17. Cover Both Side

1362 Kata
Persis seperti yang Iki prediksi, Wildan membawanya ke ruang OSIS. Lalu di sana sudah berada Riga dan juga Mahdi yang siap menuntut keterangan dari Iki. “Bukan aku yang meminta mereka di sini.” Pembelaan diri Wildan menjawab sorotan mata Iki. Di SOPA rumor beredar sangat cepat karena lingkup yang kecil. Seperti halnya dengan berita kepindahan Elin saat itu. “Tapi baguslah, karena kalian sudah di sini aku tidak perlu mencari.” Wildan bicara pada Mahdi dan Riga. “Bagaimana hasilnya?” Tanya Riga cemas. Kecurangan ujian adalah pasal pelanggaran berat peraturan di sekolah. Di belahan mana pun tidak ada sekolah yang bisa menerima pelanggaran ini. “Kenapa diam, cepat katakan!” Tuntut Riga tak sabar pada kedua temannya yang baru datang itu. Ia sudah menunggu dengan cemas dan harap dalam waktu yang terasa lamban berlalu. Setidaknya salah satu dari Iki atau Wildan angkat biacara menjelaskan situasi terbaru. Iki tetap bungkam, Wildan yang akhirnya bicara. “Skor selama 3 hari.” “Oohh, syukurlah...” Ucap Riga, Mahdi yang mengamati dalam diam juga bisa bernapas lega. “Lalu apa kau sudah upayakan kejadian ini tidak semakin menyebar luas?” Tanya Wildan pada Riga. Hanya Riga yang bisa Wildan mintai bantuan dengan permasalahan ini dan mampu melakukannya karena latar belakang status Riga di sekolah. Riga mengangguk dengan tatapan menyakinkan. “Sekarang katakan! Apa yang terjadi?” Riga masih belum selesai dengan pertanyaannya. “Apa yang sedang kau pikirkan Iki sampai keadaan jadi seperti ini?” Sekarangkah saatnya, tanda interogasi dimulai. Ini yang membuat Iki malas bertemu dengan Riga atau Mahdi, atau ikut bersama Wildan ke tempat ini. Iki menatap Wildan memberi isyarat untuk mewakilinya bercerita. “Kau sendiri yang jelaskan dengan mulutmu itu!” Perintah Wildan. Iki menarik napas berat “Hhah...” Dan mulai bercerita... Kejadian sebenarnya yang membuat Iki dicurigai berbuat kecurangan adalah Iki ingin menangkap basah praktek kecurangan masa ujian di sekolah, bukan kebalikannya tertangkap basah berbuat curang. Karena itu, Iki sudah merencanakan semua dengan matang bahkan jauh sebelum masa ujian dipersiapkan. Rencana itu juga yang membuat Iki lolos dari hukuman terburuk. Sejak hari pertama ujian Iki sudah mempelajari situasi di dalam kelas. Secara khusus Iki menaruh perhatian pada beberapa teman di kelas saat ujian tengah berlangsung, salah satunya orang itu adalah Dean. Lalu Iki putuskan untuk mendekati Dean karena berdasarkan pengamatan Iki, Dean yang paling mencurigakan. Di sudut sekolah yang sepi Iki sengaja mendatangi Dean yang tengah berkumpul dengan beberapa teman dekatnya. Di kelompok itu hanya Dean yang berasal dari kelas yang sama dengan Iki. Awalnya bukan perkara mudah untuk Iki masuk ke lingkar pertemanan itu. Karena biasanya orang yang sadar berbuat salah makin rapat menutup diri, juga mereka tidak mudah percaya selalu waspada dan mencurigai semua orang. “Sertakan aku juga.” Kata Iki pada Dean dan teman-temannya. “Kalian tahu ‘kan, jika uang yang kalian inginkan aku punya sebanyak apa pun yang kalian pinta.” Dean dan teman-temannya tertawa. “Bukan hanya keluargamu yang punya bisnis Ki.” “Lalu apa yang kalian inginkan, bilang saja.” Tantang Iki lagi. “Kami tidak tertarik apa pun tawaranmu, jadi pergilah!” Tolak yang lain merasa terusik dengan kehadiran Iki di sana. “Akan kulakukan apa pun yang kau inginkan, aku turuti kata-katamu.” Iki bicara menatap Dean. Dean hampir tergiur dengan perkataan Iki, tapi Tommy segera mencegahnya. Sebenarnya Dean selama ini tidak pernah suka dengan sikap sok berkuasa Iki di sekolah. Bila punya kesempatan atau celah, Dean ingin sekali menggulingkan posisi Iki yang selalu bertahan di puncak kekuasaan seluruh siswa. “Sebaiknya kau jujur, apa yang kau cari?” Tanya Tommy, ia adalah sahabat baik Dean sejak kecil siswa tingkat 2-kelas 3. “Bukankah kau ini siswa elite yang selalu berada di top ranking.” Iki tertawa. “Haha... Itu dulu saat aku masih bocah dan lugu.” Iki berusaha terlihat seangkuh mungkin untuk memprovokasi lawan bicaranya. “Kau lihat sendiri aku sekarang, terlalu sibuk mengejar passion hingga tak punya cukup waktu untuk belajar.” Bisa Iki lihat tingkah laku dan ucapannya menuai cibiran dari pendengar yang hadir di sana. Lalu strategi selanjutnya untuk memberi kesan menyedihkan selayaknya pecundang. “Jika kali ini nilaiku buruk lagi pada ujian, aku bisa dalam masalah besar di rumah.” “Baiklah, biar aku pikirkan dulu.” Kata Dean. Teman-temannya yang lain tidak setuju. “Dean―” Namun Dean meminta yang lain untuk tetap diam. “Aku akan mengabarimu segera.” Tuntasnya. Iki setuju dengan kesepakatan yang Dean tawarkan, lalu pergi meninggalkan kelompok itu. Setelah Iki sepenuhnya pergi dari sana. Dean bersama teman-temannya belum selesai bicara. “Apa yang kau rencanakan membawa Iki masuk ke dalam kelompok kita?” Protes Tommy. “Iki sangat berbahaya, dia tidak bisa dipercaya Dean!” Penolakan tegas dari yang lain. “Aku tahu, aku juga sama sekali tidak percaya pada Iki.” Ucap Dean. “Lantas?” Tanya Tommy. “Kesempatan untuk menjatuhkannya yang sejak lama aku tunggu akhirnya tiba, biarkan Iki menjadi tumbal kita. Itu rencana dan tujuanku!” Dean sudah sepenuhnya dikuasai hasrat untuk mencelakai Iki, ia semakin gelap mata saat Iki atas kehendak sendiri datang padanya. “Kau yakin? Kau yakin rencanamu akan berhasil menjerat Iki jatuh?” Mengingat selama ini Iki selalu berhasil lolos. “Akan kupertaruhkan segalanya!” Tekad Dean. *** “Lalu bagaimana caramu bisa lolos?” Tanya Riga tak sabar. Tapi cerita Iki belum berakhir... Tidak lama Iki mendapat jawaban oke dari Dean. Ia memutuskan melancarkan strategisnya di hari terakhir pada jam ujian kedua, dengan alasan Iki paling lemah di mata pelajaran itu. Di sisi lain Dean juga pasti sudah memiliki rencana sempurna untuk menjebak Iki dan sudah mempersiapkan jalan keluarnya sendiri agar tidak terseret. Pemikiran Dean yang ingin mengkambing-hitamkan dirinya itu juga sudah masuk dalam perhitungan Iki. Bagian di luar dari perhitungan Iki adalah campur tangan Elin yang terseret dalam rencana rahasianya. Elin mengadukan kecurangan, pada timing yang tepat pengawas menangkap basah Dean dan Iki melakukan kontak di tengah ujian yang seharusnya terlarang. Iki sebenarnya merasa beruntung pengawas menangkapnya pada timing yang tepat saat Dean beraksi, sehingga bukan hanya dirinya seorang yang terkena masalah. Dean tidak bisa berkelit dan lolos di depan semua bukti dan saksi. “Dan cara Iki lolos, kalian tidak akan percaya ini.” Sela Wildan di tengah cerita Iki. “Apa?” Mahdi setengah mati tegang menunggu jawaban. “Iki punya argumen dan alibi kuat yang ia persiapkan dengan matang.” Papar Wildan. Dari titik ini Wildan yang mengambil alih kelanjutkan cerita. Pertama Iki punya argumen bahwa ia tidak pernah memiliki niat apalagi melakukan kecurangan. Bisa dibuktikan dari nilai-nilai Iki saat ujian selama ini. Iki bukan yang terbaik malah beberapa mata pelajaran kurang dari memenuhi batas kelulusan. Kalau benar ia berbuat curang seharusnya nilai ujian Iki tinggi atau melebihi standar kelulusan. Kedua alibi yang tidak terbantahkan. Pada operasi tangkap tangan Iki berbuat curang lalu dibawa ke ruang pengawas dengan segera saat itu juga. Siapa pun bisa memeriksa kertas ujian Iki yang masih tertinggal di atas meja seperti keadaan semula. Di meja iki pada lembar ujiannya, walau kertas itu sudah terisi beberapa jawaban tapi di bagian nama siswa bukan terisi nama Ikizhi melainkan tulisan ‘genius’. Secara tidak langsung lembar jawaban milik Iki bisa membuktikan bahwa ia tidak berniat curang. Karena bila kertas ujian itu dikumpulkan dan meski semua jawaban benar dengan sempurna, hal itu tetap akan sia-sia. Iki tetap tidak akan mendapat nilai tanpa keterangan namanya tercantum di sana. “Maksudmu Iki dengan sengaja tidak menuliskan namanya pada lembar jawaban ujian?” Mahdi tak percaya. “Iya, jika dia memang ingin mendapat nilai bagus dengan cara curang. Seharusnya Iki menuliskan namanya secara jelas baru bisa mendapat nilai, bukan begitu?” Wildan mengarahkan pendapat audien. “Jadi karena Iki tidak menuliskan namanya, maka bukan nilai bagus yang diinginkan? Dengan kata lain kau tidak berbuat kecurangan?” Riga sama tidak percayanya seperti Mahdi. Sibuk menatap Wildan laly beralik Iki bergantian. “Benar, bukti itu yang menjadi pertimbangan pihak sekolah.” Tutur Wildan lagi. “Kau rupanya memang sudah merencanakan semua dari awal Ki.” Wildan semakin yakin. “Tapi kenapa?” Mahdi masih tidak mengerti. “Kenapa kamu melakukan sampai sejauh itu?” Pertanyaan yang sama bersarang dipikiran Riga, pasti begitu juga dengan Wildan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN