16. Peran Sebagai Pembela

1195 Kata
Jika terjadi sesuatu pada Iki, Wildan adalah orang pertama yang selalu Mahdi hubungi secepat mungkin. Layaknya reporter lapangan yang menyampaikan liputan ekslusif dari garis terdepan. Lalu Wildan dengan secepat kilat mencari keberadaan Iki dan bergegas tiba di sana bertindak layaknya bagai regu penyelamat bencana. Elin tengah berada di ruang privasi, sebelumnya Iki sudah melakukan lebih dulu. Iki menunggu pengambilan keputusan guru dan pengawas yang hadir di sana menangani kasus ini. Setelah keterangan dari setiap siswa sudah diberikan dan dikumpulkan hingga duduk perkara jelas, maka guru akan berunding menentukan hukuman yang setimpal. Kehadiran Wildan di sana sudah seperti peran pengacara pribadi Iki yang khusus dipekerjakan dengan masa kontrak seumur hidup. “Bisa saya bicara dulu dengan Iki sebentar Pak?” Pinta Wildan. Pak Aryan selaku wali kelas Iki hanya memberi isyarat setuju dengan ekspresi wajah. Lalu mereka ditinggalkan berdua, Iki duduk di kursi kesakitan dan Wildan tetap berdiri karena ia perlu mengatasi serangan panik akibat kelakuan Iki. “Berhenti membuat kepalaku hampir pecah Ki! Kali ini apa?! Kau mencontek?” Emosi Wildan sudah berada di ujung ubun-ubun kepala. Sungguh, Wildan hampir gila saat mendengar perkara yang Iki buat kali ini. Harus sejauh apa Iki menguji kesabarannya, jatuh sampai serendah apa hingga Wildan harus mentoleransi pelanggaran Iki. “Kau percaya itu? Bahwa aku curang saat ujian? Kau sungguh percaya aku melakukannya?” Iki berbalik marah pada Wildan. Di mana seharusnya Wildan yang lebih marah sampai rasanya ingin memukul wajah Iki. Sayangnya Wildan tidak pernah lepas kendali bertingkah bar-bar seperti itu. “Aku―” Wildan geram, inginnya ia berteriak melampiaskan emosi. Pada posisinya yang tersudut sekarang, masih bisa-bisanya Iki mengajak Wildan untuk beradu argumen. “IKI!” Panggil Wildan putus asa. “Aku ini...” Wildan terbata, bagaimana ia bisa membuat agar Iki mengerti apa yang dirasakannya sekarang. Semua gejolak rasa yang membuatnya merasa putus asa. “Aku sahabatmu! Kau dengar itu.” Sulit berada di posisi Wildan. Satu sisi ia ingin percaya pada Iki, sudut hatinya masih memiliki kepercayaan pada sahabatnya itu. Tapi kenyataannya Iki berada di ruangan ini sekarang, apa yang bisa Wildan sangkal. “Katakan Wil! Apa kau percaya aku benar-benar melakukannya?” Tanya Iki lagi menatap Wildan lurus pada matanya. Berharap Iki bisa menemukan kebenaran di sana. “Kau... Iki yang kukenal tidak akan pernah melakukan hal seperti itu.” Suara Wildan terdengar lirih, bola matanya tidak menghindari tatapan Iki. “Tapi dari mana aku bisa yakin kau masih Iki yang aku kenal? Bagaimana aku bisa tahu kau belum berubah? Sementara dengan apa yang semua kau lakukan selama ini?!” Emosinya kembali menguasai. “Jawab aku, jangan hanya diam Iki!” “Aku punya alibi juga argumentasi kuat.” Sikap Iki cukup tenang. Hanya Wildan yang menggebu-gebu dengan emosi naik-turun saat bicara padanya. Wildan muak dengan permainan kata Iki. “Di saat seperti ini, kau masih saja―” “Wil, dengarkan aku dulu! Setidaknya kau harus mendengar cerita dari sisiku juga baru menilai.” Ya, empat sekawan selalu berpegang pada ungkapan ‘cover both side’. Dua sudut pandang yang berbeda atau berlawanan dalam pola pandang terhadap isu atau permasalahan. “Tidak, tidak... Yang harus kulakukan sekarang adalah menyelesaikan permasalahan ini secepatnya bagaimana pun caranya. Aku tidak punya waktu untuk mendengar karangan ceritamu.” Wildan mulai kehilangan sikap tenangnya juga, terlihat dari perilakunya yang bolak-balik di depan Iki. Wildan merasa diburu waktu. “Dengarkan aku jika kau masih menganggapku teman.” Iki sampai berkata seperti ini menunjukkan ia juga merasa putus asa meminta kepercayaan Wildan. “Hal yang sama sudah kukatakan juga pada mereka.” Yang Iki maksud guru dan pengawas. Wildan terdiam cukup panjang. Meski di luar Wildan terlihat tidak sedang berbuat apa-apa tapi bagian dalam otaknya bekerja sangat keras mengerahkan seluruh kemampuan dan kecerdasannya. Ingat, peran Wildan adalah kuasa hukum pribadi Iki. Wildan terdiam, menutup mata serayal menarik nafas panjang sebelum kembali menghadapi Iki lagi. “Baiklah... Katakan padaku?” *** ”Saya dengar hal yang sama juga sudah Iki sampaikan di dalam.” Ucap Wildan mewakili Iki. “Karena itu saya meminta dengan sangat guru dan pengawas mengambil keputusan bijak dalam permasalahan ini. Tolong dipertimbangkan dengan baik agar permasalahan ini bisa menjadi pembelajaran kami dan seluruh siswa di waktu ke depan.” Cara Wildan berdiplomasi untuk membantu posisi Iki agar mendapat keringanan hukuman. “Nak Wildan kami sangat mengerti maksud dan tujuanmu... Tapi pihak sekolah tidak ingin ada kejadian serupa terulang lagi di masa depan.” Pihak sekolah sudah siap menyampaikan putusan mereka. “Oleh karenanya kami memutuskan untuk memberi skors tiga hari pada Ikizhi.” Mendengar hukuman yang Iki dapat, Wildan bernapas lega Iki tidak menerima hasil terburuk. Pihak sekolah masih belum selesai menyampaikan putusan. “Skors satu minggu untuk Dean dan pembatalan semua lembar ujian yang telah diserahkannya. Juga sidang disipliner siswa bersama perwakilan guru dan kepala sekolah.” Ini yang Wildan maksudkan hukuman terburuk, sidang disipliner. “Dan Evelin kami mengizinkanmu mengikuti ujian ulang dengan jadwal baru yang diinformasikan nanti bersama Ikizhi. Kalian cukup mengikuti ujian ulang mata pelajaran yang tertinggal saja. Demikian keputusan yang kami buat berdasarkan musyawarah. Sekian, kalian boleh kembali...” Pesan guru dan pengawas meminta semua siswa yang hadir untuk pergi. “Ah Dean, tunggu. Kamu tetap di sini.” Terkecuali Dean. Elin lega saat mendengar putusan tentang dirinya, setidaknya ia masih tetap bisa menyelesaikan ujian. Tapi mengapa putusan untuk Iki jauh lebih ringan dari hasil putusan kepada Dean, mereka berdua sama-sama tertangkap tangan. Kenapa hanya Dean yang dijatuhi sidang disipliner dan diberi hukuman jauh lebih berat, sedangkan Iki hanya skor selama tiga hari lalu ia masih diizinkan untuk mengikuti ujian, pikir Elin tak habis mengerti. Iki, Wildan dan Elin meninggalkan ruang pengawas seperti yang diminta. “Hah!? Sulit kupercaya!” Maki Elin setelah keluar ruang pengawas. “Dengan cara apa kau berhasil lolos?” Geram Elin pada Iki. “Sihir mungkin...” Jawab Iki dengan nada ejekan. “Ah! Biar kuperkenalkan padamu, dia ini adalah ibu periku.” Iki terbahak melihat ekspresi jengkel Wildan diperkenalkan sebagai peri. “Apa ini saat yang tepat untukmu membuat lelucon?” Gertak Wildan. “Ikut denganku sekarang. Jangan berpikir untuk lari karena urusan kita belum selesai!” Wildan melangkah pergi, diikuti Iki yang tiba-tiba berubah menjadi penurut. Apa yang terjadi pada nasibnya setelah ini sudah terbayang dibenak Iki. “Hei kau!” Teriak Elin pada Iki sebelum pergi semakin jauh. Bukan hanya Wildan yang merasa amarahnya belum selesai tersalurkan, Elin merasakan hal yang sama sampai rasanya ingin menghajar Iki tepat di wajah angkuhnya itu. “Jika pihak sekolah tidak bisa menangkapmu, aku sendiri yang akan menangkapmu! Ingat kata-kataku!!” Jelas Iki sedang ditantang secara terbuka oleh Elin yang menyatakan perang dan tidak mungkin ia hanya diam. “Dasar kau―” “Iki!” Cegah Wildan. Kalau bukan karena Iki sudah merasa cukup bersalah menyusahkan dan mempersulit posisi Wildan di sekolah. Iki tidak akan menahan hasratnya untuk ribut dengan Elin sekarang juga. Cewek yang satu itu pasti tidak akan selamat seperti terakhir kali saat di kantin sekolah. “Ya, kau beruntung saat itu ada Riga dan kali ini Wildan.” Kata hati Iki bicara tentang Elin. “Aku pasti akan berurusan denganmu nanti...” Ancaman Iki pada Elin seolah berjanji, sebelum sepenuhnya pergi berlalu bersama Wildan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN