Suara tawa di tepi danau itu terusik saat seorang tamu berjalan melalui pesawat televisi di dalam rumah kabin dan melihat apa yang sedang terjadi. Pesta itu dengan cepat berpindah ke dalam, dan tiga puluh orang berkerumun di seputar televisi kecil itu. Tidak satu orang pun berbicara; tidak satu orang pun kelihatannya bernapas sedang Harry bercerita, benar-benar bersedia menjawab semua jenis pertanyaan dengan jawaban-jawaban lugas dan telak.
“Kau pernah mendengar tentang orang ini, Tetsu?” tanya salah seorang pensiunan pengacara itu.
Tetsu hanya memberikan jawaban berupa gelengan kepala.
“Dia ada di kantor Eijun, di terminal bus.”
“Eijun berupaya memasang tipu muslihatnya lagi.”
Tidak ada senyuman, tidak ada cengiran, tidak ada tawa geli yang dipaksakan. Saat Hrry mengeluarkan cincin itu, dan dengan bebas memamerkannya di depan setiap kamera, rasa takut menyapu seluruh rumah kabin, dan Murasakibara Tetsu terhuyung-huyung menghampiri kursi.
***
Berita heboh itu tidak didengar oleh semua orang. Di penjara, Minami Stefa bersama dengan keluarganya berkumpul di sebelah ruang kantor kecil, menunggu van yang akan membawa mereka semua ke bilik kematian. Tidak jauh dari situ, keluarga Satoru juga menunggu. Selama hampir satu jam berikutnya, kedua kelompok saksi mata itu akan berada di tempat berdekatan yang telah dipisahkan secara cermat. Pada pukul 17.35, keluarga korban diangkut ke dalam van penjara berwarna putih dan tidak berlogo dan dibawa ke rumah kematian, perjalanan yang hampir memakan waktu kurang dari sepuluh menit. Setibanya mereka di sana, mereka langsung diarahkan menuju pintu tidak bertanda yang mengarah ke dalam ruangan kecil berukuran empat meter. Di sana tidak ada kursi, tidak ada bangku. Dindingnya kosong, tanpa tanda. Di depan mereka ada satu helai tirai tertutup, dan mereka telah diberitahu kalau di balik tirai itu ialah bilik kematian yang sebenarnya. Pada jam 17.45, keluarga Satoru melakukan perjalanan yang sama dan memasuki ruangan saksi mata mereka melewati pintu yang lain. Ruangan saksi mata itu berdempetan. Batuk keras di ruangan yang satu akan terdengar di ruangan yang lain.
Mereka pun menanti.
***
Pada jam 17.40, Mahkamah Agung Pusat berdasarkan pemungutan suara 5-4, menolak untuk mendengarkan petisi ketidakwarasan Furuya Satoru. Sepuluh menit setelahnya, Mahkamah tersebut sekali lagi 5-4, menolak cert atas petisi Harry. Eijun menerima setiap telepon itu di luar sel penahanan. Dia mematikan teleponnya, berjalan ke dalam menemui Sipir penjara dan berbisik, “Sudah tamat. Sudah tidak ada banding lagi.”
Sipir penjara itu mengangguk suram dan mengatakan, “Kau masih punya waktu dua menit.”
“Terima kasih.” Eijun kembali memasuki sel penahanan dan menyampaikan kabar itu pada Furuya. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan, perjuangan itu selesai. Furuya memejamkan matanya dan bernapas dalam-dalam sementara kenyataan itu mengendap. Hingga sebelum saat itu, harapan selalu ada, kendati jauh, sangat kecil dan nyaris mustahil.
Lalu dia menelan ludah dengan susah payah, berhasil tersenyum, beringsut sedikit mendekati Eijun. Lutut mereka bersentuhan, kepala mereka hanya berjarak beberapa senti. “Gini, Eijun, menurutmu apakah mereka akan pernah menangkap orang yang menbunuh gadis itu?”
Satu kali lagi, Eijun ingin memberitahunya tentang Harry, namun cerita itu jauh dari selesai. Kebenaran itu belum pasti. “Aku tidak tahu, Furuya. Aku tidak bisa meramalkan. Kenapa?”
“Inilah yang harus kau lakukan, Eijun. Jika mereka tidak pernah menemukan orang itu, maka orang-orang akan selalu percaya kalau akulah pelakunya. Namun apabila mereka menemukan orang itu, maka kau harus berjanji padaku kalau kau akan membersihkan namaku. Maukah kau berjanji padaku, Eijun? Aku tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan, namun kau harus membersihkan namaku.”
“Aku akan melakukannya, Furuya.”
“Aku punya angan-angan ini, di mana suatu hari ibu dan saudara-saudaraku akan berdiri berdampingan di tepi makamku dan merayakan, karena aku tidak bersalah. Bukankah itu bagus sekali, Eijun?”
“Aku akan hadir di sana juga, Furuya.”
“Buatlah pesta yang meriah, di tengah-tengah kuburan. Undanglah semua temanku, bikinlah suatu kehebohan segempar mungkin, biar seluruh dunia mengetahui kalau Furuya Satoru tidak bersalah dalam hal ini. Maukah kau melakukannya, Eijun?”
“Aku berjanji.”
“Bagus.”
Eijun perlahan-lahan memegangi kedua tangan Furuya dan meremasnya. “Aku harus pergi, Furuya. Aku tidak tahu musti mengatakan apa, selain bahwa aku bangga menjadi pengacaramu. Aku meyakini dirimu sejak awal, dan aku semakin yakin padamu hari ini. Aku selalu tahu kalau kau tidak bersalah. Dan aku membenci b******n j*****m yang membuat semua ini terjadi padamu. Aku akan terus berjuang, Furuya. Aku berjanji padamu.”
Dahi mereka bersentuhan. Furuya mengatakan, “Terima kasih, Eijun, untuk semuanya. Aku akan baik-baik saja.”
“Aku tidak akan pernah melupakanmu.”
“Jaga ibuku, Eijun.”
“Kau tahu aku akan menjaganya.”
Mereka berdiri dan berpelukan, pelukan lama dan memilukan, dan mereka tidak ingin mengakhiri itu. Sipir penjara itu berdiri di samping pintu, menunggu. Eijun akhirnya meninggalkan sel penahanan dan berjalan ke ruang selasar pendek tempat di mana Ivan duduk di kursi lipat, dia sedang berdoa sedemikian khusyuk. Eijun kemudian mulai duduk di sampingnya dan menangis haru.
Sipir penjara itu bertanya pada Furuya untuk terakhir kalinya, apakah dia mau bertemu dengan pendeta penjara. Dia tidak mau. Selasar itu mulai penuh dengan para penjaga yang berseragam,para pemuda bertubuh kekar, dan bugar dengan raut wajah galak dan lengan-lengan tebal. Mereka dihadirkan untuk berjaga-jaga bila si tahanan berubah pikiran tentang pergi dengan damai menuju bilik kematian. Terjadi srangkaian aktivitas, dan tempat itu dipenuhi orang.
Sipir penjara itu mendekat Eijun dan mengatakan, “Ayo kita pergi.” Eijun secara perlahan berdiri dan maju selangkah sebelum akhirnya berhenti dan memandang ke arah Ivan. “Ayolah, Ivan,” katanya.
Ivan mendongak bengong, dia tidak yakin di mana dirinya, yaki kalau mimpi buruk kecilnya akan segera berakhir dan dia terbangun di ranjangnya bersama istri tercintanya. “Apa?”
Eijun mencengkeram sebelah lengannya dan menariknya begitu keras. :Ayo. Sudah tiba waktunya untuk menyaksikan eksekusi.”
“Tapi…” Mimik wajah tidak percaya itu seolah sulit untuk lari dari pandangannya.
“Sipir penjara itu telah memberikan persetujuannya.” Sebuah tarikan keras lagi. “Kau penasihat spiritual tahanan yang dihukum mati itu, kau layak menjadi saksi mata.”
“Menurutku tidak, Eijun. Jangan seperti ini, aku akan menunggu saja.”
Beberapa penjaga merasa geli melihat pemandangan debat itu. Ivan sadar dengan cengiran mereka, namun dia berusaha tidak peduli.
“Ayolah,” paksa Eijun, yang saat ini sambil menyeret pendeta itu.
“Lakuakn untuk Furuya. Astaga, lakukan untukku.”
Ivan bergerak dan semuanya memburam. Mereka berjalan melalui sederetan penjaga, melewati sel penahanan tempat Furuya, dengan kepala menunduk, sedang diborgol sekali lagi, menuju pintu sempit tidak bertanda yang sebelumnya tidak diperhatikan Ivan. Pintu itu membuka dan menutup di belakang mereka. Mereka berada di ruangan kecil seperti kotak dengan pencahayaan yang samar. Eijun akhirnya melepaskan cengkeramannya, kemudian berjalan mendekat dan merangkul keluarga Satoru. “Sudah tidak ada lagi banding,” katanya lirih. “Sudah tidak ada yang tersisa untuk dilakukan.”
***
Itu akan menjadi sepuluh menit terlama dalam karier panjang Iwata Takanori di bidang pelayanan publik. Dari jam 17.50 hingga 18.00, dia ragu-ragu, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Di satu sisi, secara harfiah benar di situ tempat kerjanya. Chiba terus mendesak supaya dia memberikan penangguhan selama satu bulan. Dia beralasan eksekusi itu toh cuma akan tertunda tiga puluh hari, sedan debu mengendap dan pengakuan badut bernama Harry Kazuya itu dapat diselidiki kebenarannya. Jika Harry mengatakan hal yang sebenarnya, dan mayat dari gadis itu ditemukan, maka Gubernur akan menjadi pahlawan. Jika dia ternyata palsu, seperti kecurigaan kuat mereka, maka Furuya Satoru hanya akan hidup selama tiga puluh hari lagi, dan menerima suntikan maut itu pada akhirnya. Tidak ada kerusakan jangka panjang apa pun, secara politis. Satu-satunya kerusakan permanen yang terjadi ialah apabila mereka tidak menghiraukan Harry, mengeksekusi Furuya, kemudian menemukan mayat gadis itu persis di tempat Harry menujukkannya pada mereka. Itu akan menjadi sesuatu yang fatal, dan bukan cuma bagi Furuya Satoru.
Suasana ketika itu begitu terasa menegangkan, hinga mereka melupakan bourbon itu.
Di sisi lain, Shohei beralasan kalau bentuk kemunduran apa pun hanya memiliki satu makna, yaitu menunjukkan kelemahan, terutama mengingat penampilan Gubernur di hadapan kerumunan massa yang kurang dari tiga jam lalu. Eksekusi, terutama yang berprofil tinggi, kerap menarik berbagai macam pencari perhatian, dan Harry adalah contoh yang sempurna. Dia jelas hanya mencari sorotan, ketenaran lima belas menitnya di panggung, dan membiarkan orang yang seperti Harry membelokkan eksekusi yang layak merupakan kesalahan dari sudut pandang keadilan, dan bahkan lebih salah lagi dari sudut politik. Furuya Satoru mengaku melakukan pembunuhan itu, kata Shohei berulang kali. Jangan biarkan seorang pecundang memburamkan hal yang sebenarnya. Persidangan Furuya adil. Mahkamah banding, mereka semua, menegaskan keputusan bersalahnya.
Akan lebih baik bila cari aman saja, bantah Chiba. Hanya satu bulan, mungkin kita akan mengetahui sesuatu yang baru mengenai kasus itu.
Tapi ini sudah sembilan tahun, sembur Shohei. Ini sudah lebih dari cukup.
“Apakah ada para reporter di luar?” tanya Iwata.
“Pasti,” jawab Shohei. “Mereka telah menunggu di luar sepanjang hari.”
“Suruh mereka agar berkumpul.”
***
Perjalanan terakhir itu pendek saja, sekitar sembilan meter dari sel penahanan menuju bilik kematian, sepanjang jalanan dipagari pengawal, beberapa memperhatikan dari sudut mata mereka untuk melihat wajah tahanan yang akan dihukum mati itu, beberapa lagi menatap lantai seolah-olah mereka merupakan pengawas yang menjaga pintu gerbang kematian. Satu dari tiga air muka bisa diperkirakan dari wajah tahanan yang akan dihukum mati itu. Yang paling umum ialah kerutan dalam dengan mata membelalak, tatapan ketakutan dan ketidakpercayaan. Yang paling umum kedua ialah kepasrahan pasif, mata setengah terpejam, seolah-olah suntkan itu sudah mulai bekerja. Yang ketiga dan yang paling jarang adalah tatapan marah manusia yang bertekad membunuh setiap pengawal yang terlihat, seolah-olah dia mempunyai sepucuk pistol. Furuya Satoru tidak melawan; itu jarang sekali terjadi. Dengan seorang pengawal yang memegangi masing-masing sikunya, dia berjalan maju, wajahnya tenang, tatapan matanya terpaku ke lantai. Dia menolak membiarkan para penawannya melihat rasa takut yang dirasakannya. Dia pun tidak sudi mengenal mereka dengan cara apa pun.
Bagi ruangan yang terkenal mengerikan, bilik kematian itu benar-benar kecil, ruangan berbentuk nyaris bujur sangkar, berukuran tiga setengah kali tiga setengah meter, dengan langit-langit rendah dan ranjang logam permanen di tengah-tengahnya, berlapiskan seprai putih bersih dalam setiap peristiwa. Ranjang itu membuat ruangan terasa sempit.
Furuya Satoru tidak percaya betapa sesak ruangan itu. Dia duduk di tepi ranjang, dan keempat pengawal itu dengan cepat mengambil alih. Mereka mengangkat kakinya ke atas, meluruskannya, lalu secara teratur mengamankan tubuhnya dengan lima sabuk kulit tebal, satu di seputar dadanya, sedang satu di perutnya, di s**********n, paha dan betis. Kedua lengannya diletakkan dalam sudut empat puluh lima derajat dari tubuhnya dan diamankan dengan lebih banyak sabuk kulit lagi. Sementara mereka mempersiapkan dirinya, dia memejamkan mata, mendengarkan dan merasakan kesibukan yang berlangsung atas dirnya. Terdengar gerutuan dan beberapa patah kata, namun orang-orang itu tahu tugas mereka. Ini pemberhentian terakhir dari ban berjalan sistem pengadilan, dan para pekerjanya telah berpengalaman.
Saat semua sabuk itu telah dikencangkan, para pengawal itu perlahan mundur. Seorang teknisi medis yang berbau antiseptik mendekat dan mengatakan, “Aku akan menekan dan mencari sepotong pembuluh nadi, awalnya lengan kiri, lalu yang kanan. Kau paham?”
“Silakan saja,” sahut Furuya dan membuka mata. Teknisi itu menggosok-gosok lengannya dengan alkohol. Untuk mencegah infeksi? Benar-benar murah hati. Di belakangnya ada jendela gelap, dan di bawahnya ada celah tempat dua selang gemuk menjalar ke ranjang. Sipir itu berdiri di sebelah kanannya, memperhatikan semua kegiatan dengan saksama, benar-benar memimpin. Di belakang sipir itu terdapat jendela yang sama persis—ruangan saksi mata—tertutup tirai. Jika dia sungguh-sungguh ingin, dan kalau bukan gegara semua sabuk kulit hitam sialan itu, Furuya bisa saja mengulurkan tangan dan menyentuh jendela terdekat.
Selang-selang itu telah terpasangm masing-masing di sebelah lengan, meski hanya satu yang akan digunakan. Yang satu lagi hanya sebagai cadanganya, untuk berjaga-jaga.
***
Pada jam 17.59, Gubernur Iwata Takanori bergegas melangkah di hadapan tiga kamera di luar kantornya dan, tanpa catatan, dia mengatakan, “Penolakan saya untuk memberikan penangguhan tetap berlaku. Furuya Satoru telah mengaku melakukan perbuatan biadab itu dan dia harus menanggung akibatnya. Dia telah mendapatkan persidangan yang adil delapan tahun silam, oleh sekelompok juri yang terdiri atas rakyat seperti dirinya, dan kasusnya sudah diperiksa ulang oleh lima pengadilan yang berbeda, lusinan hakim dikerahkan, dan semuanya menegaskan keputusan bersalahnya. Pernyataan kalau dirinya tidak bersalah, tidak bisa dipercaya, begitu pun dengan usaha sensasional menjelang saat-saat terakhir ini oleh para pengacaranya dengan mendatangkan seorang pembunuh baru. Sistem pengadilan Kanto tidak bisa diboikot hanya oleh seorang penjahat yang mencari perhatian dan pengacara putus asa yang rela mengatakan apa saja. Tuhan memberkati Kanto atas segala upayanya.”
Dia menolak menjawab sejumlah pertanyaan yang datang dari para reporter, dan dia bergegas kembali ke kantornya.