Lima Puluh Empat

2323 Kata
Berdasarkan catatan klub, Hakim Kepala Seiji Yamashita dan tamunya bermain tenis di lapangan No. 8 selama satu jam yang dimulai pada pukul lima sore.   ***   Rumah Kabin Murasakibara Tetsu terletak di sebuah danau kecil sekitar enam belas kilometer di bagian selatan Kanto. Dia telah memilikinya selama bertahun-tahun dan menggunakannya sebagai tempat untuk melarikan diri, tempat persembunyian, tempat untuk memancing. Dia pun menggunakannya sebagai sarana untuk b******a pasa masa-masa perselingkuhannya dengan Hakim Suzu Hirose, sebuah babak yang patut disayangkan dan berakibat pada sebuah perceraian yang buruk yang hampir membuatnya kehilangan rumah kabin itu. Sebaliknya, mantan istrinya mendapatkan rumah mereka. Sesudah makan siang pada hari Kamis itu, dia meninggalkan kantor dan mengemudi ke rumah kabinnya. Kota semakin kisruh dan mulai terasa begitu berbahaya, dering telepon tidak ada habisnya, dan tidak satu orang pun di kantornya yang berusaha untuk terlihat produktif. Dia melarikan diri dari kekacauan itu dan tidak lama berselang dia telah berada di daerah pedesaan yang damai, menyiapkan pesta yang direncanakannya sejak satu minggu silam. Dia mendinginkan bir, mengisi persediaan bar, menyibukkan diri di seputar rumah kabin sambil menunggu para tamunya. Mereka mulai berdatangan sebelum pukul lima sore—kebanyakan dari mereka pulang dari kantor lebih awal—dan semua orang membutuhkan minuman. Mereka berkumpul di dak dekat tepi air—para pensiunan pengacara, para pengacara yang masih aktif, dua asisten jaksa di kantor Tetsu, seorang penyelidik, dan teman-teman yang lain, hampir semuanya berkaitan dalam bidang hukum. Bonjamin bersama seorang detektif lain ikut hadir. Semua orang mau berbicara pada Bonjamin, polisi yang berhasil memecahkan kasus besar. Tanpa kemampuannya yang lihai dalam menginterogasi Furuya Satoru, keputusan bersalah itu tidak akan pernah dijatuhkan. Bonjamin juga yang menemukan anjing pelacak yang menangkap bau Bella Stefa di mobil itu. Dia dengan cekatan sudah memanipulasi seorang informan penjara untuk memperoleh pengakuan satu lagi dari tersangka mereka. Sungguh pekerjaan polisi yang bagus. Kasus Furuya ialah puncak dari prestasi Bonjamn, dan dia berniat menikmatinya hingga detik terakhir. Tidak mau merasa kalah, Murasakibara Tetsu menarik perhatian orang-orang pada dirinya. Dia akan pensiun dalam beberapa tahun, dan dalam usia tuanya, dia ingin memiliki sesuatu yang kiranya bisa disombongkan. Melawan pembelaan tangguh yang ditunggangi Robert Eijun dan para timnya, Tetsu dan anak buahnya harus berjuang ekstra, berjuang demi keadilan, berjuang demi gadis itu. Fakta kalau dia berhasil memperoleh keputusan hukuman mati tanpa adanya mayat bahkan memberinya alasan lebih untuk menyombongkan diri. Minuman-minuman beralkohol itu mengendurkan ketegangan. Mereka tertawa terpingkal-pingkal pada cerita tentang Gubernur kesayangan mereka yang meneriaki kerumunan orang kulit hitam dan menyebut Furuya Satoru adalah seorang monster. Situasi menjadi sedikit lebih tenang saat Tetsu bercerita tentang petisi itu, diajukan tidak sampai dua jam lalu, di mana seorang laki-laki gila mengaku sebagai pembunuh Bella Stefa. Tapi, tidak perlu cemas, dia meyakinkan mereka, mahkamah banding  juga yang sudah menolak petisi itu. Cuma ada satu banding lagi yang masih menggantung, tapi itu juga palsu—astaga semuanya palsu—dan boleh dibilang mati di tangan Mahkamah Agung. Tetsu dengan meluap-luap kegirangan meyakinkan para tamunya kalau keadilan sudah hampir ditegakkan. Mereka bertukar cerita tentang kebakaran di beberapa gereja, di pabrik pemisah biji kapas, kerumunan orang kulit hitam yang semakin banyak di Taman Pusat Kota, dan kedatangan pasukan penyelamat. Pasukan Nasional diperkirakan akan datang pada pukul enam sore, dan semua orang setuju kalau jasa mereka benar-benar dibutuhkan. Tetsu sedang memanggang ayam, d**a dan paha ayam dilumuri saus tebal. Tapi hiburan malam itu, katanya mengumukan, ialah “Drumm sticks”. Suara tawa membahana dan menggema di atas permukaan danau.   ***   Nagano pula merupakan rumah dari Universitas Toei. Sekolah tersebut memiliki sekitar enam belas ribu mahasiswa—sekitar delapan persen termasuk kulit putih, dua belas persen kulit hitam, enam persen Hispanik. Hari Kamis sore itu, banyak para mahasiswa kulit hitam bergerak menuju penjara, sekitar delapan blok jauhnya dari pusat kota Nagano. Operasi Detai kemungkinan sudah gagal memblokir akses jalanan, namun tidak akan gagak menimbulkan neraka kecil. Jalanan yang dekat dengan penjara telah ditutup oleh para polisi lalu lintas dan polisi Nagano. Pihak berwenang memperkirakan akan terjadi sebuah masalah, dan keamanan di seputar Unit Dinding ketat. Para mahasiswa kulit hitam itu berkumpul tiga blok dari penjara dan mulai membuat kerusuhan. Saat Eijun melangkah keluar dari rumah kematian untuk menelepon, dia mendengar di kejauhan ribuan seruan beririma yang sangat terorganisir. “Furuya! Furuya! Furuya!” Dia tidak bisa melihat apa-apa selain dinding-dinding luar rumah kematian dan pagar yang dirantai, namun dia dapat menebak kalau seruan itu tidak jauh. Apa pentingnya semua itu? Sudah terlambat untuk memprotes dan berdemo. Dia mendengarkan sejenak, kemudian menelepon kantor. Riko menjawab terburu-buru. “Mereka tidak mengizinkan kami mengajukan petisi Hiro. Mereka mengunci pintu rapat-rapat pada pukul lima sore, Eijun dan kami sampai di sana terlambat tujuh menit. Padahal mereka tahu kalau kami akan datang.” Reaksi pertama Eijun ialah melemparkan telepon itu ke dinding bata terdekat dan memperhatikannya hancur berantakan menjadi ribuan keping, namun dia juga terlalu terpana untuk bergerak. Riko menambahkan, “Kelompok Pembela menelepon pegawai kepaniteraan beberapa menit sebelum jam lima. Ketika itu mereka di mobil, melaju cepat untuk mengajukan petisi. Pegawai kepaniteraan mengatakan sayang sekali, katanya dia telah berbicara dengan Seiji dan kantor tutup jam lima, Eijun, kau masih di sana?” “Ya, tidak, teruskan.” “Tidak ada yang tersisa selain petisi cert di Mahkamah Agung. Belum ada berita sama sekali mengenai mereka.” Eijun menyandar pada pagar yang dirantai itu, berusaha menenangkan diri. Marah-marah tidak akan membantu permasalahan. Dia bisa melempar barang dan menyumpah, mungkin juga mengajukan gugatan hukum besok, tapi dia harus berpikir, “Aku rasa Mahkamah Agung tidak akan membantu, kan?” tanyanya. “Tidak, aku rasa tidak.” “Oke, kalau begitu. Kita semua sudah tamat.” “Ya, Eijun, seperti itulah perasaan kami di sini.” “Kau tahu, Riko, yang kita perlukan hanya dua puluh empat jam. Jika Harry Kazuya dan Hiro Akada memberi kita dua puluh empat jam, kita pasti mampu menghentikan eksekusi sialan ini, dan ada kemungkinan besar Furuya akan dibebaskan dari penjara suatu hari nanti. Hanya butuh dua puluh empat jam.” “Aku sepakat, dan bicara soal Harry, dia ada di luar saat ini, dia menunggu kru televisi. Dia sendiri yang menelepon mereka, bukan kami, meski aku yang memberikannya nomor telepon itu. Dia mau bicara.” “Biarkan saja dia bicara. Untuk sekarang ini, biarkan dia memberitahu seluruh dunia. Aku sudah tidak peduli. Apa Kazuya siap dengan rekaman video itu?” “Aku rasa, ya.” “Kalau begitu, sebarkan video itu. Aku ingin setiap surat kabar besar dan setiap stasiun televisi mendapatkannya saat ini uga. Ayo kita membuat keributan bersama-sama. Jika harus kalah, kita akan kalah dengan semeriah mungkin.” “Siap, Bos.” Eijun mendengarkan seruan berirama di kejauhan itu selama beberapa saat lagi, sembari menatap telepon genggamnya. Siapa yang bisa dihubunginya? Adakah orang di dunia ini yang bisa membantu?   ***   Ivan mengedut saat jeruji besi itu menutup di belakangnya. Ini bukan kunjungan pertamanya ke penjara, tapi ini pertama kalinya dia dikunci dalam sel. Napasnya memburu dan perutnya melilit, namun dia telah mencoba meminta kekuatan. Sebuah doa singkat: Tuhan, tolong beri aku keberanian dan kebijaksanaan. Sesudah itu tolong keluarkan aku dari sini. Furuya tidak berdiri saat Ivan masuk ke dalam sel kunjungan, namun dia tersenyum dan mengulurkan tangan. Ivan menjabatnya, jabatan lembek dan pasif. “Aku Ivan Stefanus,” katanya sambil duduk di kursi bundar, memunggungi dinding, ujung sepatunya hanya berjarak beberapa senti dari milik Furuya. “Eijun bilang kau orang baik,” kata Furuya. Dia terlihat memusatkan perhatiannya pada kerah Ivan, seolah-olah untuk menegaskan kalau Ivan benar-benar pendeta. Suara Ivan membeku ketika memikirkan apa yang  harus dikatakannya. Sapaan “Apa kabar?” kelihatannya konyol. Apa yang harus kau katakan kepada laki-laki muda yang akan meninggal dalam waktu kurang dari satu jam, di mana kematiannya dijamin, dan yang semestinya bisa dihindari? Kau membicarakan kematian. “Eijun memberitahu padaku kalau kau tidak mau berbicara dengan pendeta penjara,” kata Ivan. “Dia bekerja untuk sistem. Sistem sudah menjatuhkan hukuman selama sembilan tahun padaku, dan tidak lama lagi dia akan memperoleh apa yang dia mau. Jadi, aku tidak mau berbicara pada sistem.” Sangat masuk akal, batin Ivan. Furuya duduk lebih tegak, kedua tangannya terlipat di depan d**a, seolah-olah siap menyambut perdebatan seru tentang agama, iman, Tuhan, surga neraka, atau apa pun yang ingin dibahas Ivan. “Kau bukan asli Kanto, kan?” “Fukui.” “Menurutmu apakah Yesus setuju dengan membunuh para tahanan untuk pembalasan dendam?” “Tentu saja tidak.” “Apakah perintah jang membunuh berlaku untuk semua orang, atau Musa lupa dan mengecualikannya untuk pemerintahan ini?” “Pemerintah dimiliki oleh rakyatnya. Kesepuluh perintah itu berlaku untuk semua orang.” Furuya tersenyum dan sedikit rileks. “Oke, kau lulus. Kita bisa berbicara. Apa yang kau pikirkan?” Ivan bernapas sedikit lebih lapang, lega sebab dirinya mampu melampaui ujian masuk itu. Dia tadinya setengah mengira akan bertemu denagn seorang laki-laki muda yang sudah kehilangan akal sehatnya, namun ternyata dia salah. Kesimpulan Eijun bahwa Furuya menjadi tidak waras karena penjara hukuman mati kelihatannya keluar jalur. Ivan langsung maju. “Eijun memberitahu padaku kalau kau dibesarkan di lingkungan gereja, dibaptis ketika masih kanak-kanak, memiliki iman kuat, dibesarkan oleh sepasan orang tua pemeluk agama Kristen yang taat.” “Semuanya benar. Aku dulu dekat dengan Tuhan, sampai Tuhan meninggalkanku.” “Tolong panggil aku Ivan. Aku pernah membaca cerita tentang seorang laki-laki yang dulu pernah duduk di sini, di dalam sel ini, namanya Darel. Dia membunuh beberapa orang dalam sebuah perang n*****a, dinyatakan bersalah dan dikirim ke penjara hukuman mati. Sementara dia mendekam di penjara hukuman mati, seorang memberinya satu Kitab Suci, dan orang lain membagi kesaksian Kristiani-nya, Darel menjadi pemeluk Kristen dan menjadi sangat dekat dengan Tuhan. Banding-bandingnya habis, dan tanggal eksekusinya ditetapkan. Dia menerima hal itu dengan penuh kedamaian. Dia mengharapkan kematian karena dia tahu kapan persisnya dia akan memasuki kerajaan surga. Aku tidak bisa memikirkan cerita lain sebagus ceritanya.” “Apa maksudmu?” “Maksudku, kau akan mati sebentar lagi, dan kau tahu kapan hal itu akan terjadi. Sedikit sekali orang yang tahu hal ini. Para prajurit di medan perang mungkin merasa seperti orang-orang mati, namun selalu ada kemungkinan mereka selamat. Aku rasa beberapa korban kejahatan yang mengerikan tahu kalau kematian mereka sudah di ambang mata, namun waktu mereka hanya sedikit. Sebaliknya, kau sudah mengetahui tentang hari ini selama berbulan-bulan. Saat ini waktunya hampir tiba, dan tidak ada salahnya jika kau berbaikan dengan Tuhan.” “Aku tahu legende Darel. Kata-kata terakhirnya ialah ‘Bapa, ke dalam tangan-Mu aku serahkan jiwaku.’ Lukas, 23, ayat 46, kata-kata terakhir Yesus sebelum meninggal di Salib, paling tidak begitulah menurut keterangan Lukas. Namun kau lupa satu hal, Ivan. Darel membunuh tiga orang, dengan gaya eksekusi, dan sudah mereka menyatakan dirinya bersalah, dia tidak pernah mengajukan tuntutan serius kalau dia tidak bersalah. Dia memang bersalah. Sedang aku tidak. Darel memang layak dihukum, bukan dibunuh, melainkan penjara seumur hidup. Sementara diriku, aku tidak bersalah.” “Benar, namun kematian tetaplah kematian, dan pada akhirnya tidak ada apa pun yang penting selain hubunganmu dengan Tuhan.” “Jadi, kau berupaya meyakinkan diriku kalau aku harus belari kembali pada Tuhan pada detik-detik terakhir, dan begitu saja melupakan sembilan tahun terakhir ini?” “Kau menyalahkan Tuhan untuk sembilan tahun terakhir ini?” “Ya. Inilah yang terjadi padaku, Ivan. Aku berusia delapan belas tahun, pemeluk lama agama Kristen, masih aktif di gereja, tapi juga melakukan hal-hal lain yang dilakukan oleh kebanyakan remaja, bukan sesuatu yang buruk, tapi astaga, kalau kau tumbuh di rumah seketat rumahku, kau pasti ingin memberontak sedikit. Aku adalah murid pintar di sekolah, futbol itu belum pasti, tapi aku tidak mengkonsumsi n*****a dan menghajar orang-orang. Aku menghindari jalanan. Aku ingin masuk universitas. Lalu, untuk suatu alasan yang aku rasa tidak akan pernah bisa aku pahami, aku tersambar petir persis di tengah-tengah dahi. Tanganku diborgol. Aku dipenjara. Fotoku menghiasi halaman pertama setiap surat kabar. Aku dinyatakan bersalah lama sebelum persidanganku dimulai. Nasibku ditentukan oleh dua belas orang kulit putih, setengah dari mereka ialah pemeluk Baptis yang baik dan taat. Jaksa penuntut umum itu seorang Metodis, dan akhirnya Presbyterian, atau paling tidak nama-nama mereka tercatat di buku gereja di suatu tempat. Mereka juga saling berselingkuh, namun aku rasa kita semua memiliki kelemahan daging. Paling tidak, sebagian besar dari kita. Saling berselingkuh, namun berpura-pura memberiku persidangan yang adil. Dewan juri itu hanya sekumpulan orang sombong. Aku ingat dulu di ruang sidang, memandangi setiap wajah mereka ketika mereka menjatuhkan hukuman mati padaku—wajah-wajah Kristen yang keras dan tidak memaafkan—dan aku berpikir sendiri, Kita tidak memuja Tuhan yang sama. Dan memang tidak. Bagaimana Tuhan bisa mengizinkan umatNya membunuh sedemikian sering? Tolong, jawab itu.” “Umat Tuhan kerap kali salah, Furuya, tapi Tuhan tidak pernah salah. Kau tidak bisa menyalahkanNya.” Kemauan untuk melawan meninggalkan dirinya. Beban berat ketika itu kembali menyergap, Furuya mencondong maju dengan kedua siku di lutut dan memegangi kepalanya. “Dulu aku pelayan yang setia, Ivan, dan lihat apa yang sudah aku dapat.” Eijun melangkah masuk dari luar dan berdiri di samping sel pengunjung. Waktu kunjung Ivan telah habis. “Maukah kau berdoa bersamaku, Ivan?” “Buat apa? Aku berdoa selama tiga tahun pertamaku di penjara, namun keadaan justru semakin buruk. Aku bisa saja berdoa sepuluh kali sehari, dan aku masih tetap duduk di sini saat ini, berbicara padamu.” “Baiklah, kau keberatan kalau aku berdoa?” “Silakan.” Sesudah itu, Ivan memejamkan mata. Dia mengalami kesulitan untuk berdoa dalam kondisi itu—Furuya menatapnya, Eijun menunggu dengan waswas, jam berdetak semakin kencang. Dia meminta Tuhan memberikan kekuatan dan keberanian pada Furuya, dan mengampuni jiwanya. Amin. Setelah Ivan selesai berdoa, dia berdiri dan menempuk Furuya di pundak, masih tidak percaya kalau Furuya akan meninggal dalam waktu kurang dari satu jam. Furuya mengatakan, “Terima kasih sudah ke sini.” “Aku tersanjung bisa bertemu denganmu, Furuya.” Mereka berjabat tangan sekali lagi. Lalu besi berdentang dan pintu-pintu dibuka. Ivan melangkah keluar, Eijun melangkah masuk. Jam di dinding, sebetulnya satu-satunya jam yang berarti, menunjukkan pukul 17.35.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN