Robert Eijun meninggalkan rumahnya pada pukul lima pagi dan mengemudi di rute yang berkelok-kelok menuju kantor. Dia menurunkan jendela agar bisa mencium bau asap. Api telah lama dipadamkan, namun bau segar kayu-kayu gosong menggelantung seperti segumpal awan tebal di atas Kanto. Tidak ada angin. Di pusat kota, para polisi sedang cemas dan memblokir setiap ruas jalan dan mengalihkan lalu lintas menjauhi Gereja Baptis Pertama. Robert Eijun sempat melihat sekilas puing-puingnya yang berasap, tersorot sekelebat lampu-lampu mobil pemadam kebarakan dan ambulans. Dia mengambil jalanan belakang, dan saat dia memarkir mobilnya di stasiun kereta api tua itu kemudian melangkah keluar, bau asap masih pekat dan terasa segar. Seluruh Kanto akan terbangun dan disambut ancaman asap dari kebakaran yang mencurigakan. Yang menjadi pertanyaan, apakah akan ada lagi?
Anak buahnya mulai masuk, semuanya kekurangan tidur dan waswas untuk melihat apakah hari itu akak berbelok secara dramatis dari arah yang sudah ditentukan sebelumnya. Mereka berkumpul di ruang pertemuan utama, mengitari meja panjang yang masih penuh sampah-sampah kemarin malam. Kazuya mengumpulkan setiap kotak piza kosong dan beberapa botol bir, sedang Riko menyajikan kopi dan roti-roti. Eijun, yang berupaya tampil ceria dan bugar, mengutarakan sesuatu kepada semua orang yang telah hadir, pembicaraannya semalam bersama Kento Himura tentang rekaman rahasia dari klub telanjang itu. Himura sendiri masih belum hadir.
Telepon mulai berdering. Tidak satu orang pun yang berinisiatif menjawabnya. Si resepsionis belum masuk. “Tolong tekan tombol ‘jangan ganggu’,” teriak Eijun, dan telepon itu seolah-olah mengerti.
Misaki Osikawa berjalan dari ruangan ke ruangan, memandang ke luar jendela. Televisi menyala, namun suaranya dimatikan.
Ibuki masuk ke dalam ruang pertemuan dan mengatakan, “Eijun, aku baru saja memeriksa setiap pesan di telepon selama enam jam terakhir. Tidak ada yang penting. Hanya ada dua ancaman kematian, dan dua ucapan selamat karena hari besar ini akhirnya telah datang.”
“Tidak ada telepon dari Gubernur?” tanya Eijun.
“Belum.”
“Benar-benar mengherankan, aku yakin bahwa dirinya sendiri pun juga tidak bisa tidur sama seperti kita.”
***
Ivan akhirnya terjerumus ke dalam situasi penilangan, dan karena itu dia sering tahu persis apa yang dilakukannya pada pukul 05.50 pagi hari Kamis tanggal 8 November 2010. Lokasinya sendiri tidak jelas, sebab tidak ada kota yang kelihatan. Hanya jalanan panjang dan kosong di suatu tempat di sebelah utara Oklahoma.
Polisi lalu-lintas itu sedang bersembunyi di balik beberapa pohon di tepi jalan, dan begitu Ivan melihatnya dan melirik spidometer, dia tahu bahwa dirinya tengah terjebak masalah. Dia menginjak rem, memelan cukup banyak, dan menanti beberapa detik. Saat sinar biru itu berkelebat, Harry mengatakan, “Oh, sialan.”
“Tolong jaga bahasamu.” Ivan menginjak rem keras-keras dan segera menepi di bahu jalan.
“Bahasaku itu tidak penting. Apa yang akan kau bilan padanya?”
“Kalau aku menyesal.”
“Gimana kalau dia bertanya apa yang kita lakukan?”
“Kita sedang mengemudi di jalan raya, mungkin sedikit terlalu cepat, tapi kita baik-baik saja.”
“Aku rasa aku akan memberitahu dia bahwa aku seorang tahanan bebas bersyarat yang melarikan diri dan kau sopirku.”
“Hentikan, Harry.”
Sebenarnya Harry Kazuya terlihat persis sekali dengan sesosok karakter yang akan melarikan diri, persis di tengah-tengah sebuah audisi penting. Ivan menghentikan mobilnya, mematikan mesin, merapikan kependetaannya, dan memastikan bahwa benda itu terlihat sejelas mungkin, dan mengatakan, “Jangan berkata sepatah kata pun, Harry. Biar aku saja yang berbicara.”
Sementara mereka menunggu kemunculan polisi lalu-lintas yang sangat disengaja dan penuh tekad itu, Ivan mampu membuat dirinya sendiri tersenyum geli dengan mengakui kalau dia tengah berada di tepi jalan, terlibat bukan hanya dalam satu melainkan dua perbuatan kriminal, dan kalau untuk suatu alasan yang tidak dapat dimengerti, dia sudah memilih seorang p*******a kambuhan dan pembunuh sebagai rekannya dalam kejahatan. Dia melirik ke arah Harry dan mengatakan, “Bisa tidak kau menutup tatomu?” Tato itu terdapat di sisi kiri leher Harry, hasil karya melingkar-lingkar yang kemungkinan hanya dipahami oleh seorang pemberontak dan mau mengenakannya dengan bangga.
“Bagaimana kalau dia menyukai tato?” balas Harry yang tanpa bergerak untuk meraih kerah kemejanya.
Polisi lalu-lintas itu lantas mendekat dengan berhati-hati, membawa senter panjang, dan saat situasi sudah terlihat aman, dia menyapa dengan suara kasar, “Selamat pagi.”
“Pagi,” jawab Ivan disusul dengan mengangkat kepalanya. Dia mengulurkan surat izin mengemudinya, STNK-nya dan kartu asuransinya.
“Kau seorang pastor?” Pertanya itu lebih seperti tuduhan. Ivan begitu ragu jika ada banyak orang Katolik di Oklahoma selatan.
“Aku seorang Pendeta Lutheran,” katanya sambil tersenyim hangat. Dia berusaha menampilkan gambaran sempurna kedamaian dan kewarasan.
“Lutheran?” gumam polisi itu, seolah-olah hal itu lebih buruk daripada Katolik.
“Benar, Pak.”
Polisi itu fokus menyoroti surat izin mengemudinya. “Nah, Pendeta, tadi kecepatan anda mengendarai mobil mencapai seratus empat puluh kilometer per jam.”
“Ya, Pak. Maaf…”
“Batas kecepatan di sini seratus dua puluh. Buat apa terburu-buru?”
“Tidak terburu-buru, kok. Saya cuma tidak terlalu memperhatikan.”
“Ke mana tujuan anda?”
Ivan menyahut dengan agak ketus, “Astaga, Pak, itu bukan urusan anda.” Tapi dengan cepat dia mengatakan, “Kyoto.”
“Saya punya seorang anak laki-laki di Kyoto,” timpal polisi itu seolah-olah fakta tersebut entah bagaimana ada kaitannya. Dia berjalan kembali ke mobilnya, masuk ke dalam, membanting pintu dan mulai sibuk menulis. Sementara lampu birunya menyala begitu terang menembus kegelapan yang perlahan mulai memupus.
Saat gejolak adrenain itu mereda dan Ivan menjadi bosan karena harus menunggu, dia memutuskan untuk memanfaatkan waktu. Dia menghubungi Ichiro Ozawa yang kelihatannya sedang memegangi telepon genggamnya. Ivan menjelaskan di mana dirinya sekarang dan apa yang sedang terjadi pada saat itu. Sayangnya dia mengalami kesulitan untuk meyakinkan Ichiro kalau itu bukan apa-apa selain penilangan biasa. Mereka mampu mengatasi reaksi berlebihan Ichiro dan setuju untuk mulai menelepon kantor Robert Eijun dengan segera.
Polisi lalu-lintas tersebut akhirnya kembali lagi. Ivan menandatangani surat tilangnya, menerima kembali dokumen-dokumennya, meminta maaf sekali lagi, dan sesudah dua puluh lima menit, mereka melaju di jalanan sekali lagi. Kehadiran Harry Kazuya tidak pernah diakui.