19. Memori Pertama

1314 Kata
Carol datang ke ruang OSIS karena cemas dengan keadaan Iki, tapi ia tidak kuasa membuka pintu ruangan itu karena pembicaraan di dalam. Setiap kali nama Alpha muncul dalam pembicaraan, Carol tidak bisa menahan diri untuk menghindar. Sampai saat ini segala hal yang terkait Alpha terasa berat dan menyakitkan untuk Carol, terutama ia rasakan di bagian hati. Carol terdiam berdiri di depan pintu yang tertutup rapat, sebelum akhirnya ia pergi dari sana saat pembicaraan di dalam semakin intens mengarah pada Alpha. Di mana pun berada saat sendiri, Carol tidak bisa lepas dari mengingat Alpha. Karena di setiap sudut SOPA terdapat kenangan bersama dengannya. Ke mana pun Carol pergi, bayangan Alpha di sisinya bagai kutukan dari masa lalu. “Kamu campuran ya? Rambutmu memang pirang tapi kalau dilihat baik-baik bola matamu berwarna hitam pekat, persis seperti milikku.” Alpha di tengah jam pelajaran berlangsung bicara tentang hal di luar materi pembahasan, membuat Carol merasa tidak nyaman dikomentari seperti itu. Alpha dan Carol satu kelompok praktek dan mereka di tengah mata pelajaran biologi pembedahan katak. Inginnya Carol tidak menanggapi sama sekali tapi Alpha terus membual hal yang tidak perlu. “Campuran negara mana?” “Yang harus kamu amati katak itu, bukan aku.” Tegas Carol agar Alpha berhenti mengajaknya bicara. “Sudah kok, aku sudah selesai.” Alpha memperlihatkan buku catatan tugasnya yang sudah terisi rapih. “Kalau begitu tinggal membuat kesimpulan. Cepat kita selesaikan!” Carol berjalan kembali ke tempat duduk meninggalkan Alpha. “Tunggu Jasmine,” Panggil Alpha. Carol berhenti, terdiam sejenak sebelum berbalik. Berjalan kembali ke hadapan Alpha. “Kamu panggil apa?” Tanya Carol. “Jasmine.” Jawab Alpha polos, tidak menyadari perubahan suasana hati Carol. Karena bagi Alpha yang terlihat sejak awal Carol memang tidak begitu senang padanya. “Dengar ya,” Carol bicara dengan amarah tertahan. “Tidak ada yang berani dan berhak memanggilku dengan nama itu dan jangan panggil aku Jasmine!!” Geram Carol kemudian pergi berlalu, bukan kembali ke tempat duduknya tapi berjalan ke luar kelas. “Tunggu...” Alpha tidak mengerti kenapa Carol marah, karena itu dia pergi mengejarnya. Saat Alpha berhasil mengejar dan mencoba menghentikan Carol dengan mencegatnya di depan. Alpha tak menyangka Carol menangis. Bukankah tadi dia marah, lalu sekarang menangis. Alpha tidak mengerti harus bagaimana, tidak tahu harus berbuat apa. “Maafkan aku jika aku salah, itu karena namamu sangat indah. Menurutku lebih bagus dengan nama Jasmine karena sesuai dirimu.” Di saat itu Mahdi yang baru kembali dari toilet melihat Alpha dan Carol di lorong. Merasa ada yang tidak beres Mahdi menghampiri mereka. Yang menjadi perhatian pertama Mahdi adalah keadaan Carol yang tidak biasa, Carol terisak menangis. “Ada apa ini?” Tanya Mahdi panik. Yang seharusnya dalam keadaan panik itu Alpha karena rasa bersalah telah membuat Carol menangis. “Itu... Aku yang melakukannya.” Alpha membuat pengakuan. Mahdi terkejut dengan kejujuran yang tiba-tiba. “Apa? Maksudmu, kau yang membuat Carol menangis?” Alpha menyesal. “Iya... Aku rasa. Tadi aku―” “Penjelasnnya nanti saja.” Sela Mahdi pada ucapan Alpha. “Carol kita ke UKS ya? Tenang-tenang, tidak apa-apa...” Mahdi membimbing Carol ke UKS, Alpha mengikuti tanpa kata. Di UKS setelah keadaan Carol cukup tenang, Mahdi mengajak Alpha untuk bicara di luar. “Apa tidak apa-apa kita di sini? Pelajarannya bagaimana?” Meski cemas dengan keadaan Carol tapi Alpha juga tetap mengkhawatirkan pelajaran. “Tidak apa-apa sebentar lagi masuk waktu istirahat. Jadi apa yang terjadi?” Tanya Mahdi. “Ya itu...” Alpha pun menceritakan kejadian di kelas saat jam pelajaran berlangsung sampai saat di kolidor tadi. “Aku tidak mengerti, apa aku melakukan kesalahan hingga membuatnya menangis?” “Aku mengerti kejadiannya. Tentang Carol, tolong mengertilah dia. Ceritanya panjang tapi aku persingkat saja.” Mahdi mulai bercerita. “Jasmine adalah nama yang diberikan oleh nenek buyut Carol semasa hidup.” Latar belakang keluarga Carol masih mengalir darah bangsawan Eropa. Nenek buyut Carol adalah keturunan Asia. Wajah Carol yang masih ada sentuhan oriental itu khususnya pada bola mata Carol adalah warisan dari nenek buyutnya. Cerita Mahdi baru saja dimulai. “Carol selama ini tinggal bersama kakek dan neneknya di sini. Sementara kedua orang tuanya sibuk bekerja dan menetap di luar negeri. Ia selalu merasa kesepian. Tapi sebelum datang ke tanah air, Carol tinggal dan tumbuh besar bersama nenek buyutnya.” Carol tumbuh dan dirawat oleh nenek buyut dengan memperkenalkan negeri Asia yang jauh dan terasa asing bagi Carol ketika itu. Budaya, sejarah dan keindahan tanah daratannya serta kekayaan laut, semua itu diperkenalkan selayaknya dongeng dalam keseharian Carol hingga ia tidak lagi merasa asing dan jatuh cinta. “Saat Carol pertama kali menginjakkan kaki di negeri ini, nenek buyutnya tidak lagi sesehat dulu untuk bisa ikut pergi bersama. Sayangnya kabar buruk menimpa saat Carol sedang berada jauh, nenek buyutnya berpulang sementara Carol tidak berada di sampingnya.” Alpha masih mendengarkan cerita Mahdi dengan seksama. Carol merasa amat kehilangan dan dihantui rasa bersalah. Permintaan terakhir nenek buyutnya adalah bisa kembali ke tanah air yang selalu dirindukan. Tapi hanya Carol seorang yang bisa sampai ke tanah air. Sampai saat ini Carol masih belum bisa melupakan rasa kehilangan, terlebih kenangan tentang panggilan nama Jasmine yang selalu nenek buyut panggil dengan penuh kasih sayang, karena nama itu mengandung kecintaan dan kerinduan nenek buyut pada tanah airnya. “Tidak ada yang memanggil Carol dengan panggilan Jasmine bahkan keluarganya sekalipun. Carol sangat tidak suka. Jangan lakukan itu!” Peringatan Mahdi pada Alpha. “Mungkin itu membuatnya sedih karena teringat.” Mahdi mengakhiri ceritanya. Diperingatkan seperti itu pun, Alpha punya memikiran sendiri. Pada jadwal berikutnya, pelajaran olahraga Alpha berniat minta maaf. Tapi mencari waktu yang tepat begitu sulit. Alpha beranikan diri mencoba menyapa Carol saat melakukan pemanasan lari keliling lapangan. Alpha memperlambat tempo untuk bisa berlari di sisi Carol. “Ehm, tentang yang tadi itu...” “Lupakan, anggap tidak pernah terjadi.” Tandas Carol tidak memberi Alpha kesempatan bicara. “Aku sudah dengar dari Mahdi. Tapi aku pikir alangkah baiknya jika aku bisa mendengar langsung darimu.” Melihat mereka berdua, Alpha dan Carol. Anak-anak lain mulai bergunjing membuat Carol merasa tidak nyaman. Mungkin Alpha tidak menyadari hal seperti itu tapi Carol sangat peka dengan perhatian sekitar karena saking seringnya dia jadi pusat perhatian dan konsumsi gosip kalangan awam. “Lebih baik kamu jauhi aku.” Carol tidak ingin mereka jadi bahan pembicaraan. Alpha tidak paham. “Kenapa? Kita ‘kan teman sekelas, satu sekolah. Aku ingin kita bisa akur dan akrab―” “Kamu tidak mengerti!” Kata Carol mulai kesal. Ia mempercepat tempo larinya meninggalkan Alpha. “Ya! Aku memang tidak mengerti, mungkin karena aku bodoh!” Carol tersentak hingga menghentikan larinya, pandangannya meratap ke bawah. Baru kali itu Alpha meninggikan suara bicara padanya. “Maka itu aku juga tidak menemukan cara untuk minta maaf padamu!” Keheningan merasuk di antara mereka. Alpha berjalan mendekati Carol. “Maaf sudah berteriak padamu. Maaf juga untuk kesalahanku yang memanggil namamu sesukaku, aku tidak tahu.” Carol tahu itu bukan kesalahan Alpha tentang namanya, Alpha tidak harus meminta maaf karena hal itu. Alpha hendak pergi namun ia menatap Carol sekali lagi. “Tapi nama Jasmine bagiku tetap lebih indah, begitu juga dengan warna bola matamu yang terasa tidak asing bagiku. Maaf kalau aku terlalu jujur padamu, tapi aku hanya bicara mengikuti kata hatiku.” Selesai berkata Alpha kembali berlari menyelesaikan sisa putarannya, berlalu meninggalkan Carol sendiri. Memang benar dari keseluruhan fisik Carol yang tampak serupa orang asing, hanya bagian matanya yang menunjukkan ciri khas tanah air. Alpha tidak akan pernah mengetahui betapa Carol sangat menderita setiap kali melihat dirinya berkaca di cermin. Carol selalu teringat pada ucapannya tentang warna bola mata Carol yang berdarah campuran. Sering kali Carol berpikir jika saja di hari Alpha berniat pergi, ketika itu ia datang menemuinya dan sampaikan kata perpisahan pada Carol. Mungkin Carol tidak berakhir seperti ini, merasakan siksaan dari kehilangan dan perpisahaan tanpa persiapan. Seperti yang terjadi dengan nenek buyutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN