Livia melompat turun dari ranjang ketika mata indahnya terbuka sempurna, mengitari sekeliling yang sangat asing baginya. Pertama diperiksa adalah kelengkapan pakaian serta pakaian dalam bagian bawah. Memastikan tidak ada yang kurang hingga menimbulkan kecurigaannya.
Kejadian malam itu telah meninggalkan trauma yang dalam. Rasa takut menyelimuti kala suatu menimpanya, bahkan untuk memulai hal baru Livia was-was.
Ia teringat di jalan tadi dua orang pria tinggi besar memaksanya masuk kedalam mobil dan membekap mulutnya menggunakan sapu tangan. Tak berapa lama kemudian yang kesadarannya menghilang. Dan, bangun-bangun sudah berada dalam ruangan ini.
Livia memeriksa seluruh jendela, rupanya terkunci dan terpasang teralis kokoh. Pintu ruangan juga tertutup rapat. Dari penglihatannya ruangan ini sepertinya memang dirancang khusus untuk mengurung seseorang.
“Aku di mana? Tempat apa ini? Mereka siapa?” Livia mengingat-ingat wajah dua pria yang mencegatnya. Dua wajah memang asing, ia yakin sebelumnya tidak bertemu mereka.
Dilanda ketakutan luar biasa dan keputusasaan tidak berhasil menemukan celah melarikan diri akhirnya Livia pasrah. Menunggu dengan sabar siapa saja mereka di luar sana yang membuka pintu dan menemuinya.
“Apa ini ruang rahasia Oma? Oma marah padaku karena aku melarikan diri. Oma dulunya terkenal keras dan tegas, dan, dan ... dan ini bisa saja perbuatan Oma. Livia alangkah bodohnya dirimu melarikan diri lalu tertangkap dengan mudah,” gumam Livia menebak-nebak yang sedang menimpanya saat ini yang mengaitkan dengan sang majikan.
Livia tidak salah melimpahkan yang menimpanya adalah perbuatan Hans Maria. Sebagai orang yang punya harta berlimpah segala sesuatu bisa diperbuat. Apalagi Hans Maria pernah mengisahkan bagaimana masa mudanya.
“Oma, aku melakukan ini demi kebaikan keluarga Oma. Janin ini hanya akan membuat Oma malu. Aku melindungi kehormatan Oma,” lirihnya mengusap perut yang masih rata.
Tiba-tiba Livia terisak mengenang masa-masa bersama Oma Maria penuh warna dan keceriaan. Rasa bersalah menerpanya melihat semburat jingga muncul perlahan.
Biasanya sekarang ini dia sedang menemani Oma Maria. Menghabiskan hari menunggu maghrib dengan duduk di balkon sembari menyantap kudapan yang setiap hari berbeda-beda. Mereka berdua akan berbagi cerita siapa yang mulai terlebih dahulu.
Hubungan Livia dan Oma Maria sudah seperti oma dan cucu kandung. Saling berkisah dan terbuka satu sama lain.
Dalam ruangan lain di rumah besar tersebut seorang wanita paruh baya mengenakan pakaian kurang bahan dan dandanan menor tersenyum menonton gerak-gerik Livia melalui monitor. Wanita yang meminta anak buahnya membawa Livia ikut bersamanya.
“Gadis yang polos, sepertinya dia sedang hamil. Aku harus menemuinya,” ujarnya mematikan layar monitor lantas beranjak mendatangi ruangan yang ditempati Livia.
Livia sontak memalingkan wajah menatap pintu yang dari gerakan handel seseorang membukanya. Livia mengembangkan senyum hangat menyambut sosok wanita cantik menyembul dari balik pintu seraya beringsut mundur.
“Gadis yang labil, bi bir tersenyum kaki mundur,” batin wanita yang bernama Mureal Danaeris lebih dikenal dengan sebutan Mami Mureal.
“Kamu sudah sadar, kamu lapar jangan sungkan. Panggil saya Mami Mureal,” ujar Mureal Danaeris ramah.
Mureal Danaeris lemah menatap mata bulat kebiruan milik Livia yang teduh dan tulus. Mata yang sama persis dengan mendiang putrinya jika masih hidup seusia dengan Livia.
“Mami?” Livia mengangguk mengulangi kata Mami cenderung digunakan untuk memanggil seorang yang ...? melanjutkan jalan pikirannya saja Livia tidak mampu.
“Iya, Aku lebih nyaman dipanggil Mami. Kamu tidak perlu takut, disini aman asal menurut padaku,” desis Mami Mureal memberkan penekanan.
“Kalau boleh saya tahu mengapa Mami membawa saya?” tanya Livia polos memancing tawa renyah dari pemilik bi bir merah merekah tak jauh darinya.
Livia salah tingkah, apa ada yang salah dengan pertanyaannya karena mereka tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Dan dunia ini tidak ada yang gratis atau membantu tanpa maksud tertentu.
“Cukup cerdas, Mami awalnya ingin menjadikanmu anak-anak asuh. Tadi Mami lihat kamu sedang hamil, terpaksa Mami mengurungkan niat dan berencana mengembalikanmu ketempat tadi,” aku Mama Mureal dari pertama pandangan mereka bertemu mengubah rencana.
Melihat kecantikan Livia alami dan sempurna tanpa celah bisa dijadikan primadona baru menggantikan Sarah. Sarah sebulan yang lalu mengakhiri hidup karena tidak sanggup melawan penyakit mematikan dampak dari pekerjaan yang digelutinya.
“Ja-jangan, hmm. A anu,” bantah Livia memotong ucapan Mami Mureal lalu bingung cara menjelaskannya.
Mami Mureal heran baru kali ini ada gadis yang menolak dikembalikan atau ia memang tidak tahu sedang berada di mana. Biasanya setiap yang masuk hanya dua cara bisa keluar yang pertama melarikan diri dengan resiko yang fatal dan kedua telah menjadi mayat.
“Kamu tahu saya siapa?” Mami Mureal memancing Livia.
“Hmm itu, wanita tidak benar,” jawab Livia jujur dengan mata yang dikedip-kedipkan berulang kali.
“Berapa usiamu, Nak.” Nada suara Mami Mureal berubah lembut penuh kasih.
“Dua puluh tahun.”
Mami Mureal memindai Livia dari ujung kaki sampai ujung rambut mengamati pakaian yang membungkus tubuh langsingnya. Tergolong sangat muda untuk penduduk kota. Namun, gadis di hadapannya saat ini dari penampilan berasal dari kampung dengan ekonomi menengah ke bawah.
“Baiklah, kamu bisa tinggal di rumah ini selama yang kamu mau, dan pesan Mami jangan keluar tanpa izin dan melewati pintu samping yang terbuat dari besi. Selain itu kamu bebas melakukan apa saja,” tandas Mami Mureal menepuk pelan pudak Livia.
Wanita paruh baya tersebut tidak mampu menahan gejolak kerinduan pada mendiang putri semata wayangnya saat terlalu lama bicara dengan Livia. Nada suara dan cara bicara Livia nyaris menyamainya yang telah pergi.
“Mami ...”
“Iya sayang.”
“Hmm, saya boleh keluar? Saya lapar?”
“Boleh ... Boleh, kamu cari sendiri letak dapurnya agar kamu terbiasa. Makan saja apa yang kamu sukai, semua makanan terhidang di meja. Biasanya yang tukang masak sudah pulang, tapi ya piringnya kamu cuci sendiri. Bibi Sajah sudah berumur untuk mengerjakan banyak pekerjaan,” jelas Mami Mureal menjelaskan peraturan di rumah ini.
Livia berjalan sangat hati-hati lantai rumah ini sangat jernih sampai-sampai mengira akan pecah saat diinjak. Ia sangat takjub dengan bangunan megah dua lantai tersebut, semua perabotnya merupakan barang mahal harga ratusan juta.
Livia merasa sedang berada dalam istana dalam negeri cerita-cerita yang dulu sering dibacanya. Kalimat pujian dan mulut nyaris tidak mampu lagi mengatup saking takjubnya.
Tanpa sadar menemukan sebuah pintu besar dari besi seperti di mall-mall yang sering didatanginya selama tinggal bersama Oma Maria. Langkahnya terhenti di sana beberapa saat lalu kembali melanjutkan penjelajahan menemukan letak ruang makan.
Livia sama sekali tidak tahu setiap langkah dan gerakannya sedang diperhatikan Mami Mureal lewat monitor. Mamy Mureal sempat getir saat Livia berdiri depan pintu besi cukup lama takut Livia nekad masuk dan melihat langsung sisi lain dari rumah ini.
“Aku pastikan dia tidak akan bisa keluar dari tempat ini jika membuka pintu itu,” gumam Mami Mureal tersenyum melihat Livia berhasil menemukan ruang makan.
“Akhirnya nak, kita berdua bisa makan juga. Ambu sangat lapar dari pagi belum makanan,” kata Livia mengelus perut yang masih rata menatap semua makanan yang terhidang.
***
“Mangsa baru ya, Mi?”