20. Ujian Susulan

1181 Kata
Bila classmeeting dimulai itu sama dengan artinya pekan ujian sudah berakhir. Sayangnya tidak demikian untuk Iki dan Elin. Mereka masih harus menyelesaikan ujian di dua mata pelajaran yang sempat tertunda karena insiden kemarin. Lebih dari ujian, yang menguji kesabaran Elin adalah kenyataan ia harus mengerjakannya bersama Iki, pada waktu yang sama di ruangan yang sama hanya mereka berdua di bawah pengawasan CCTV. Kenapa tiba-tiba CCTV dan bukan guru pengawas, Elin sendiri mempertanyakan dalam hati. “Ingat dengan baik, kalian tetap diawasi dan semuanya terekam.” Pesan Pak Aryan. “Semoga berhasil dengan ujian kalian.” Lalu Pak Aryan meninggalkan Iki dan Elin. Batas waktu yang diberikan sama seperti sebelumnya selama 90 menit. Baru separuh waktu berjalan Iki sudah meletakkan alat tulisnya dan membalik lembar jawaban. Sekali pun ia sudah selesai, Iki harus menunggu hingga waktu ujian habis baru dia bisa pergi meninggalkan ruangan. “Apa dia sudah selesai? Secepat ini? Apa dia hanya asal menjawab?” Tidak seharusnya konsentrasi Elin terusik dengan hal itu memang, tapi yang membuat jengkel tetap menjengkelkan. Terlepas dari serius atau tidaknya Iki menjawab soal ujian. Di mata Elin, Iki hanya sosok yang menyebalkan. “Tidak Elin tidak, fokus dengan ujian.” Elin kembali serius pada soal ujian di hadapannya. Iki memperhatikan Elin begitu berjuang dan kesulitan di tempatnya berkutat dengan soal ujian. Tidak tahan melihat lebih lama Iki memilih terpejam, duduk santai dengan tangan bersilang di d**a hingga pak Aryan datang menemui mereka. Pintu ruangan ujian kembali terbuka, pak Aryan datang tepat sesuai jadwal. “Waktu kalian habis. Bapak akan beri kalian waktu 15 menit jeda sebelum ujian selanjutnya.” Pak Aryan meminta keduanya meninggalkan ruangan. Iki dan Elin tidak bisa pergi terlalu jauh dari ruang ujian, mengetahui itu Riga sengaja datang sampai ke sana ingin melihat keadaan Iki. “Hai El! Aah.. benar juga, kamu ujian susulan bersama Iki ya?” Sesampainya di sana orang yang pertama Riga sapa justru Elin bukan sahabatnya Iki. “Oh Riga, iya begitulah...” Elin malas berkomentar situasinya yang terjebak bersama Iki. “Iki bagaimana ujiannya?” Tanya Riga kali ini pada Iki yang seperti menunggu perhatian darinya. “Menarik, ujian tanpa pengawas.” Komentar Iki. “Begitukah? Kudengar Wildan yang mengusung ide itu. Sekolah menyetujui untuk uji coba sistem baru pada kesempatan ini.” Riga dengar sendiri dari beberapa guru yang bertanggung jawab dengan hal ini. “Wildan? Apa ketua OSIS punya kuasa untuk itu juga?” Batin Elin. Iki dan Riga jadi keterusan berdiskusi di sela istirahat itu. “Tapi aku rasa masih banyak kekurangan dan celah, ide ini masih harus banyak dibenahi dan dirampungkan.” Riga setuju dengan Iki. “Ya itu sudah jelas. Wildan hanya baru membagi gagasan besarnya saja.” “Kalian di sana,” Panggil pak Aryan pada Iki dan Elin. “Kita mulai ujian kedua, sudah waktunya.” “Sudah waktunya?” Jerit Elin. Padahal rasanya baru tadi dia keluar dari ruangan. “Sial! Aku terlalu terbawa pembicaraan mereka berdua sampai lupa mempersiapkan ujian berikutnya.” Rutuk Elin dalam hati. “Baiklah kawan aku pergi.” Pamit Riga. “Dan Elin semoga berhasil dengan ujianmu!” Senyum penuh pesona Riga pada Elin. “Kita bertemu lagi di pertemuan club nanti.” Elin hanya membalas dengan anggukan lemah lalu masuk ke dalam ruangan. “Tunggu, club apa yang kau maksud?” Tahan Iki sebelum Riga pergi. Satu-satunya club yang Riga ikuti sepengetahuan Iki adalah club penelitian mereka. “Tentu saja club penelitian, Elin anggota club penelitian juga sekarang. Aku akan mulai membangunnya lagi, club impian kita seperti dulu.” Deklarasi Riga di depan Iki. *** Karena perkataan Riga tadi, Iki jadi kepikiran bagaimana kondisi club saat ini. Juga bagaimana ceritanya Elin bisa bergabung menjadi anggota. Riga memang pernah berkata padanya soal pencabutan putusan pembubaran club penelitian tapi Iki tidak sampai mengira Riga akan mulai menjalankan club lagi. “Apa Riga bermaksud merekrut anggota baru secara terbuka?” Itu yang mengusik pikiran Iki. Jika anggota bertambah dengan siapa pun itu yang tidak Iki kenal, dia tidak ingin itu terjadi. “Tidak! Apa peduliku. Aku sudah meninggalkan dan melupakan club.” Iki berusaha memperjelas posisinya. “Apa pun yang Riga ingin lakukan dengan club itu bukan urusanku lagi.” Kemelut panjang batin Iki terus berlanjut. Iki punya banyak waktu memikirkan hal lain karena ujiannya sudah selesai ia kerjakan. Sementara Elin, lagi-lagi kesulitan mengerjakan ujian. Gelagatnya jelas menunjukkan gugup, tegang karena ia terus menyeka telapak tangan dengan kain. Iki teringat seseorang dengan sidrom yang sama, Wildan juga dulu seperti itu bila menghadapi hari penting. Iki tidak ingat pasti kapan Wildan berhasil mengatasi sidromnya itu. Ada satu hal lain yang membuat Iki teringat saat memperhatikan Elin. Dan mungkin itu juga hal yang sama bersarang dibenak empat sekawan. Ini pertama kalinya Iki bicara lebih dulu pada Elin. Saat mereka meninggalkan ruang ujian. “Dengan kemampuan otakmu itu, aku heran. Bagaimana kau bisa diterima masuk SOPA?” “Apa pedulimu?” Balas Elin dengan sikap santai. Tidak ada energi tersisa untuk Elin menghadapi sikap sinis Iki padanya. Cukup tetap terus berjalan dan tinggalkan saja Iki maka dia akan berhenti sendiri, begitu pikir Elin. “Jelas bukan karena aku peduli atau penasaran. Hanya saja kau sangat bertolak belakang dengan seorang yang kukenal.” Untuk saat ini Iki berhasil memulai percakapan. “Sudah jelas jawabannya ‘kan. Karena kami orang yang berbeda.” Elin tidak tahu maksud dan tujuan Iki mengajaknya bicara lebih dulu untuk alasan apa, karena selama ini Elin cukup yakin keberadaannya tidak masuk kedalam kriteria area pandang Iki. Tetap saja Elin tidak mengendurkan pertahanan dan sikap waspada. “Tapi kalian sama-sama murid pindahan yang diterima SOPA. Aku bisa mengerti kenapa dia bisa diterima di sini. Siswa akselerasi dengan kemampuan dan bakat yang diakui siapa pun. Tapi kau?” Dari sini Iki mulai menggunakan kata-kata sinis memprovokasi. “Apa kau punya uang?” Iki tidak akan segan membalas perlakuan seseorang persis seperti apa yang ia terima dari siapa pun itu tanpa melihat gender. Ini adalah prinsip yang Iki pegang. “Tapi tidak, SOPA sudah lebih dari cukup secara finansial meski tanpa uangmu sekalipun. Lalu jika uang tidak, dan nilai juga bukan jawabannya. Apa rahasiamu bisa masuk ke SOPA ini?” Sudut bibir Iki mencibir dengan sorot mata tajam. Iki memang memutar ucapannya, tapi Elin bisa memahami dengan baik yang Iki maksudkan. Juga apa yang Iki harapkan dari reaksi Elin, marah dan tersinggung. Bila hanya kata-kata sindiran tajam Elin sudah terbiasa melatih diri untuk tidak perduli. “Sebaiknya kau berkaca pada nilaimu sendiri yang tidak seberapa itu, apa nilaimu bisa membantu?” “Haha... Aku?” Iki tercengang mendapat perlakuan seperti ini dari seseorang yang bahkan tidak layak berada di SOPA. “Sudah pernah kukatakan, ketahui posisimu! Lalu lebih baik lagi jika kau kenali siapa musuhmu.” Gertak Iki. “Sayang sekali, aku tidak tertarik untuk mengenalmu lebih dari ini.” Kata Elin santai dan datar, saat ia mengatakan itu bahkan Elin tidak menatap lawan bicaranya. “Kenali musuhmu? Apa boleh buat, lakukan sendiri jika itu yang kau inginkan. Karena sepertinya kau dan juga siswa SOPA amat penasaran dengan latar belakangku.” Elin tersenyum sinis pada Iki sebelum ia pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN