hitungan ketiga, empat orang pengawal mengangkat jenazah Furuya dengan lembut dan meletakkannya di brankar, dan sekali lagi dia diikat, namun kali ini tidak begitu kencang. Sehelai selimut, milik rumah pemakaman, dibalutkan di atasnya, dan saat semuanya sudah nampak rapi, brankar itu didorong kembali menuju mobil. Dua puluh sesudah pengumuman kematiannya, jenazah Furuya Satoru sudah meninggalkan Unit Dinding, menyusuri rute yang berbeda, agar menghindari para demonstran yang masih setiap dan kamera-kamera di sana.
Di rumah pemakaman, jenazah Furuya Satoru dibawa ke ruang persiapan. Lamb dan anak laki-lakinya—Alvin adalah pemilik rumah pemakaman itu. Mereka akan membantu mengawetkan jenazah Furuya Satoru di tempat mereka di Kanto, di meja yang sama dengan saat mereka menyiapkan Taiga Satoru lima tahun silam pada saat kematiannya. Namun Taiga ialah seorang laki-laki tua yang berumur lima puluh lima tahun saat meninggal dunia, tubuhnya mengerut dan membusuk, dan kematiannya sudah bisa diprediksi. Hal itu dapat dijelaskan. Tapi hal itu lain dengan yang dialami anak laki-lakinya. Sebagai orang yang sangat berpengalaman di bidang kematian, secara konstan menangani mayat, Lamb dan Alvin merasa sudah melihat semuanya. Namun kenyataannya mereka kaget saat melihat Furuya Satoru berbaring damai di brankar, wajahnya terlihat begitu tenang, tubuhnya tidak terusik, seorang laki-laki berumur dua puluh tujuh tahun. Mereka telah mengenalnya dengan baik sejak dia masih kecil. Mereka telah bersorak untuknya di lapangan futbol dan seperti semua penduduk Kanto yang lain, dia juga mendoakan untuk karier yang panjang dan cemerlang untuknya. Mereka ikut berbisik dan bergosip bersama seluruh kota saat dia ditangkap. Mereka tercenung saat mendengar pengakuannya dan dengan cepat mempercayai Furuya Satoru saat dia segera menarik kembali pengakuan itu. Kepolisian Kanto dan Detektif Bonjamin terutama, tidak pernah dipercayai di wilayah kota mereka. Furuya Satoru telah ditipu; mereka memukulinya supaya mau mengaku, seperti pada masa silam. Mereka memperhatikan dengan frustasi saat Furuya Satoru disidang dan dinyatakan bersalah oleh para dewan juri kulit putih dan sesudah dia digiring pergi, mereka, sama seperti dengan para penduduk kota yang lain, setengah berharap supaya mayat gadis itu muncul, atau bila mungkin gadis itu yang muncul.
Dengan bantuan dua orang yang lain, mereka mengangkat jenazah Furuya Satoru dari brankar dan dengan lembut mereka meletakkanya di dalam peti mati indah dari kayu ek, yang dipilih oleh ibunya pada hari Senin. Minami Satoru telah membayar sedikit uang muka, dia memiliki asuransi pemakaman—Lamb dan Alvin dengan cepat menyetujui pengembalian uang sepenuhnya jika peti mati itu ternyata tidak diperlukan. Mereka sebetulnya dengan senang hati akan merelakan penggunaan peti mati itu. Mereka telah berdoa supaya mereka tidak perlu hadir di tempat mereka sedang berada pada saat itu—mengambil jenazah Furuya Satoru, membawanya pulang, lalu menyiapkannya untuk upacara dan pemakaman yang mengharukan.
Keempat orang itu mengerahkan tenaga dan memasukkan peti mati itu ke dalam mobil jenazah rumah pemakaman itu, dan pada jam 19.02 Furuya meninggalkan Nagano untuk dipulangkan ke rumahnya.
***
Panggung untuk Najwa—Menggebrak Keras! itu diatur di “ruang pesta” kecil sebuah motel murahan di pinggiran Nagano. Minami Stefa dan Ryusei duduk di kursi-kursi sutradara, sedang dirias untuk kamera-kamera, sementara Sean Najwa berjalan lalu-lalang mondar-mandir dengan gaya gilanya yang biasa. Dia bari saja “terbang” dari sebuah eksekusi di Tokyo, hampir tidak sempat pergi ke Nagano, tapi merasa sangat lega dia melakukannya karena kasus Bella Stefa sudah menjadi salah satu acaranya yang terbaik. Dalam obrolan pendahuluan, sementara para teknisi itu bekerja terburu-buru untuk menyiapkan suara, pencahayaan, riasan dan skrip, Najwa menyadari kalau Minami Stefa belum mendengar tentang kemunculan Harry Kazuya. Dia ada di penjara, bersiap-siap menyaksikan peristiwa besar itu, saat Harry muncul di televisi. Secara insting, Najwa memutuska untuk tidak memberitahu Minami Stefa. Dia akan menyimpannya untuk nanti.
Wawancara pasca eksekusi ialah segmen yang paling dramatis dari acaranya. Tangkap mereka persis beberapa menit sesudah mereka menyaksikan si penjahat mati, dan mereka mungkin akan mengatakan apa pun. Dia membentak seorang teknisi, mengumpati seorang juru kamera, dan berteriak kalau dia siap memulai. Sebuah sapuan bedak terakhir di dahinya, lalu langsung saja sikapnya berubah ketika dia memandang kamera, tersenyum, dan menjadi seorang laki-laki yang sangat welas asih. Sedang kamera merekam, dia menjelaskan di mana dirinya ketika itu, menyebutkan waktu, jam, keseriusan ketika itu, lalu menghampiri Minami Stefa dan mengatakan, “Minami Stefa, sudah selesai saat ini. Ceritakan pada kami, apa yang kau lihat.”
Minami Stefa, selembar tisu di masing-masing tangan—dia telah menghabiskan sekotak sejak makan siang—menepuk-nepuk matanya dan mengatakan, “Aku melihatnya, untuk pertama kali dalam delapan tahun, aku melihat orang yang membunuh anak kesayanganku. Aku menatap matanya, namun dia tidak mau memandangku.” Suaranya terdengar kuat, dan belum ada tanda-tanda kehancuran.
“Apa katanya?”
“Dia mengatakan dia menyesal, dan aku menghargai itu.”
Najwa mencondong maju, mengerutkan dahinya.
“Apakah dia mengatakan kalau dia menyesal sudah membunuh Bella?”
“Kemungkinan seperti itu,” jawab Minami Stefa, namun Ryusei menggeleng dan melirik istrinya.
“Anda tidak setuju dengan itu?” tanya Najwa pada Ryusei.
“Dia mengatakan kalau dia menyesal atas apa yang sudah terjadi pada Bella, bukan menyesal atas apa pun yang dilakukannya,” jawab Ryusei.
“Apa kau yakin?” Minami Stefa sedikit menggertak suaminya.
“Aku yakin.”
“Bukan itu yang aku dengar.”
“Ceritakan pada kami tentang eksekusi itu, ketika dia meninggal,” kata Najwa dengan nada memohon.
Minami Stefa, yang masih agak kesal dengan suaminya, menggeleng dan menyeka hidung dengan selembar tisu. “Kelihatannya sangat gampang. Dia cuma tertidur. Saat mereka membuka tirai itu, dia telah ada di sebuah ranjang kecil di sana, terikat kencang, dan terlihat begitu damai. Dia mengutarakan setiap pesan terakhirnya. Lalu memejamkan mata. Kami tidak tahu apa-apa, tidak ada tanda-tanda kalau obat-obat yang disusupkan padanya itu sudah diberikan, tidak ada. Dia hanya tertidur.”
“Sementara anda memikirkan Bella dan betapa mengerikan kematiannya?”
“Oh, Tuhan, ya benar sekali, anakku yang malang. Dia sangat menderita. Intinya mengerikan…” Suaranya parau dan tercekat, kamera bahkan menyorotnya lebih dekat.
“Apakau kau ingin dia menderita?” tanya Najwa, mengorek, mengilik.
Minami Stefa mengangguk kuat, matanya memejam. Najwa bertanya pada Ryusei, “Apa yang berubah saat ini, Ryusei? Apa artinya ini bagi keluarga kalian?”
Ryusei berpikir sejenak, dan sedang dia berpikir, Minami Stefa menyambar, “Artinya banyak, mengetahui kalau dia telah mati, mengetahui kalau dia telah dihukum. Aku rasa aku akan tidur lebih pulas di malam hari setelah ini.”
“Apakah dia mengatakan kalau dia tidak bersalah?”
“Oh, ya,” sahut Minami Stefa, air matanya hilang ketika itu.
“Sama seperti yang telah kita dengar selama bertahun-tahun. ‘Aku tidak bersalah!’ Nah, saat ini dia telah mati, hanya itu yang bisa aku katakan.”
“Apakah kau pernah berpikir kalau mungkin saja dia tidak bersalah. Bahwa ada orang lain yang membunuh anakmu?”
“Tidak, sedikit saja tidak ada pikiran seperti itu. Monster itu sendiri yang mengaku.”
Najwa menjauhkan diri sedikit. “Apa kau pernah mendengar seorang laki-laki bernama Harry Kazuya?”
Minami Stefa terbengong. “Siapa?”
“Harry Kazuya. Jam setengah enam tadi sore, dia sempat berbicara di televisi di Kanto dan dirinya mengaku sebagai pembunuh Bella.”
“Omong kosong!”
“Ini rekamannya,” kata Najwa, dan menunjuk ke layar yang berukuran dua puluh tujuh inci di sebelah kanannya. Sesuai petunjuk, rekaman video Harry Kazuya muncul. Suaranya dilantangkan; semua orang di panggung terdiam. Sementara Harry bicara, Minami Stefa memperhatikannya dengan saksama, mengerutkan dahi, hampir mencemooh, lalu menggeleng, seolah-olah itu adalah antisipasi untuk tetap yakin bahwa Furuya Satoru adalah pembunuh yang sebenenarnya, sedang makhluk yang sedang dilihatnya itu adalah orang gila yang hanya mau mencari panggung. Namun saat Harry mengeluarkan cincin sekolah itu, dan menyodorkannya di hadapan kamera, dan mengatakan dia telah menyimpannya sepanjang sembilan tahun, wajah Minami Stefa memucat pasi, mulutnya menganga, pundaknya merosot layaknya tulang yang mulai keropos.
Sean Najwa mungkin ialah seorang pendukung teguh hukuman mati, namun seperti kebanyakan pembawa acara televisi kabel, dia tidak pernah membiarkan ideologi menghalangi sebuah cerita sensasional. Kemungkinan kalau orang yang keliru baru saja dieksekusi tidak diragukan lagi akan menjatuhkan nilai penjatuhan pidana hukuman mati, tapi apa pedulinya bagi Najwa. Saat ini dia kebetulan tercebur di tengah cerita panas ini—nomor dua di setiap halaman depan berita lokal—dan dia berencana untuk memanfaatkannya sebaik mungkin.
Pun dia tidak melihat kesalahan ap pun dalam menyerang tamunya sendiri. Dia sudah pernah melakukannya sebelum ini, dan dia akan melakukannya satu kali lagi jika hal itu berhasil memunculkan sebuah drama yang hebat.
Harry menghilang dari layar.
“Apa kau pernah melihat cincin itu?” tanya Najwa.
Minami Stefa tampak seperti baru saja melihat hantu. Lalu dia menenangkan diri dan teringat kalau semuanya direkam pada saat itu. “Ya.” Akhirnya dia berhasil menyahut.
“Dan apakah itu milik putrimu?”
“Tidak mungkin kita mengetahuinya dengan pasti. Siapa, sih orang tadi?”
“Dia seorang p*******a kambuhan dengan catatan kejahatan yang sangat panjang.”
“Nah, itu… Siapa orang yang mau mempercayainya?”
“Jadi, kau tidak mempercayainya?”
“Tentu tidak.” Namun air mata itu hilang, begitu pun keteguhannya. Minami Stefa kelihatannya bingung, dia tidak sanggup berpikir dan sangat kelelahan. Saat Najwa bersiap mengajukan pertanyaan yang lain, dia mengatakan, “Sean, hari ini benar-benar melelahkan. Kami harus segera pulang.”
“Ya, tentu, tinggal satu pertanyaan lagi. Saat ini, sesudah kau menyaksikan eksekusi, menurutmu apa hal itu seharusnya disiarkan di televisi?”
Minami Stefa mencabut pengeras suara dari jaketnya dan berdiri. “Ayolah, Ryusei. Aku sudah capek.”
Wawancara itu berakhir. Minami Stefa, Ryusei, dan kedua anak mereka berjalan keluar motel bersama Jacob yang mengekor mereka di belakang, Mereka masuk ke dalam van gereja dan melaju menuju Kanto.
Di bandara, Ivan menghubungi Kiki melalui telepon dengan memberitahukan berita terakhir tentang perjalanan kecilnya. Dia terjun bebas saat ini, tanpa gagasan ke mana akan pergi dan tidak yakin dari mana dirinya tadi. Saat dia menjelaskan, dengan penuh kelembutan, kalau dia baru saja menyaksikan eksekusi itu dengan mata telanjang. Sedang Kiki tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Begitu pun Ivan. Pembicaraan mereka begitu singkat. Kiki menanyakan apakah suaminya baik-baik saja, dan Ivan menjawab kalau dirinya jelas merasa tidak baik-baik saja.
King Air itu lepas landas pada jam 19.10 dan dengan cepat berada di antara gumpalan awan. Pesawat itu menukik dan menanjak, persis seperti sebuah truk tua di jalanan yang bopeng-bopeng. “Turbulensi sedang,” kata si pilot saat mereka menaiki pesawat. Dengan suara mesin berisik, perasaan terlempar-lempar, pun bayangan buram dan menyesakkan benak dari dua jam terakhir itu, Ivan merasa mudah untuk memejamkan mata dan menarik diri ke dalam cangkang kecilnya sendiri.
Eijun pun ikut menarik diri. Dia duduk mencondong ke depan, kedua siku di atas lutut, dagu di tangan, mata terpejam, dia tenggelam dalam pikirinnya sendiri yang berisikan kenangan-kenangan yang menyakitkan. Martha Tristin ingin berbicara, membuat catatan, menangkap momen itu seluruhnya, namun tidak ada orang yang bisa diwawancarai. Misaki Osikawa menatap penuh waswas ke arah luar jendela, seolah-olah tengah menunggu salah satu sayap pesawat itu patah.
Di ketinggian lima ribu kaki, perjalanan itu begitu mulus dan suara bising di dalam kabin mereda. Eijun membaringkan kursinya dan tersenyum pada Tristin.
“Apa pesan-pesan terakhirnya?” tanyanya.
“Dia mencintai mamanya dan dia mengatakan dirinya tidak bersalah.”
“Itu saja?”
“Itu sudah cukup. Ada sebuah situs Web untuk hukuman mati, yang resmi dan mereka memasang semua pesan terakhir dari seorang terdakwa di sana. Milik Furuya nantinya akan muncul besok siang. Sangat indah. Dia menyebut nama mereka satu per satu, para b******n itu—Bonjamin, Tetsu, Hakim Hirose, Gubernur Iwata. Pokoknya tajam dan sangat indah.”
“Jadi, dia mati sambil melawan?”
“Dia tidak sanggup melawan, namun dia pantang menyerah sedikit pun.”
***
Mobil itu merupakan Buick tua yang dipunyai seorang janda tua, Ryoko, dan diparkir di samping rumahnya yang sederhana di sepotong lahan bersemen di bawah sebatang pohon ek. Dia mengendarainya tiga kali dalam seminggu, dan karena penglihatannya mulai memburuk, dia tahu hari-hari mengemudinya tidak akan lama. Ryoko tidak pernah bekerja di luar rumah, tidak pernah bertemu dengan banyak orang, dan jelas tidak pernah mengusik siapa pun. Mobilnya dipilih sebab mudah diakses dan terlebih lagi, karena diparkir di sebuah jalanan gelap dan tenang di wilayah yang sangat kulit putih.. Buick itu tidak dikunci, meski digembok tidak akan jadi masalah. Pintu di sisi pengemudinya dibuka, sebuah bom Molotov dinyalakan dan dilempar ke dalam, sedang si pelaku menghilang ke dalam kegelapan malam tanpa jejak. Seorang tetangga melihat nyala api, dan panggilan 911 itu terekam pada pukul 19.30.