14. Seseorang yang Dirindukan

1172 Kata
Suatu tempat di penjuru sekolah. Seusai pelajaran Iki menyendiri di tempat favoritnya, bukit lapang yang berada tak jauh dari gedung sekolah. Area sekolah tampak sepi hanya ada beberapa siswa di sana. Tidak ada sesuatu yang spesial Iki lakukan, hanya menghabiskan waktu dalam kesendirian yang panjang. Bila sudah bersantai di sana Iki jadi lupa waktu. Salah satu penyebabnya karena area itu hening dan persediaan udara yang sejuk dari pepohonan rindang di sekitar. Seseorang tampak hadir bergabung dengan Iki. Tanpa memperdulikan yang lain, langkahnya mantap berjalan lurus ke arah Iki yang sedang berbaring malas-malasan berteduh di bawah bayang pohon rindang. Sang pemuda yang baru bergabung itu dengan sengaja mengusili Iki, membuat waktu tidur siangnya terusik. “Siapa yang―” Hampir Iki murka siap mendamprat pelaku yang telah berani mengganggu tidur siangnya. Namun si pelaku malah memamerkan jajaran gigi rapinya dengan senyum kuda. Lenyap seketika amarah murka Iki saat melihat wajah familiar dan malas meladeni orang satu ini. Tak mendapat tanggapan seperti yang ia harapkan, sang pemuda pasrah berhenti menggoda Iki. “Pantas aku selalu tidak bisa menemukanmu sebanyak apa pun mencari, di sini rupanya kau sembunyi!” Apa pun yang Riga ucapkan Iki tetap diam seribu bahasa. Tidak mendapat respon dari sahabatnya, tatapan mata Riga berubah menjadi serius menatap Iki dalam. “Ki, sampai kapan kau mau seperti ini?” Tanya Riga, tetap tidak mendapat tanggapan. “Dewasalah! Kita bukan anak kecil lagi.” “Kalau kau datang hanya untuk mengoceh, lupakan saja dan pergi.” Kata Iki masih tetap menolak untuk melihat Riga. “Aku mencabut permintaanmu untuk membubarkan club.” Kata Riga terus-terang. “Rupanya kali ini kau gunakan juga wewenangmu itu!” Kritik Iki pada tindakan Riga. “Apa pun anggapanmu, aku tidak akan menyangkalnya.” Mengingat masa-masa ketika membentuk club saat bercerita untuk Elin, Riga menjadi lebih emosional karena kenangan masa lalu yang mulai terurai satu demi satu. Dahulu semua terasa sempurna dan bahagia. “Apa semua ini karena dia? Alasan kau berubah seperti ini?” ‘Dia’ yang namanya Wildan minta untuk tidak diucapkan. Lagi Riga tidak mendapat tanggapan, Iki memilih bungkam. Sang pemuda menghela panjang. Ia jatuhkan tubuhnya di atas rumput juga, bersanding di sebelah Iki. Waktu seakan terhenti, mereka sibuk terhanyut dalam pemikiran masing-masing. Angin bertiup membawa kenangan yang dirindukan hati terdalam, bagi Iki bukan kenangan. Ia tidak ingin menjadikan hanya sebatas kenangan. Ia telah bersumpah! Ada kepedihan teramat dalam, ada kerinduan, ada amarah tersimpan, ada rasa yang tak sempat tersampaikan, semua itu ada bersemayam di hati Iki. *** Di saat jam pelajaran komputer berlangsung. Biasanya guru memberikan tugas dan jika sudah selesai tugas dikumpulkan untuk diambil nilai. Sisanya adalah waktu bebas bagi siswa sampai bel pergantian kelas selanjutnya berbunyi. Dengan waktu yang tersisa Elin tidak berminat melakukan apa pun. Dilihatnya Resca tampak serius dengan komputer yang tetap menyala. “Sedang melakukan apa Res?” Elin senggang mencari kesibukan. “Ah, bukan apa-apa. Aku sedang membuka Fans page Carol untuk bahan surat kabar.” Resca tidak mengalihkan pandangannya dari layar komputer. “Club surat kabar akan mengulas tentang Carol?! Kapan?” Elin terlihat sangat tertarik. Ah, dan permintaan interview Resca saat terakhir kali sudah Elin tolak sepenuhnya. “Umm, bukan begitu. Kalau tentang Carol sudah pernah diterbitkan edisi khusus dulu. Nanti aku bawakan edisi khusus itu untukmu.” Janji Resca meski Elin tidak memintanya. “Lalu yang ini?” Tanya Elin tetap penasaran. “Oh tidak bisa, ini masih rahasia.” Resca tersenyum misterius. Mungkin itu adalah bagian dari naluri alamiahnya sebagai reporter eksklusif yang timbul tanpa disadari. Kini sedikitnya Elin mulai bisa memahami Resca lebih dari teman sekelas yang lain. “Ya ampun kalau sudah menyangkut masalah karir sifat Resca sulit dimengerti.” Umpat Elin dalam hati. “Tapi di mana Carol? Apa hari ini ia tidak masuk sekolah?” Tanya Elin karena saat dicari sosok yang sedang menjadi pembicaraan tidak terlihat di mana pun penjuru lab. “Dia datang kok, tidak pernah absen sekolah.” Jawab Resca datar. “Loh tapi aku tidak melihatnya di kelas?” Elin bingung. Jika diperhatikan belakangan ini Carol cukup sering menghilang dari tempat duduknya saat jam pelajaran berlangsung. “Iya makanya aku bilang dia tidak absen sekolah, bukan berarti dia tidak bolos pelajaran.” Kata Resca memperjelas pernyataannya. “Jadi dia bolos pelajaran?! Sepanjang waktu?” Elin tidak pernah menyangka. Memang Carol cukup sering menghilang saat kelas masih berlangsung. Meski bel pergantian mata pelajaran sudah berbunyi menandakan sesi pelajaran selanjutnya dimulai, Carol tak kunjung kembali ke dalam kelas dan kursinya tetap kosong. Selama ini Elin berpikir karena alasan kesehatan fisik Carol yang lemah. “Begitulah...” Tidak ada yang bisa Resca katakan lebih jauh. “Ya ampun!” Elin pikir hanya Iki yang demikian tapi ternyata Carol juga serupa dengannya. “Lalu apa yang diperbuat pihak sekolah? Masa membiarkan begitu saja?!” Elin tak habis pikir. “Tidak ada yang bisa memprotes, alasannya banyak. Terlebih lagi kalau nilai-nilainya itu tetap tertinggi meski tidak ikut pelajaran sekali pun.” Resca membeberkan fakta. “Aah masuk akal.” Mendengar perkataan Resca, Elin langsung mengerti dengan sangat jelas. “Tapi dia sungguh baik-baik saja ‘kan?” Tanya Elin cemas sungguhan, tidak ada salahnya ia memastikan teori pembenaran dirinya tentang Carol berfisik lemah dan mudah sakit itu memang salah. Resca terbahak mendengar pertanyaan Elin. “Apa maksudmu? Kamu pikir dia itu nona muda dari keluarga konglomerat yang lemah dan sakit-sakitan begitu?” Memang benar seperti itu bayangan Elin sebelumnya. “Kalau memang datang ke sekolah, lalu di mana dia menghabiskan waktu sepanjang hari?” “Entah, yang pasti di suatu tempat di penjuru SOPA.” Tandas Resca. Sementara itu, pada sisi lain di mana saat ini Carol berada. Masih pada di jam pelajaran komputer berlangsung. Begitu Mahdi selesai dengan tugas komputernya, ia langsung meninggalkan lab komputer. Berjalan menuju tempat yang lebih tinggi, atap sekolah. Angin bertiup cukup kencang. Atap sekolah yang luas, tidak ada orang lain di sana kecuali Mahdi dan seorang lagi, Carol. Gadis itu tanpa rasa takut berdiri di ujung bangunan. Bersandar pada pagar pengaman. Mahdi mengumpulkan segenap keberanian berjalan menghampiri gadis di hadapannya perlahan. Tidak ada perubahan, Carol tidak bereaksi sama sekali dengan kedatangan Mahdi yang berjajar di sampingnya kini. Matanya tetap memandang ke pepohonan di taman belakang sekolah. Entah apa yang di lihat atau coba ia temukan di sana. “Apa belum juga ada kabar?” Mahdi bertanya. Diliriknya Carol untuk menemukan jawaban. Tidak ada reaksi, yang itu berarti jawabannya adalah nihil. Hening kembali, terdengar suara angin yang menggoyang daun-daun pepohonan. “Anginnya kencang, pakailah ini.” Mahdi pakaikan jas sekolah miliknya di bahu Carol. “Aku kembali ke kelas. Sebaiknya kamu tidak melewatkan jam pelajaran ketiga nanti karena ada tes penting.” Selesai berpesan Mahdi berlalu. Kembali Carol seorang diri dalam kesunyian. Kembali tenggelam dalam kenangan yang merasuki pikiran, rasa serta jiwanya. Hati yang pilu mampu merefleksikan ekspresi Carol menjadi begitu menderita. Wajah Carol tertunduk jatuh di kedua tangannya yang bersandar mencengram kuat pagar pengaman setinggi d**a. Sekali lagi angin kencang bertiup membawa daun yang gugur terbang melambung tinggi kemudian berputar perlahan sebelum jatuh menyentuh tanah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN