25. Sebuah Kebetulan

1185 Kata
Elin menenangkan diri duduk di taman, yang ia sedihkan adalah bagaimana Ibu bisa merahasiakan ini semua pada dirinya. Pertunangan adalah permasalahan hidup Elin, ia yang akan menjalaninya. Lalu Ibu memutuskan tanpa berdiskusi dengannya. Lebih dari perasaan terguncang, kekecewaan yang harus Elin tanggung lebih besar. Meski orang yang bertunangan dengannya bukan Iki sekali pun, bila tanpa pemberitahuan seperti ini siapa yang bisa menerima. Harus bagaimana Elin menghadapi Ibu setelah ini. Mempermasalahkan pertunangan yang sudah terjadi dan ingin membatalkannya hanya menghasilkan pandangan buruk pada citra keluarga mereka. Elin begitu terlarut pada pemikiran dalamnya. Riga bukan sengaja mengejar Elin ke luar, tapi ia memang sudah berniat akan pulang ketika dilihatnya Elin duduk hanya sendirian di taman luar. Riga jadi bertanya mengapa gadis itu sendirian di sana yang seharusnya berada di dalam. Saat mendekat, Riga bisa mendengar isak tangis Elin. Membuat pertanyan di benaknya semakin bertambah. Riga menunggu hingga Elin berhenti menangis dan merasa tenang, baru ia menyapanya seperti pertemuan dari sebuah kebetulan. Ya, awalnya memang kebetulan. “Oh Elin, kamu sendiri? Kenapa di luar?” Sapa Riga dengan nada ceria. “Ah, aku...” Elin tidak tahu harus menjawab apa. Riga melihat Elin bertelanjang kaki, sepatu haknya mungkin membuat kaki Elin sakit. “Sepatu baru? Kakimu luka?” Tanya Riga cemas. “Yaa... Mungkin karena aku tidak cocok mengenakannya, juga penampilan ini.” Dengan nada suara lirih, dalam situasinya sekarang apa pun membuat Elin pesimis. “Tidak ada wanita mana pun yang tidak cocok untuk mengenakan gaun dan high heels, karena mereka diciptakan untuk kalian.” Riga mengeluarkan sapu tangannya untuk dijadikan alas kaki Elin yang bergesekan dengan tanah. “Boleh kulihat lukanya?” Tanya Riga meminta persetujuan Elin. Sejenak Elin ragu sebelum mengangguk. “Untung tidak parah, tapi sebaiknya kamu memang berganti sepatu.” Saran Riga, mengingat pesta masih berlangsung dan malam masih panjang. Tapi Elin tidak punya sepatu selain yang dikenakannya. “Tidak apa Ga, terima kasih untuk perhatianmu.” Sejenak keheningan hadir. Riga sudah mengambil posisi duduk di samping Elin sejak tadi, ia memang berniat menemani gadis itu. Sudah melupakan niat awalnya untuk segera pulang melarikan diri dari acara pesta. Meski amat penasaran tentang alasan Elin menangis di hari yang seharusnya bahagia untuknya. Tapi Riga merasa sedikitnya ia tahu karena alasan apa. Bila tentang pertunangan di kalangan atas, sudah banyak Riga temui macam alasan dan tujuan di balik itu semua. Dan mungkin salah satu alasan itu terjadi pada Elin. “Aku tidak tahu pesta ini tentang pertunanganmu dengan Iki.” Riga membuka pembicaraan. “Aku pikir ini pesta yang biasa orang tua kami adakan secara rutin.” Elin masih tetap diam. “Awalnya aku malas datang, tapi orang tuaku bilang karena aku sudah kembali ke tanah air setidaknya aku harus menyetorkan mukaku pada relasi bisnis mereka, begitu.” Panjang lebar Riga bercerita tentang situasinya. Yang sekarang mendapat perhatian dari Elin. Riga tersenyum. “Kau ingat, pertemuan kita saat pertama kali di kantin sekolah?” Riga menatap Elin. “Saat itu aku baru kembali setelah pergi selama satu tahun lebih. Aku sangat rindu teman-teman juga sekolah, aku kesepian sendiri di negara asing.” Karena Riga pergi bukan atas kehendaknya sendiri, tapi perintah orang tuanya. “Lalu aku dengar ada anak baru di sekolah kami, saat aku tahu tanpa sadar aku jadi tertarik dan memperhatikanmu sejak itu.” Riga tercekat diujung kalimatnya, kaget sendiri tentang apa yang baru saja ia ucapkan. Tiba-tiba mengakui ketertarikannya pada Elin yang kini berstatus tunangan sahabatnya. “Ehm, maksudku...” Riga juga tidak tahu mengapa kata itu terucap, lalu bagaimana harus memperbaiki situasi sekarang. Elin tersenyum tipis melihat Riga yang salah tingkah. “Aku mengerti apa maksudmu karena banyak orang yang penasaran dengan kepindahanku.” “Iya... Begitu.” Riga tersenyum canggung. “Lalu kita ternyata satu club dan sekarang aku tidak sangka kamu bertunangan dengan sahabat baikku juga. Terlalu banyak kebetulan terjadi di sekitar kita. Aku sangat terkejut ketika mendengar pengumuman yang disampaikan Om Athur tadi.” Tutur Riga, membuat Elin menyadari. “Kamu tidak tahu kami akan bertunangan?” Tanya Elin merasa janggal. “Iya tidak tahu, aku rasa seluruh hadirin yang datang juga awalnya tidak mengetahui Om Athur akan membuat pengumuman seperti itu.” Jelas Riga mengingat situasi saat pengumuman disiarkan banyak reaksi terkejut dari tamu yang hadir. Jika Elin ingat, undangan pesta yang diterima dan dibacanya juga tidak menyebutkan tentang acara pertunangan. Lalu yang Iki katakan dia baru mengetahuinya juga sebelum pesta itu adalah cerita benar. “Kenapa El?” Tanya Riga cemas melihat perubahan wajah Elin. “Tapi tidak, walau begitu tidak ada yang berubah.” Batin Elin, mengetahui kebenaran situasinya sekarang pun tidak merubah apa-apa. “El, tentang pertunanganmu ini...” Riga berenti, menahan diri untuk tidak melewati batas. Bertanya tentang situasi Elin sekarang mungkin hanya membuat gadis itu merasa semakin tidak nyaman. Lagi pula hubungan Riga belum sedekat itu dengan Elin hingga bisa bertanya hal privasi. “Aku tidak ingin kembali ke dalam.” Kata Elin pelan. Mendengar kata pertunangan membuat suasana hati Elin kembali suram. “Kenapa?” Riga diam-diam berharap Elin mau bercerita padanya lebih dulu tentang apa yang terjadi, juga yang membuatnya menangis sendirian. Pikiran Elin masih dipenuhi hal suram, tidak satu pun kejadian baik terlintas dalam ingatan untuk memperbaiki suasana hatinya. “Aku tidak suka suasana pesta, dan aku tidak mengenal siapa pun di sana.” Riga mencoba mencari kata-kata yang bisa membuat Elin merasa tenang. “Kalau begitu, tetaplah bersama Iki maka semua akan beres.” “Justru aku kemari karena tidak ingin bersamanya.” Elin kelepasan bicara. Riga terus memandang wajah Elin memperhatikan setiap reaksi terkecil pada wajahnya. “Aku tahu kalian tidak akur, tapi Iki bisa mengesampingkan urusan pribadi. Dia akan bersikap baik padamu demi reputasinya di hadapan tamu undangan.” Elin tertawa, ia tahu apa yang Riga maksudkan. Elin sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri. Sementara Riga senang bisa membuat Elin tertawa meski sesaat. “Iki sudah berpengalaman dengan suasana pesta, lalu dia juga sudah banyak pengalaman dengan pertunangan,” Riga salah bicara. “Maksudku, dia pasti membantumu El. Kamu tidak perlu menghkawatirkan apa pun.” Elin menautkan alis, tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. “Apa maksudmu dengan Iki berpengalaman bertunangan, memang ada pengalaman tunangan yang semahir itu?” Padahal Riga berharap Elin tidak mendengar kata terakhirnya. “El, aku salah biacara. Maksudku...” Riga panik. “Aku rasa bukan tempatku untuk menjelaskannya padamu. Kamu bisa tanyakan pada orangnya sendiri saja ya?” Pinta Riga agar membiarkan topik ini berlalu. Elin sudah terlanjur tahu dan sekarang ia kepikiran bila tidak mendengar sisanya. “Tapi kamu sahabat baiknya, jadi jelas tahu tentang Iki ‘kan?” “Ngg, kalau begitu tidak harus aku yang menceritakannya padamu El. Semua orang tahu, tidak ada rahasia di lingkup SOPA. Bagaimana kalau kau mencari tahu dari orang lain?” Riga coba tawar-menawar dengan Elin. Ia merasa tidak enak harus membicarakan temannya di belakang. Elin merajuk agar Riga mau buka mulut. “Tapi yang ada di sini sekarang hanya kamu Ga! Aku tidak mengenal banyak orang di sekolah.” Saat itu muncul kehadiran seorang yang tak diduga siapa pun. “Masih ada aku.” Iki hadir di sana tepat pada waktunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN