Saat tirai-tirai yang menggelambir itu tiba-tiba terbuka, Minami Satoru hampir pingsan ketika melihat pemandangan anak laki-laki bungsunya yang terikat erat di ranjang dengan selang menjalar dari kedua lengannya. Dia seakan tersedak, menutupi mulut dengan kedua tangan dan jika Aomine tidak memeganginya dia pasti terjerembap ke lantai. Keterkejutan itu sangat memukul mereka semua, membuat suasana jauh lebaih dramatis. Mereka berpelukan, dan Eijun menggabungkan diri, menyumbang dukungan.
Ivan terlalu kaget untu bergerak. Dia berdiri agak jauh dari mereka. Ada beberapa orang yang tidak dikenal di belakangnya, para saksi mata yang memasuki ruangan pada saat tertentu. Ivan tidak yakin kapan. Mereka melangkah maju, meregangkan leher untuk melihat. Hari itu adalah hari Kamis yang kedua di bulan November, dan ketika itu Kelas Kitab Suci untuk Perempuan sedang bertemu di aula Gereja Lutheran Bethany untuk melanjutkan pembelajaran tentang Injil Lukas, diikuti hidangan pasta untuk makan malam di dapur. Ivan, Kiki, dan anak laki-laki mereka selalu diundang untuk makan malan dan biasanya mereka hadir. Dia benar-benar merindukan gereja dan keluarganya, dan dia tidak yakin kenapa dia memikirkan hal itu, padahal tatapan matanya tertuju pada kepala Furuya Satoru yang hitam pekat. Benar-benar kontras dengan warna putih kemeja yang dipakainya dan seprai putih salju di sekitarnya. Sabuk-sabuk kulit itu berwarna cokelat muda. Minami Satoru meratap keras-keras dan Eijun menggumam, sementara para saksi mata di belakangnya mendesak maju supaya dapat melihat lebih jelas lagi, dan Ivan mau menjerit lantang. Dia telah lelah berdoa, namun dia tahu doa-doanya percuma.
Ivan bertanya dalam hati, apakah dia akan merasa berbeda jika Furuya Satoru bersalah. Menurut dia tidak. Perasaan bersalah jelas akan menghilangkan sedikit perasaan simpatinya terhadap pemuda itu, namun ketika dia menyaksikan persiapan yang tertera di hadapannya, dia dikagetkan pada betapa dingin dan keji hal itu, betapa rapi dan bersih. Mirip dengan membunuh seekor anjing tua, seekor kuda pincang, atau seekor tikus laboratorium. Siapa sih tepatnya makhluk yang mempunyai hak untuk membunuh? Apabila membunuh itu salah, kenapa kita diizinkan membunuh? Sementara Ivan terbelalak menatap Furuya, dia tahu bayangan itu tidak akan pernah hilang. Dan dia juga mengetahui kalau dirinya tidak akan pernah sama.
Eijun menatap Furuya juga, di sisi kanan wajahnya, dan memikirkan segala hal yang ingin diubahnya. Di setiap proses persidangan, seorang pengacara membuat sangat banyak keputusan instan, dan Eijun mengingat-ingat segalanya. Dia akan menyewa tenaga ahli yang berbeda, memanggil seorang saksi mata yang berbeda, merendahkan nada suaranya terhadap hakim, bersikap lebih ramah kepada para dewan juri. Dia akan selalu menyalahkan dirinya, meski orang lain tidak. Dia telah gagal menyelamatkan seorang manusia yang tidak bersalah, dan beban tersebut terlalu berat. Sebagian besar hidupnya akan ikut hilang, dan dia ragu dirinya akan pernah sama.
Di pintu sebelah, Minami Stefa menangis menyaksikan pembunuh anak perempuannya menggeletak terlentang, tidak berdaya, menunggu tarikan napas terakhir dan mengembuskannya ke neraka. Kematiannya—cepat dan agak menyenangkan—bukan apa-apa jika dibandingkan dengan anak perempuannya. Dan Minami Stefa menginginkan lebih banyak penderitaan dan kesakitan daripada apa yang akan disaksikannya. Ryusei menopangnya dengan sebelah lengan di pundak. Minami Stefa dipegangi oleh kedua anaknya. Ayah kandung Bella Stefa tidak turut hadir, dan Minami Stefa tidak akan pernah membiarkan bekas suaminya melupakan hal itu.
Furuya Satoru berpaling ke sebelah kanan, dan ibunya akhirnya terlihat di sana. Dia tersenyum, mengacungkan jempol, lalu meluruskan kepala dan memejamkan mata.
Pada jam 18.00, Sipir Moris menghampiri sebuah meja dan mengangkat gagang pesawat telepon, sambungan langsung ke kantor kejaksaan di Nagasaki. Dia diberitahu kalau semua banding telah berakhir; tidak ada alasan untuk bisa menghentikan eksekusi. Dia meletakkan kembali gagang itu, lalu memungut yang lain, sama persis dengan yang pertama. Sambungan langsung ke kantor Gubernur. Pesan yang diterimanya sama, lampu hijau untuk eksekusi. Pada pukul 18.05, dia melangkah menghampiri ranjang dan mengatakan, “Furuya, apakah kau sudah siap dengan pesan terakhirmu?”
Furuya menyahut dingin, “Ya.”
Sipir penjara itu kemudian meraih ke langit-langit, menyambar mikrofon kecil lalu menariknya turun hingga sekitar tiga puluh senti dari wajah Furuya, “Silakan,” katanya. Kabel mikrofon itu kemudian menjalar ke sebuah alat pengeras suara kecil di maisng-masing ruangan saksi mata.
Furuya Satoru berdeham, menatap mikrofon, dan mengatakan, “Aku sangat mencintai ibu dan ayahku, dan aku sangat sedih ayahku meninggal sebelum aku sempat mengucapkan selamat berpisah. Pemerintahan ini tidak mengizinkan aku datang ke pemakamannya. Kepada Aomine, Akame, aku mencintai kalian semua dan kita akan berjumpa kembali suatu saat nanti. Maafkan aku sebab telah melibatkan kalian dalam semua hiruk-pikuk ini, namun ini bukan kesalahanku. Kepada Eijun, aku menyayangimu, Bung. Kau yang terhebat. Kepada keluarga Bella Stefa, aku menyesalkan kejadian yang menimpa Bella Stefa. Dia gadis yang begitu manis, dan aku harap suatu hari nanti mereka akan menemukan dalang pembunuh yang sebenarnya. Dengan demikian, aku rasa kalian semua harus berada di sini dan menyaksikannya satu kali lagi.”
Dia berhenti sebentar, memejamkan matanya, lalu melanjutkan seruannya, “Aku tidak bersalah! Aku telah dihukum selama sembilan tahun untuk sebuah kejahatan yang tidak pernah aku lakukan! Aku tidak pernah menyentuh Bella Stefa dan aku tidak tahu siapa yang membunuhnya.” Dia menghela napas, membuka mata dan melanjutkan, “Kepada Detektif Bonjamin, Murasakibara Tetsu, Hakim Hirose, semua anggota dewan juri yang rasis, semua tikus buta di mahkamah banding, dan kepada Gubernur Iwata Takanori, hari penghakiman kalian akan tiba. Pada saat mereka menemukan pembunuh yang sebenarnya, aku akan hadir di sana untuk menghantui kalian.”
Dia berpaling dan memandang ibunya. “Selamat tinggal, Ma. Aku sayang padamu.”
Setelah beberapa detik keheningan, Sipir Moris mendorong mikrofon itu ke langit-langit. Dia melangkah mundur dan mengangguk pada ahli kimia tidak berwajah itu, yang bersembunyi di ballik jendela hitam di sisi kiri ranjang. Suntikan itu dimulai—tiga dosis berbeda yang diberikan dalam urutan cepat. Masing-masing cukup fatal jika digunakan sendirian. Yang pertama ialah sodium thiopental, pembius kuat. Furuya memejamkan mata, dan tidak pernah membukanya lagi. Dua menit berselang, pancuronium bromide, pelemas otot, menghentikan napasnya. Yang ketiga adalah potassium chloride yang menghentikan jantugnya.
Dengan semua sabuk yang mengikatnya, susah untuk mengatakan kapan napas Furuya akan berhenti. Namun napasnya memang berhenti. Pada jam 18.19, teknisi media itu muncul dan memeriksa jenazah dengan stetoskop. Kemudian dia mengangguk pada sipir, yang mengumumkan bahwa pada pukul 18.21 dinyatakan bahwa Furuya Satoru telah mati.
***
Setiap tirai di ruangan itu tertutup, bilik kematian itu pun lenyap.
Minami Stefa memeluk Ryusei dan sebaliknya, keduanya saling berpelukan, disusul dengan erangan anak-anak mereka, semuanya berpelukan. Pintu menuju ruang saksi mata mereka terbuka, dan seorang pejabat penjara lekas membimbing mereka keluar. Dua menit sesudah pengumuman kematian itu, Minami Stefa dan keluarganya telah kembai di dalam van, diangkut pergi dengan kecakapan mengagumkan. Sesudah mereka pergi, keluarga Satoru dengan dikawal melewati pintu lain.
Eijun dan Ivan sendirian selama beberapa detik di ruang saksi mata itu. Mata Eijun basah, wajahnya pucat. Dia sungguh telah ditaklukan, hampa, namun pada waktu yang bersamaan dia mencari seseorang untuk diajaknya bertarung, “Kau sudah lega menontonnya?” tanyanya.
“Tidak, aku sama sekali tidak lega.”
“Aku pun tidak.”
***
Di terminal, berita mengenai kematian Furuya Satoru diterima tanpa satu patah kata pun. Mereka terlewat tercenung untuk bisa berbicara. Di ruang pertemuan, mereka menatap televisi, mendengar kata-kata itu, namun masih saja tidak sanggup untuk mempercayai bahwa mukjizat itu entah bagaimana bisa terlepas. Hanya tiga jam sebelumnya, mereka bekerja tergesa-gesa dan panik untuk menyelesaikan petisi Harry, lalu petisi Hiro Akada, dua hadiah menjelang detik-detik terakhir dari surga yang kelihatannya begitu menjanjikan. Tapi Mahkamah Banding Kriminalitas Kanto menolak Harry dan bisa dibilang benar-benar membanting pintuk untuk Hiro.
Sekarang Furuya telah mati.
Riko menangis lirih di sudut ruangan. Kazuya dan Ibuki menatap televisi, seolah-olah cerita itu mungkin berubah menjadi sebuah akhir yang bahagia. Harry Kazuya duduk meringkuk, menggosok kepalanya, sedang Kento Himura masih tidak melepaskannya dalam pengawasan. Mereka semua mencemaskan Eijun.
Harry mendadak berdiri dan mengatakan, “Aku tidak mengerti. Apa yang telah terjadi? Orang-orang itu tidak mendengarkan diriku. Aku mengatakan hal yang sebenarnya.”
“Kau terlambat, Harry!” bentak Kazuya.
“Kau terlambat selama sembilan tahun!” Disusul oleh Riko. “Kau bungkam selama sembilan tahun, kau benar-benar senang membiarkan orang lain menjalani hukumanmu, lalu secara tiba-tiba kau datang ke sini menjelang lima jam terakhir, dan mengharapkan semua orang mau mendengarkan dirimu.”
Kazuya menghampiri Harry sambil menuding. “Yang kita butuhkan hanya dua puluh empat jam, Harry. Jika saja kau muncul kemarin, kita bisa pergi mencari mayat dari gadis itu. Setelah kita berhasil menemukan mayat itu, tidak akan ada lagi eksekusi. Tidak akan ada eksekusi karena mereka menangkap orang yang sala. Mereka menangkap orang yang salah karena mereka bodoh, namun juga karena kau terlalu pengecut untuk bergegas mengatakan yang sebenarnya. Furuya telah mati! Dan itu karena dirimu!”
Raut wajah Harry muram, merah padam, dan dia meraih tongkat putihnya. Dia benar-benar memelas. Tapi Kento Himura lebih cepat. Dia menyambar satu tangan Harry, menatap Kazuya, dan mengatakan, “Tenanglah, akan jauh lebih baik jika kita mampu menghadapi ini dengan kepala dingin.”
Telepon genggam Riko mendengung. Dia melirik benda itu dan mengatakan, “Dari Eijun.” Kazuya berpaling menjauh dan Harry kembali duduk, bersama Himura yang terus mengawasi di dekatnya. Riko mendengarkan selama beberapa menit, lalu meletakkan teleponnya. Dia mengusap air mata dan mengatakan, “Sekali ini mereka memberitakannya dengan benar. Furuya Satoru telah mati. Eijun mengatakan kalau Furuya begitu tegar hingga detik terakhir, dia menyatakan ketidakbersalahannya dengan lantang, dia benar-benar melakukannya dengan sangat meyakinkan. Eijun meninggalkan penjara sekarang. Mereka akan terbang kembali dan tiba di sini sekitar jam delapan. Dia mau kita semua menunggunya.” Dia berhenti, dan kembali menyeka wajahnya.
***
Pasukan Nasional baru saja menyisir jalanan di seputar Taman Pusat Kota di wilayah kulit putihnya. Kerumuman massa di Taman Pusat Kota yang sepanjang sore bertambah banyak secara teratur, baik dalam jumlah maupun suara, segera melesak maju ke arah pasukan. Para tentara itu diejek, dimaki, dicemooh, dilempari batu, tapi kekerasan yang memanas persis di bawah permukaan itu bisa dikendalikan. Hari mulai gelap, dan hampir tidak ada keraguan kalau malam hari situasi akan memburuk.
Di bagian selatan Taman, kerumunan massa itu lebih tua umurnya dan sebagian besar terdiri atas para tetangga. Mereka yang lebih muda dan lebih bersemangat mengarah ke seberang kota.
Rumah-rumah dikunci rapat, penjagaan dan pengawasan dilakukan di beranda-beranda depan, dan persenjataan disiapkan. Para penjaga itu meningkatkan patroli di setiap Gereja Kanto.
Sekitar enam belas kilometer di selatan, suasananya jauh lebih riang di rumah kabin Murasakibara Tetsu. Orang-orang itu berkumpul di seputar televisi, mengisi ulang gelas dan terpongah saat kematian Furuya Satoru diumumkan. Murasakibara Tetsu bersulang dengan Bonjamin, lalu Bonjamin bersulang dengan Tetsu. Gelas-gelas berdentingan serentak. Keraguan yang menggalaukan itu, yang mereka rasakan saat mendengarkan Harry di televisi, dengan cepat terlupakan. Paling tidak untuk saat itu.
Akhirnya keadilan dituntaskan.
***
Sipir Moris menemani Eijun dan Ivan berjalan kembali ke bagian depan penjara, menjabat tangan mereka untuk kesekian kali, mengucapkan selamat berpisah. Eijun mengucapkan terima kasih padanya atas kepedulian yang ditunjukkan. Ivan tidak yakin apakah dia ingin berterima kasih kepada sipir itu atau mencacinya—persetujuan detik terakhirnya yang menjadikan Ivan seorang saksi mata sudah memberikan pengalaman mengerikan—namun dia toh tetap bersikap ramah, karena telah menjadi waktaknya. Begitu mereka melangkah keluar melalui pintu depan, mereka bisa melihat dari mana sumber kebisingan itu berasal. Di sebelah kanan, tiga blok jaraknya, dan di balik dinding yang terdiri atas para polisi dan polantas, para mahasiswa berseru kencang sambil melambaikan spanduk dan poster buatan sendiri. Mereka menggerombol rapat di tengah jalanan yang sebelumnya diblokir. Di belakang mereka, lalu lintas dimundurkan. Sekelompok mobil berupaya mencapai penjara, dan saat mereka dihalangi, para pengemudi itu melompat keluar dan menggabungkan diri dengan kerumunan itu. Operasi Detai tadinya berencana untuk memadati penjara dengan orang dan kendaaran dan rencana itu berhasil. Tujuan untuk menghentikan eksekusi memang tidak berhasil dicapai, namun para pendukung Furuya Satoru paling tidak telah dimobilisir, dan mereka sudah didengarkan.
Misaki Osikawa tengah menunggu di trotoar, dia melambaikan tangan pada Eijun dan Ivan. “Kami telah menemukan rute yang pas untuk lolos dari sini.” “Tempat ini akan meledak.” Mereka lekas masuk ke dalam minivan dan langsung melesat pergi. Sopir minivan iyu ngebut melalui jalanan samping, menghindari beberapa mobil yang diparkir dan para mahasiswa marah. Martha Tristin mengamati raut wajah Eijun, namun Eijun tidak membalas tatapannya.
“Kita bisa bicara saat ini?” tanyanya meski penuh dengan pertimbangan.
Eijun hanya menggeleng. Pun Ivan sama. Mereka berdua sama-sama memejamkan mata. Tidak banyak pembicaraan. Mereka semua masih berharap bahwa hari itu adalah mimpi terburuk sebelum eksekusi yang sebenarnya. Namun, justru itu adalah hari yang terburuk, bukan lagi pada mimpi.