Lima Puluh Sembilan

2098 Kata
Apa mungkin kabel-kabel Buick tua itu korslet? Kalau mobil itu entah bagaimana terbakar sendiri, pemikiran-pemikiran seperti itu seperti berkelebat saat panggilan 911 yang kedua muncul pada jam 19.40. Sebuah mobil lain yang juga terbakar, wagon Volvo yang diparkir di jalanan antara gedung pengadilan dan Taman Pusat Kota. Lima mobil pemadam kebakaran meraung pulang-pergi melintasi kota, dikawal beberapa mobil polisi untuk membuka jalan. Raungan sirene tersebut disoraki kerumunan massa di taman, kerumunan massa itu semakin besar seiring dengan larutnya malam. Namun selain minum-minum di bawah umur dan pemilikan g***a, tidak ada kejahatan yang terjadi. Belum mungkin. Bisa saja karena kerumunan massa itu mengusik ketenangan, namun mengingat ketegangan yang ada, para polisi tidak berhasrat memasuki taman dan membubarkan kesenangan mereka. Suasana hati kerumunan massa itu panas, terbakar berita kematian Furuya Satoru, pernyataan Harry Kazuya, irama musik rap yang berdentang dari setiap stereo mobil, dan sejumlah obat dan alkohol. Para polisi itu mengawasi dan menimbang pilihan mereka. Mereka menggerombol bersama para tentara dari Pasukan Nasional dan merencanakan strategi. Tindakan yang salah bisa memicu tanggapan yang tidak bisa diramalkan. Terutama karena kerumunan massa itu tidak punya pemimpin nyata pada saat itu, dan tidak punya gagasan ke arah mana malam itu akan berlangsung. Setiap kurang-lebih setengah jam, beberapa dari mereka yang konyol akan menyalakan serentetan petasan, dan selama beberapa detik, para polisi dan tentara itu akan membeku di tempat, berusaha dengan keras untuk menentukan apakah suara letusan itu berasal dari senjata api. Sejauh ini, diperkirakan hanya petasan. Panggilan ketiga datang pada jam 19.45, dan sejauh ini ialah yang paling mencemaskan. Sebenarnya, ketiga kepala polisi menerima sejumlah detail, dia sempat berpikir untuk meninggalkan kota juga. Di bar murahan di bagian barat, halaman parkirnya, yang berkerikil, padat seperti biasa pada hari Kamis malam, permulaan tidak resmi akhir pekan. Untuk meramalkan suasana, bar itu menawarkan berbagai jenis minuman istimewa, semuanya melibatkan potongan harga, dan para pelanggan itu menyambutnya dengan penuh semangat. Dari setiap kendaraan yang diparkir di luar bangunan logam murahan itu, bisa dibilang semuanya merupakan truk pengangkut, setengahnya adalah Ford, setengahnya lagi Chevrolet. Si pembakar memilih satu dari setiap merek, memecahkan setiap jendela, melemparkan banyak bom, dan menghilang dalam malam. Seorang pendatang baru yang mengendarai truk angkutannya, mengira kalau dia melihat “dua remaja kulit hitam” tengah melarikan diri, merunduk rendah, sangat mencurigakan. Tapi dia terlalu jauh dan tidak melihat wajah mereka. Sebenarnya dia bahkan tidak yakin apakah mereka memang kulit hitam. Saat para pelanggan itu melesat keluar dan melihat nyala api menyembur dari kedua truk, mereka bergegas menuju mobil masing-masing. Kericuhan pun terjadi, hampir seperti kontes perusakan, sementara mereka dengan panik berusaha menjauhkan diri dari kobaran api. Banyak dari mereka pergi, sangat jelas tidak merasa haus lagi dan semuanya kompak ingin segera pulang ke rumah, mengunci semua pintu, menyiapkan persenjataan. Semua truk di bar itu paling tidak menyimpan satu pistol di bawah jok tempat duduk atau di dalam laci mereka. Banyak yang memiliki senapan berburu di rak jendela. Itu kerumunan yang salah untuk dihalau. Kau membakar mobil seseorang, dan dia siap berperang.   ***   Menjelang pukul delapan malam, paha-paha ayam itu sudah tandas, begitu banyak minuman keras yang diteguk, dan sebagian besar tamu Tetsu ingin lekas pulang untuk melihat seberapa buruk situasi di kota. Para kru televisi sibuk berlarian di setiap tempat, mereka berusaha menyamai para penyulut api, dan kebakaran-kebakaran itu secara instan menjadi akhir dari perayaan di tepi danau. Yuval Bonjamin tetap tinggal, dia sengaja menunda, menunggu agar semua orang untuk pulang. Dia membuka satu botol bir lagi dan mengatakan kepada Tetsu, “Kita perlu bicara.” Mereka berjalan ke tepian sebuah dermaga sempit, sejauh mungkin dari rumah kabin, meski tidak ada satu orang pun di sana. Tetsu juga memegang satu botol bir di tangan. Mereka menyandar di pagar dan memandang ke permukaan air di bawah. Bonjamin meludah, meneguk bir, dan berujar, “Si Harry itu, apakah dia mengkhawatirkanmu?” Tetsu terlihat kaget dan heran, atau paling tidak berusaha terlihat demikian. “Tidak, namun dia jelas-jelas mencemaskanmu.” Bonjamin meneguk birnya perlahan-lahan dan kemudian dia mengatakan, “Aku tumbuh besar di Kichioi, dan di sana ada beberapa orang yang bernama Kazuya, di daerah tempat tinggalku. Hanama Kazuya adalah seorang teman baik, kami lulus SMA dalam waktu yang sama, lalu dia bergabung dengan ketentaraan dan menghilang. Aku dengar dia terlibat masalah, namun aku pindah dari sana. Berakhir di sini, dan lupa soal dirinya. Kau tahu bagaimana situasinya dengan teman masa kecil, kau tidak akan pernah melupakan mereka, namun kau pun tidak pernah melihat mereka lagi. Dan pada bulan Januari 2003, aku ingat bulan itu karena kami telah menangkap Furuya Satoru, aku ada di kantor dan beberapa polisi tengah menertawakan seorang pencuri yang mereka tangkap di sebuah mobil curian. Mereka memeriksa catatannya; orang itu pernah tiga kali dinyatakan bersalah sebab melakuakan p*********n seksual. Pelaku kekerasan seksual di tiga prefektur; padahal umurnya baru pertengahan tiga puluhan. Para polisi itu menebak sendiri, siapa yang memegang rekor? Pencabul mana yang  terdaftar di prefektur paling banyak? Salah satu dari mereka menanyakan namanya. Yang lain hanya menjawab, ‘H. Kazuya.’ Aku tidak berkata sepatah kata pun, namun aku penasaran apakah orang itu teman kecilku dulu. Aku memeriksa berkasnya, membaca namanya Harry, namun aku masih penasaran. Beberapa hari berselang, dia digiring ke ruang sidang untuk menghadap hakim dalam persidangan singkat. Aku tidak ingin dia melihatku, sebab jika benar dia adalah sobat lamaku, aku tidak ingin membuatnya malu. Ruang sidang itu begitu ramai, jadi mudah saja buatku menyamarkan diri. Ternyata dia bukan temanku. Dia Harry Kazuya, orang yang sama dengan yang ada di Kanto saat ini. Aku mengenalnya begitu aku melihatnya di televisi—kepala plontos yang sama, tato yang sama di sisi kiri lehernya. Dia ada di sini, Tetsu, di Kanto, di penjara, sekitar pada waktu yang sama dengan saat si gadis itu menghilang.” Tetsu berpikir keras selama beberapa detik, lalu mengatakan, “Oke, semisal saja dia memang ada di sini. Itu bukan berarti dia mengatakan hal yang sebenarnya tentang membunuh gadis itu.” “Gimana jika dia mengatakan hal yang sebenarnya?” “Kau tidak mungkin serius.” “Tolong jawab saja pertanyaanku, Tetsu. Gimana jika memang seperti itu? Gimana jika Harry mengatakan hal yang sebenarnya? Gimana jika Harry benar-benar mempunyai cincin dari gadis itu? Gimana jika Harry membawa mereka ke tempat dia menguburkan mayat gadis itu? Gimana seandainya, Tetsu? Tolonglah aku. Kau pengacaranya.” “Aku tidak percaya ini.” “Bisakah kita digugat?” “Buat apa?” “Bagaimana dengan pembunuhan?” “Apa kau mabuk, Yuval?” “Aku memang habis minum sangat banyak.” “Kalau begitu, tidur saja di sini, jangan mengemudi. Kenapa kau tidak bertugas di kota bersama para polisi yang lain?” “Aku detektif, aku bukan seorang polisi jalanan. Dan aku senang dengan pekerjaanku, Tetsu. Secara umpama saja, apa yang terjadi jika Harry mengatakan hal yang sebenarnya?” Tetsu menghabiskan isi botolnya, lalu melemparkan botol itu ke danau. Dia menyalakan sebatang rokok dan mengembuskan asap panjang. “Tidak ada yang terjadi. Kita kebal. Aku yang mengendalikan para dewan juri, jadi aku mengendalikan siapa saja yang didakwa untuk alasan apa pun. Tidak pernah ada kasus di mana seorang detektif atau jaksa penuntut menghadapi gugatan hukum karena melakukan pendakwaan buruk. Kita adalah sebuah sistem, Yuval. Kita mungkin digugat dalam pengadilan perdata, namun itu pun potensinya sangat kecil. Ditambah lagi, kita diasuransikan oleh Pemerintah Kota. Jadi berhentilah untuk terlalu mencemaskan.” “Apa aku akan dipecat?” “Tidak, karena itu akan menjatuhkan dirimu dan pemkot di pengadilan perdata. Namun mereka mungkin akan menawarimu pensiun lebih awal. Pemkot akan mengurus dirimu.” “Jadi kita akan baik-baik saja?” “Ya, dan sekali lagi tolong hentikan ini, oke?” Bonjamin hanya tersenyum, menghela napas dalam-dalam, dan meneguk birnya perlahan-lahan. “Aku hanya penasaran,” sahutnya. “Hanya itu. Aku tidak cemas.” “Kau bisa menipuku.” Mereka menatap permukaan air selama beberapa saat, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, keduanya memikirkan hal yang sama. Akhirnya, Tetsu berseru, “Harry pernah dipenjara di sini, dan bebas bersyarat di kota lain, benar?” “Benar. Aku rasa di Oklahoma.” “Kalau begitu, lantas bagaimana dia bisa keluar?” “Aku tidak ingat keseluruhan, namun aku akan memeriksa berkasnya besok pagi. Kelihatannya dia membayar uang jaminan, setelah itu menghilang. Aku sama sekali tidak terlibat dengan kasus itu, dan begitu aku menyadari kalau dia bukan Kazuya temanku, aku langsung melupakan dirinya. Hingga hari ini.” Sebuah jeda lain dalam pembicaraan mereka, lalu Tetsu menyahut, “Tenang saja, Yuval, kau sudah membentuk sebuah kasus yang sempurna, dia telah mendapatkan persidangan yang adil, dan setiap pengadilan menegaskan kebersalahannya. Apa lagi yang dapat kita harapkan? Sistem sudah bekerja. Astaga… Anak itu pun sudah mengaku dengan sendirinya.” “Jelas saja dia mengaku. Meski aku sering bertanya sendiri, jika tidak ada pengakuan itu, apa yang akan terjadi.” “Kau sendiri tidak mencemaskan pengakuan itu, kan?” “Oh, tentu tidak. Aku menjalankan tugasku sesuai peraturan.” “Lupakan saja, Yuval. Sekarang semua telah selesai, benar-benar selesai. Percuma saja mau berandai-andai tentang apa yang kita lakukan pada waktu itu. Anak itu sudah dalam perjalanan pulang di peti matinya.”   ***   Bandara Kanto telah ditutup. Si pilot menyalakan lampu pendaratan dengan sinyal radio dari panel kendalinya dan penukikan serta pendaratan itu berlangsung mulus. Mereka secara perlahan-lahan bergerak menuju terminal kecil itu, dan begitu tanggan turun dikeluarkan, mereka bergegas keluar pesawat. Eijun berterima kasih kepada si pilot dan berjanji untuk menelepon kapan-kapan. Pilot itu menyampaikan belasungkawanya. Pada saat mereka berada di dalam van, Misaki telah bicara kepada Kazuya dan memiliki sejumlah laporan lengkap. “Kebakaran terjadi di seluruh kota,” katanya. “Mereka membakar mobil. Menurut Kazuya, ada tiga kru televisi yang parkir di halaman kantor. Mereka mau bicara denganmu, Eijun, dan mereka ingin melihat Harry lagi.” “Kenapa sih mereka tidak membakar mobil-mobil televisi itu?” gerutu Eijun. “Kau ingin berbicara pada mereka?” “Aku tidak tahu. Minta mereka agar menunggu. Apa yang dilakukan Harry?” “Nonton televisi. Kata Kazuya, dia jengkel karena tidak satu orang pun yang mau mendengarkan ucapannya, dan dia menolak untuk memberikan informasi tambahan kepada para reporter.” “Jika aku menyerangnya dengan tongkat bisbol, maukah kau mencegahku supaya tidak membunuhnya?” “Tidak.” Begitu memasuki pinggiran kota, mereka berempat langsung meregangkan leeher untuk mengamati tanda kerusuhan. Misaki mengambil jalan alternatif, berniat menjauhi pusat kota, dan berselang beberapa menit, mereka tiba di terminal. Semua lampu menyala. Halaman parkir penuh sesak, dan benar bahwa ada tiga van TV yang sedang menunggu. Pada saat Eijun melangkah keluar, para reporter langsung menyerbunya. Dia dengan sopan bertanya dari mana asal mereka dan apa yang mereka mau. Salah satu ada yang berasal dari Kanto, ada beberapa dari luar kota. Ada beberapa wartawan surat kabar juga, termasuk yang berasal dari Toei. Eijun menawarkan kesepakatan pada mereka—jika dia mengadakan pertemuan pers di luar, di peron, dan menjawab setiap pertanyaan mereka, maukah mereka pergi dan tidak kembali lagi? Dia mengingatkan bahwa mereka berada di lahan miliknya, dan mereka bisa dipersilakan pergi kapan saja. Mereka menerima tawarannya; semuanya baik-baik saja. “Bagaimana dengan Harry Kazuya?” tanya seorang reporter. Eijun menjawab, “Aku tidak bertanggung jawab atas namanya. Aku diberitahu kalau dia masih ada di dalam dan dia sudah tidak ingin mengatakan apa pun lagi. Aku akan bicara lagi padanya setelah ini, aku ingin mencari tahu apa yang mau dilakukannya.” “Terima kasih.” “Aku akan kembal tiga puluh menit lagi,” katanya, dan setelah itu dia menyusuri telundakan. Ivan, Misaki, dan Martha Tristin mengekornya. Perasaan haru-biru langsung menyambarnya saat mereka mulai memasuki ruang rapat dan melihat Kazuya, Ibuki, Riko, Megumi, Haruka, Himura. Mereka saling berangkulan, berbelasungkawa dan menangis. “Di mana Harry?” tanya Eijun. Himura menunjuk pintu tertutup sebuah ruang kerja kecil. “Bagus, biar dia tetap di sana. Ayo kita berkumpul di seputar meja rapat. Aku mau menggambarkan bagaimana kejadiannya tadi, mumpung masih segar dalam ingatan. Pendeta Stefanus mungkin ingin membantu, karena dia turut hadir. Dia sempat bercakap dengan Furuya sebentar, dan ikut menyaksikan kematiannya.” Ivan telah tersentak di sebuah kursi di depan dinding, hampa, kelelahan, dan benar-benar lunglai. Mereka memandang tidak percaya. Dia mengangguk tanpa tersenyum. Eijun melepaskan jas dan mengendurkan dasinya, Ibuki membawakan sebaki roti lapis dan meletakkannya di hadapannya. Misaki menyambar sepotong, begitu pun Martha Tristin. Ivan menolak dengan sopan; dia telah kehilangan selera makannya. Sesudah mereka semua duduk, Eijun memulai dengan mengatakan, “Dia sangat berani; meski dia tetap mengharapkan mukjizat detik terakhir. Aku rasa mereka semua begitu.” Sama seperti guru sekolah dasar kelas tiga yang mendongeng. Eijun bercerita pada mereka mengenai jam terakhir dalam kehidupan Furuya Satoru, dan saat dia selesai, mereka semua menangis untuk kesekian kalinya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN