Detik-detik terakhir menjelang eksekusi dari seseorang yang bersikeras merasa kalau dirinya tidak bersalah, tidak mencuatkan minat dari kalangan media nasional. Cerita-cerita itu sudah dianggap biasa. Bagaimana pun, topik mata ganti mata sehubungan gereja-gereja yang terbakar pada malam menjelang eksekusi menggairahkan beberapa produser. Pertikaian di SMA Kanto menambah sedikit kegairahan. Namun kemungkinan timbulnya kerusuhan antar ras—itu terlalu bagus untuk diabaikan. Apalagi berita tentang kedatangan Pasukan Nasional, sehingga sampai larut sore itu, Kanto diramaikan oleh van-van televisi yang dicat terang dari Toei, dan kota lainnya, kebanyakan menyiarkan secara langsung ke jaringan-jaringan televisi dan stasiun-stasiun kabel. Saat tersebar berita ada seorang laki-laki mengaku sebagai pembunuh yang sebenarnya dan ingin mengakuinya di depan kamera, terminal bus itu langsung menjadi magnet media. Bersama Kento Himura yang mengarahkan situasi, atau paling tidak berusaha menjaga ketenangan, Harry Kazuya berdiri di anak tangga terakhir peron, memandangi para reporter dan kamera. Mikrofon-mikrofon dijulurkan ke arahnya seperti bayonet. Himura berdiri di samping kanannya, dia benar-benar mendorong mundur beberapa reporter.
“Tenang!” bentak Himura pada mereka. Lalu dia mengangguk pada Harry dan mengatakan, “Silakan.”
Harry terlihat begitu kaku seperti rusa yang tersorot lampu depan mobil, namun dia menelan ludah dengan susah payah dan membuka mulut. “Namaku Harry Kazuya, dan aku adalah pembunuh Bella Stefa. Furuya Satoru tidak ada kaitannya dengan pembunuhan itu. Aku bertindak sendirian. Aku menculiknya, memerkosanya, berulang kali, lalu aku mencekiknya sampai mati. Aku membuang mayatnya, tapi bukan di Sungai Merah.”
“Di mana?! Di mana?!” Pertanyaan umum yang diajukan para reporter itu.
“Di Shibuya, tempat di mana aku meninggalkannya.”
“Kenapa kau melakukan itu?!”
“Sebab aku tidak mampu mengontrol diriku. Aku sudah pernah memerkosa perempuan lain, banyak sekali, terkadang aku tertangkap, terkadang tidak.”
Hal ini mengejutkan para reporter di situ, dan beberapa detik berlalu sebelum pertanyaan berikut dilemparkan. “Jadi, kau adalah p*******a yang sebelumnya pernah dinyatakan bersalah?”
“Oh, ya. Aku sebelumnya pernah dinyatakan bersalah empat atau lima kali.”
“Apa kau berasal dari Kanto?”
“Tidak, aku tinggal di sini saat aku membunuh Bella Stefa.”
“Apa kau mengenalnya?”
***
Kiki Stefanus tidak beranjak dari depan televisi di ruang keluarganya selama dua jam terakhir, terpaku pada berita lokal, dia menungguh lebih banyak berita dari Kanto. Ada dua laporan, berita-berita singkat tentang kericuhan dan Pasukan Nasional. Dia menyaksikan Gubernur Kanto mempermalukan dirinya sendiri. Kendati demikian, cerita itu mulai mengumpulkan momentum. Saat melihat wajah Harry Kazuya, dia mengatakan dengan keras, “Itu dia!”
Suaminya ada di penjara ketika itu, berupaya menghibur seorang laki-laki yang didakwa membunuh, sementara dia menyaksikan laki-laki yang benar-benar melakukan perbuatan kriminal itu.
***
Hiro Akada ada di sebuah bar, yang pertama yang dilihatnya begitu meninggalkan Kantor Agnes. Dia mabuk, namun masih sadar dengan sekelilingnya. Ada dua televisi yang tergantung dari langit-langit di kedua ujung bar, satu menyiarkan berita olahraga, yang satu menyiarkan berita-berita lokal. Saat melihat cerita dari Kanto, Hiro mendekati televisi itu. Dia mendengarkan Harry bercerita tentang membunuh Bella Stefa. “Dasar j*****m!” gumamnya, sedang si bartender memandangnya dengan setengah bingung.
Lalu dia merasa senang dengan dirinya sendiri. Dia akhirnya mengatakan hal yang sebenarnya, dan saat ini pembunuh gadis itu yang sejati telah mengaku. Furuya Satoru akan segera dibebaskan. Dia memesan satu gelas bir lagi.
***
Hakim Kojiro tengah duduk bersama istrinya di ruang keluarga di rumah mereka, tidak jauh dari Taman Pusat Kota. Pintu sudah terkunci, senapan berburunya sudah siap, sudah penuh peluru. Sebuah mobil polisi melintas di depan rumahnya setiap sepuluh menit. Sebuah helikopter mengawasi dari atas. Udara pekat dengan bau asap—asap dari pesta petasan di taman itu, dan asap dari gedung-gedung yang dibakar. Kebisingan orang-orang yang berkerumun itu terdengar. Suara tabuhan drum, musik rap membahana dan seruan-seruan lantang berirama yang tidak ada habisnya dan semakin sore semakin ramai. Hakim dan Kojiro telah berdiskusi untuk pergi malam itu. Mereka memiliki seorang anak lak-laki yang tempatnya kira-kira satu jam menuju lokasi, sedang dia sudah mendesak mereka untuk pergi, meski hanya untuk beberapa jam. Namun mereka memutuskan untuk tetap tinggal, terutama karena para tetangga mereka juga tinggal dan jumlah mereka begitu banyak. Hakim itu telah mengobrol dengan Kepala Polisi, yang dengan sedikit gugup meyakinkan dirinya kalau keadaan masih terkendali.
Televisi itu menyala, cerita heboh dari Kanto. Hakim Kojiro menyambar remot kontrol dan membesarkan suara, lalu muncul seorang laki-laki yang sudah dilihatnya di video itu, tidak sampai tiga jam sebelumnya. Harry Kazuya sedang berbicara, memberikan detail-detail, menatap segepok mikrofon.
“Apa kau mengenal gadis itu?” tanya seorang reporter.
“Aku tidak pernah bertemu dengan gadis itu, tapi aku menguntitnya. Aku tahu siapa dia, tahu bahwa dia adalah seorang pemandu sorak. Aku memang sengaja memilihnya.”
“Bagaimana caramu menculiknya?”
“Aku menemukan mobilnya, memarkir mobilku di sebelahnya, menunggu hingga dia keluar dari mal. Aku memakai pistolku, dan dia tidak membantah. Untuk cara seperti itu, aku pernah melakukannya sebelumnya.”
“Kenapa baru saat ini kau mengakui semua ini?”
“Semestinya begitu. Namun aku selalu berpikri kalau pengadilan di sini pada akhirnya akan menyadari kalau mereka sudah menangkap pelaku yang salah. Aku baru keluar penjara, dan beberapa hari yang lalu aku membaca sebuah surat kabar di mana mereka bersiap-siap untuk mengeksekusi Furuya Satoru. Ini membuatku sangat kaget. Jadi, sekarang di sini lah aku.”
“Saat ini, hanya Gubernur yang bisa menghentikan eksekusi. Apa yang mau kau katakan padanya?”
“Aku akan mengatakan kalau kau hampir mengeksekusi orang yang salah. Beri aku dua puluh empat jam dan aku akan menunjukkan mayat dari gadis itu padanya. Hanya dua puluh empat jam, Bapak Gubernur.”
Hakim Kojiro menggaruk-garuk dagunya dengan buku-buku jari dan mengatakan, “Malam yang buruk ini akan semakin memburuk.”
***
Waka Shohei dan Chiba Fukushi ada di ruang kerja Gubernur, menonton Harry yang wajahnya muncul di berita stasiun televisi lokal. Gubernur mereka ada di selasar, sedang diwawancarai untuk yang kelima atau keenam kalinya sejak penanganannya yang berani dalam menghadapi kerumunan massa yang sedang berapi-api (marah). “Lebih baik kita memanggilnya masuk,” kata Chiba.
“Ya, aku saja, kau tetaplah menonton ini.”
Lima menit berselang, Gubernur menonton rekaman ulang Harry. “Dia jelas-jelas tidak waras,” kata Iwata setelah beberapa detik. “Di mana bourbon itu?”
Tiga gelas diisi dan bourbon itu diteguk sedikit demi sedikit sambil mendengarkan Harry membicarakan tentang mayat gadis itu.
“Bagaimana kau membunuh Bella Stefa?”
“Mencekik lehernya dengan sabuknya, dari bahan kulit hitam dengan gesper bulat berwarna perak, masih ada di seputar lehernya.” Harry meraih ke balik kemejanya dan mengeluarkan sebentuk cincin. Dia menyodorkannya di depan kamera. “Ini milik Bella Stefa. Aku telah mengenakannya sejak malam aku menculiknya. Cincin ini ada inisialnya.”
“Lalu bagaimana caramu membuang mayat gadis itu?”
“Anggap saja dia ada di bawah tanah.”
“Berapa jauh jika dari ini?”
“Aku kurang tahu. Mungkin lima hingga enam jam. Sekali lagi, Jika Gubernur memberi kami waktu dua puluh empat jam, kami akan mencarinya dan menemukannya. Itu akan membuktikan kalau aku benar.”
“Siapa sih orang ini?!” tanya Gubernur sedikit kesal. Wajar, sebuah putusan yang dianggap sudah final, dan hanya tinggal menuju beberapa jam lagi untuk menuntaskan kasus ini, tetiba ada seorang pengacau yang punya permintaan untuk membalikan fakta persidangan dari awal.
“Dia p*******a kambuhan, catatan kejahatannya panjang sekali.”
“Benar-benar mengagumkan, apa yang mereka lakukan ini. Mereka selalu bermunculan persis sebelum eksekusi,” jawab Iwata. “Mungkin dia mendapatkan kompensasi dari Eijun.”
Mereka bertiga tertawa gugup.