Enam Puluh

1834 Kata
Batu mulai beterbangan, dilempar oleh para remaja yang bersembunyi di belakang kelompok para remaja lain, dan beberapa dilempar oleh orang-orang yang tidak terlihat. Setiap batu itu mendarat di jalan tempat di mana para polisi dan tentara membentuk barisan pertahanan yang biasa. Kecelakaan pertama menimpa seorang Polisi dari Kanto yang giginya tertimpuk batu dan terjatuh dengan keras, menyenangkan hati kerumunan massa itu. Pemandangan seorang polisi yang terjatuh itu menginspirasi lebih banyak pelemparan batu, dan Taman Pusat Kota akhirnya meledak. Seorang sersan polisi mengambil keputusannya untuk membubarkan mereka, dan dengan menggunakan corong pengeras suara memerintahkan semua orang untuk segera pergi atau menanggung risiko ditangkap. Ini menimbulkan reaksi marah, dan mengundang lebih banyak lagi pelemparan batu dan sampah. Kerumunan massa itu menyoraki dan meledek para polisi dan tentara, melontarkan banyak kalimat kotor dan ancaman, serta tidak menunjukkan tanda-tanda akan mematuhi perintah. Para polisi dan tentara itu, dengan helm dan tameng, membentuk barisan tebal, menyeberangi jalanan, dan memasuki taman. Beberapa pelajar, termasuk Glover, si tailback dan pemimpin awal gelombang protes, berjalan maju dengan kedua tangan teracung, menawarkan diri untuk ditangkap. Sementara Glover diborgol, sebutir batu memantul dari helm polisi yang menangkapnya. Polisi itu berteriak dan mengumpat, lalu melupakan Glover dan mulai mengejar anak yang melempar batu itu. Sejumlah pemrotes minggat dan berlari di sepanjang jalan, namun sebagian besar terus maju, melemparkan apa saja yang bisa mereka temukan. Bangku tempat para pemain menunggu giliran di salah satu lapangan bisbol itu terbuat dari bata abu, sangat bagu untuk dihancurkan hingga berkeping-keping dan dilemparkan ke para laki-laki dan perempuan berseragam itu. Seorang pelajar melilitkan serangkai petasan di sepotong dahan, menyulutnya, dan melemparkannya ke barisan itu. Ledakan yang terjadi membuat para polisi dan tentara tercerai-berai dan berlarian untuk berlindung. Kerumunan massa tertawa tergelak. Dari suatu tempat di belakang barisan, sebuah bom Molotov terjatuh dari langit dan mendarat di atap mobil polisi yang tak berlogo dan tidak berpenghuni yang diparkir di tepi jalan. Api dengan cepat menjalar karena bensin menyelimuti seluruh permukaan mobil. Hal ini menciptakan gelombang tawa tergelak lainnya dan riuh sorakan yang datang dari kerumunan massa itu. Sebuah van TV datang ketika aksi tersebut memuncak. Si reporter, perempuan pirang bertampang serius yang seharusnya memilih membawakan ramalan cuaca saja, merangkak keluar sambil menenteng mikrofon. Dia disambut oleh seorang polisi marah yang menuntut supaya dia segera masuk lagi ke dalam van dan lekas menghilang dari tempat itu. Van itu, yang dicat putih dengan huruf-huruf terang berwarna merah dan kuning adalah sasaran empuk, sehingga dalam hitungan detik sesudah remnya diinjak agar berhenti, bodinya langsung dilempari batu dan sampah. Lalu sepotong kepingan bata bergerigi menyambar si reporter di belakang kepalanya, memunculkan luka menganga lebar dan membuatnya pingsan. Lebih banyak sorakan, lebih banyak kata-kata kotor. Banyak darah. Si juru kamera menyeret perempuan itu ke tempat aman sedang si polisi memanggil ambulans. Untuk menambah kelucuan dan kerusuhan, setiap bom asap yang ada dilemparkan ke arah para polisi dan tentara, dan pada ketika itu keputusan diambil untuk membalas mereka dengan gas air mata. Kaleng-kaleng pertama ditembakkan, dan kepanikan menyapu seluruh kerumunan massa itu. Mereka mulai berpencar, orang-orang dengan panik berlarian menjauhkan diri, ada sebagian yang menyusup ke dalam pemukima sekitar. Di jalanan seputar Taman Pusat Kota, kaum laki-laki berjaga di beranda depan mereka, mendengar kekacauan yang tidak jauh letaknya, mengawasi setiap gerakan yang terlihat atau permasalahan. Para perempuan dan anak-anak berlindung di dalam rumah, sedang para suami berjaga di luar dengan siap pistol dan senapan, menunggu jika ada seorang kulit hitam yang muncul. Saat Herman yang tinggal di sekitar area itu mendapati tiga orang pemuda kulit hitam berjalan di tengah jalanan, dia menembakkan dua pistol ke udara dari berandannya dan meneriaki para pemuda itu supaya kembali ke wilayah mereka. Para pemuda itu langsung melarikan diri. Suara tembakannya membelah langit malam, sebuah sinyal serius kalau tindakan main hakim sendiri benar-benar telah dimulai. Untungnya saja, Herman tidak menarik pelatuknya lagi. Kerumunan massa itu semakin memburai, beberapa melemparkan batu sambil mundur. Menjelang jam sembilan malam, taman itu telah diamankan. Para polisi dan tentara berjalan di antara sampah; kaleng, dan botol-botol kosong, kumpulan benda-benda usang yang cukup banyak untuk memenuhi sebuah TPS. Saat bangku untuk menunggu giliran bermain itu hilang, tidak sedikit yang tersisa selain jok besi. Dalam kepanikan karena gas air mata tadi, beberapa kendaraan sudah ditinggalkan. Termasuk SUV-nya Glover. Glover bersama satu lusin temannya telah dipenjara. Empat di antaranya memenuhi hukuman itu secara sukarela, sedang sisanya karena ditangkap, mereka sedikit ada pemberontakan yang pada akhirnya sama saja. Beberapa ada yang dibawa ke rumah sakit karena gas air mata. Tiga polisi terluka, berikut si reporter perempuan. Bau pekat gas memenuhi seluruh penjuru taman. Segumpal awan kelabu yang berasal dari bom asap menggelantung tidak jauh di atas lapangan bisbol. Tempat itu mirip dengan medan perang yang tanpa korban jiwa. Pembubaran kerumunan itu berarti saat ini ada kurang lebih sekitar satu ribu orang kulit hitam marah yang berkeliaran di seputar Kanto tanpa ada niat pulang ke rumah dan tanpa rencana apa pun untuk melakukan sesuatu yang konstruktif. Kesalahan umum dari pihak aparat—para polisi dan tentara—adalah meladeni mereka dengan penggunaan gas air mata. Hal itu malah membuat situasi semakin runyam. Gas air mata itu akan sangat ampuh memicu amarah mereka. Mereka sudah dibesarkan dengan serangkaian peristiwa seperti ini sebelumnya, selang-selang kebakaran, gas air mata, dan lain-lain. Perjuangan legendaris itu telah menjadi bagian dari warisan budaya mereka, sebuah babak yang dipuja dalam sejarah mereka, dan tiba-tiba mereka ada di sini, berdemonstrasi di jalanan, berteriak di jalanan, bertarung dan kemudian disembur gas air mata, persis nenek moyang mereka dahulu. Mereka tidak memiliki niat untuk berhenti bertarung. Jika para polisi dan tentara itu inginnya bermain kasar, silakan saja.   ***   Wali Kota, Takuya Kimura, tengah memonitor kondisi kota kecilnya yang terus semakin memburuk dari departemen kepolisian yang sudah dijadikan pusat komando. Dia bersama Kepala Polisi, Saito Hajime, sudah membuat keputusan untuk membubarkan kerumunan massa di Taman Pusat Kota dan mencerai-beraikan orang-orang, dan mereka berdua sepakat kalau gas air mata wajib digunakan. Laporan mengalir masuk sekarang. Melalui radio dan telepon genggam, kalau para pemrotes berkeliaran dalam gerombolan, memecahkan jendela, meneriakkan ancaman kepada para pengemudi yang melintas, melemparkan batu dan sampah, intinya semua perilaku merusak. Pada jam 21.16, dia menghubungi Pendeta Hanamiya. Mereka berdua telah bertemu pada hari Selasa, saat Pendeta Hanamiya meminta kepada Wali Kota untuk menemui Gubernur dan meminta penangguhan. Sementara Wali Kota menolak. Dia tidak mengenal Gubernur, tidak punya pengaruh apa pun tehradap Gubernur; lagi pula, siapa saja yang memohon penangguhan cuma membuang-buang waktu saja dengan Gubernur itu. Hanamiya telah memperingatkan Wali Kota, terutama kemungkinan timbulnya kerusuhan jika eksekusi Furuya tetap dilakukan. Namun Wali Kota meragukan hal itu. Dan saat ini, semua keragu-raguan itu digantikan d******i rasa takut. Hanamiya menjawab telepon itu dan menjelaskan kalau suaminya tidak ada di rumah. Dia ada di rumah pemakaman, menunggu keluarga Satoru kembali. Dia memberikan nomor telepon genggam suaminya kepada Wali Kota dan Pendeta Hanamiya akhirnya menjawab, “Nah, selamat malam, Wali Kota.” Suaranya terdengar sopan. “Bagaimana perkembangan situasi malam ini?” “Situasi lumayan tegang sekarang, Pendeta. Bagaimana dengan Anda?” “Aku pernah mengalami hari-hari yang lebih baik. Kami ada di rumah pemakaman saat ini, menunggu keluarga Furuya Satoru kembali bersama dengan jenazahnya, jadi situasiku tidak bisa dibilang baik untuk saat ini. Ada yang bisa aku bantu?” “Kau memang benar tentang isu kerusuhan itu, Pendeta. Aku tidak mempercayaimu, aku salah, dan aku minta maaf. Aku seharusnya mendengarkanmu, dan aku tidak melakukannya. Namun situasi kelihatannya semakin memburuk. Kami telah mengalami delapan kejadian kebakaran, aku rasa, satu lusin penangkapan, setengah lusin korban luka-luka, dan tidak ada alasan untuk meyakini kalau jumlah itu tidak akan bertambah banyak. Kerumunan massa di Taman Pusat Kota telah selesai dibubarkan, namun di tempat lain masih banyak. Aku tidak akan heran jika sebentar lagi akan ada korban tewas.” “Korban yang tewas sudah ada, Pendeta. Aku sedang menunggu jenazahnya sekarang.” “Maafkan aku.” “Apa sebenarnya tujuanmu menghubungiku, Wali Kota?” “Kau adalah pemimpin yang paling disegani di komunitasmu. Kau merupakan Pendeta dari keluarga Satoru. Aku harap kau mau pergi ke tempat kerumunan itu dan menghimbau ketenangan. Pasti mereka mau mendengarkanmu. Kekerasan dan kerusuhan ini akan sia-sia saja.” “Aku punya satu pertanyaan untukmu, Wali Kota. Apakah aparatmu menggunakan gas air mata kepada anak-anak itu? Aku baru mendengar gosipnya beberapa menit yang lalu.” “Nah, ya. Hal itu dianggap perlu.” “Tidak. Itu tidak perlu, dan sungguh itu adalah suatu kesalahan besar. Dengan menerpa anak-anak kami, para polisi justru memperburuk situasi yang sebetulnya sudah buruk. Jangan berharap aku mau untuk datang memperbaiki kesalahanmu. Selamat malam.” Sambungan telepon ditutup.   *** Eijun bersama dengan Misaki Osikawa di satu sisi dan Kento Himura di sisi yang lain, berdiri di depan pengeras suara dan kamera sambil menjawab begitu banyak pertanyaan. Dia menjelaskan kalau Harry masih ada di dalam gedung dan tidak ingin berbicara pada siapa pun. Seorang reporter bertanya apakah dia boleh masuk ke dalam dan mewawancarai Harry. Hanya jika kau ingin ditangkap atau mungkin ditembak ialah jawaban tajam Eijun. Menjauhlah dari kantor kami. Mereka bertanya tentang sarapan, kunjungan, pesan terakhir Furuya dan lain sebagainya. Siapa saja yang menjadi saksi mata? Apakah ada hubungan dengan keluarga korban? Pertanyaan yang sia-sia, menurut pendapat Eijun, namun bila dipikir kembali, seluruh dunia kelihatannya percuma saja pada saat itu. Sesudah dua puluh menit, dia mengucapkan terima kasih kepada mereka. Mereka menjawab itu dengan terima kasih kembali. Dia meminta mereka pergi dan agar tidak lagi kembali. Jika Harry berubah pikiran dan mau bicara, Eijun akan memberinya pesawat telepon beserta nomor telepon. Ivan memperhatikan pertemuan pers itu dari sebuah tempat gelap di peron, di luar kantor namun di bawah berandanya. Dia sedang menelepon istrinya, menceritakan kembali setiap kejadian pada hari itu, berupaya untuk terus melek, saat Kiki mendadak mengatakan kalau Robert Eijun muncul di televisi. Dia tengah menonton berita di saluran kabel dan pengacara itu muncul di layar, langsung dari Kanto. “Aku berdiri sekitar lima belas meter di belakangnya, di balik bayang-bayang,” ujar Ivan, suaranya pelan. “Dia terlihat lelah,” kata Kiki. “Capek dan mungkin sedikit gila.” “Keduanya. Rasa lelah itu muncul dan kemudian pergi, namun aku rasa dia memang sedikit gila dari awal.” “Dia terlihat seperti manusia liar.” “Kau benar, namun di balik penampilan itu ada hati yang baik.” “Di mana Harry?” “Di sebuah ruangan, ada di dalam sebuah gedung dengan pesawat televisi dan makanan. Dia lebih senang mendekam di sana, dan itu bagus. Orang-orang ini mengenal dan menyayangi Furuya. Harry tidak punya teman di sekitar sini.z’ “Beberapa menit lalu, mereka menyiarkan kebakaran itu dan berbicara kepada Wali Kota. Dia kelihatannya agak panik. Apa kau aman-aman saja, Ivan?” “Iya. Aku bisa mendengar sirene di kejauhan, namun tidak ada yang dekat.” “Tolong berhati-hatilah.” “Jangan khawatir. Aku aman.” “Kau tidak aman, kau hancur lebur, aku tahu itu. Sekarang tidurlah. Kapan rencana kau pulang?” “Aku berencana pergi dari sini besok pagi.” “Bagaimana dengan Harry? Apa dia ikut kau kembali?” “Kami belum sempat membahasnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN