13. Kehadiran Sang Genius

1197 Kata
Sesuai perkataan Riga, empat sekawan memulai project pembentukan club. Proposal disusun dengan sangat hati-hati dan matang, mulai dari nama club hingga tujuan yang dapat meyakinkan pihak sekolah. Tugas membuat proposal adalah tanggung jawab Carol, walau kawan yang lain turut menyumbangkan beberapa gagasan. Atau mereka tetap bertukar pikiran karena bagaimana pun semua ingin proposal mereka disetujui. Tapi pada percobaan pertama, mereka menerima kabar penolakan dari pihak sekolah. Empat sekawan dalam kondisi terpuruk. “Iki, kita tidak bisa membuang waktu lebih banyak lagi. Jika terus menunda, rencana kita tidak akan terealisasi.” Ucap Riga. “Biarkan aku menggunakan caraku, dengan begitu akan lebih cepat selesai―” “Tidak Riga!” Tolak Iki tegas. “Bagaimana pun aku ingin kita mencapai tujuan kita murni dengan kemampuan sendiri. Jangan pernah lakukan itu, aku tidak setuju.” Iki ingin ini menjadi pencapaian pertama mereka di SMP, tanpa jalan belakang dan murni hasil usaha mereka bersama. “Iki benar Ga, aku akan coba menyusunnya sekali lagi. Kali ini akan kubuat lebih baik dari sebelumnya.” Tekad Carol. “Kalian,” Panggil Wildan pada teman-temannya. “Apa sudah lupa pada anak ajaib, anggota baru di keluarga besar sekolah kita ini?” “Kenapa tiba-tiba kau membicarakannya Wil?” Kata Iki jengkel karena sejak kedatangan siswa pindahan itu Iki mendapat banyak masalah. Peringkat nilainya yang diserobot membuatnya turun menjadi si nomor dua di sekolah. “Dengan bantuan sang genius mungkin hasil proposal kita bisa lebih sempurna.” Ide Wildan. Pertama kali masuk sekolah siswa baru itu langsung merebut posisi pertama di ujian sekolah. Dari sana julukan genius itu lahir, seolah perkara mudah baginya melejat naik ke posisi teratas dari seluruh siswa SOPA. Padahal selama ini empat sekawan selalu berebut posisi saling sikut nilai menjadi yang terunggul. “Maksudmu aku harus meminta bantuan si Alpha itu?” Gengsi dan harga diri Iki yang tinggi pasti tidak akan pernah membiarkannya merendah meminta bantuan pada rival. “Ya itu semua kembali pada keputusanmu Iki...” Wildan menyerahkan dan percaya sepenuhnya pada si pencetus ide membuat club. Begitu juga dari tatapan binar mata yang Carol dan Riga tujukan pada Iki. “Argh, sial!” Geram Iki frustasi memilih antara ego atau tujuannya. *** Meksi Iki memutuskan meminta bantuan sekali pun, permasalahannya adalah belum tentu orang yang bersangkutan bersedia untuk membantu. Saat Iki datang pada Alpha, ia menerima penolakan telak. “Aku menolak.” Kata Alpha dingin. Iki pantang menyerah. “Hei! Dengarkan dulu sampai selesai penjelasanku―” “Tidak tertarik, tidak punya waktu.” Tolak Alpha lagi lebih kejam. “Sial!” Maki Iki dalam hati. Sudah menurunkan ego dan mengesampingkan harga diri pada akhirnya ditolak juga. “Bisakah kau lihat dulu rancangan proposal kami? Setidaknya kamu bisa memberi masukan atau saran pada kekurangan kami. Karena terakhir kali proposal ini ditolak pihak sekolah.” Dengan harga diri terakhir yang tersisa Iki meminta tolong sangat tulus dan terdengar putus asa. Alpha melihat wajah Iki yang amat serius, membuat hatinya luluh juga. “Baiklah...” Alpha mengambil proposal empat sekawan. “Benarkah?! Aku akan membalas bantuanmu!” Teriak Iki girang. “Masih belum, lakukan itu saat proposalmu disetujui.” Kata Alpha, tidak ingin Iki merasa senang apalagi menang terlalu dini. Semakin dipelajari, Alpha semakin tertarik dengan ide membuat club yang Iki cetus. Hari-hari berlalu, Iki dan Alpha semakin intens berdiskusi merampungkan rancangan proposal. Hingga tanpa disadari Alpha jadi lebih sering duduk bersama empat sekawan membahas dan mengembangkan ide club yang ingin empat sekawan bentuk. “Aku pikir, sebaiknya kalian mengajukan untuk membentuk club perkumpulan saja bukan club inti seperti yang sudah ada.” Ujar Alpha mengemukakan pendapatnya. “Apa maksudmu?” Wildan mencoba memahami. “Jika tujuan kalian itu membentuk club seperti yang biasa ada di sekolah, maka akan sangat sulit untuk disetujui karena target kalian terlalu besar.” Semua yang hadir memusatkan seluruh perhatian pada Alpha. “Apa tujuan kalian membentuk club untuk mengikuti lomba?” Alpha mendapat gelengan kepala dari audien. “Untuk mengejar prestasi yang bisa mengharumkan dan memberi kehormatan pada nama sekolah?” Sekali lagi Alpha mendapat gelengan kelapa. “Karena itulah aku menyarankan kalian untuk membentuk club perkumpulan.” Alpha mengakhiri sesi penjelasannya. “Jadi maksudmu selama ini target dan tujuan kita salah?” Tanya Iki. “Club perkumpulan, mungkin itu memang lebih masuk akal untuk kita.” Wildan setuju dengan masukan dari Alpha. “Lalu ada satu hal lagi.” Alpha memulai sesi penjelasan lainnya. Selama ia menjelaskan yang lain dengan tertib tidak ada yang menyela. “Bagian yang terpenting adalah nama dan tujuan club benar?” Tanya Alpha yang mendapat anggukan kompak dari pendengar setianya. “Nama itu... Club Penelitian Sekolah. Untuk menarik hati pihak sekolah nama itu aku rasa memberi kesan bahwa, setiap anggota club dipenuhi ketertarikan luar biasa dan perhatian amat dalam pada SOPA. Kecintaan besar pada sekolah itu membuat anggota ingin mengetahui segala aspek hingga seluk-beluk sekolah. Lalu dari sana lahir keinginan membentuk club penelitian sekolah. Bagaimana menurut kalian?” Alpha secara khusus penasaran dengan reaksi yang lain dengan hasil pemikiran panjangnya ini. “Hah! Bagaimana? Bisa kau ulangi, apa maksudmu tadi?” Kata Iki gagal menangkap maksud perkataan Alpha yang terdengar sangat rumit di telinganya. “Singkatnya, atau dengan kata lain yang ingin Alpha sampaikan adalah agar kita menunjukkan kecintaan besar terhadap sekolah lewat tujuan pembentukan club. Juga dengan pemberian nama club yang mencerminkan hal itu agar dapat mengambil hati pihak sekolah.” Wildan coba menjelaskan kata-kata Alpha dengan lebih sederhana. Tapi teman-temannya tetap menunjukkan reaksi yang sama seperti saat mendengar Alpha. “Tunggu, apa kata-kataku juga sama sulitnya untuk dipahami?” “Apa memang iya itu tujuan kita membuat club? Karena terlalu cinta dengan sekolah?” Carol merasa telah kehilangan jati diri. Apa ini pengaruh dari Alpha yang berusaha mencuci pikirannya. Juga Wildan yang semakin memperkeruh isi otak mereka. “Hanya untuk memberi kesan Carol, agar proposal kita disetujui...” Dengan sabar Wildan menghadapi teman-temannya. “Haha... Bisa kamu ulangi sekali lagi dengan perlahan-lahan?” Pinta Riga pada Alpha, tidak perduli lagi dengan rasa malu. Alpha bisa memahami alasan awal Iki ingin membuat club yang khusus untuk mereka bisa tetap berkumpul. Karena meski hanya beberapa hari Alpha bersama mereka, ia bisa merasakan kenyamanan suasana juga ikatan persahabatan empat sekawan yang sudah lama terjalin sejak mereka masih sangat kecil. Di sisi lain, Alpha merasa begitu iri karena empat sekawan saling memiliki dan mengisi keberadaan satu sama lain. Lalu pada akhirnya tanpa planning cadangan milik Riga, club penelitian resmi dibentuk. Alpha yang memberi kontribusi besar bergabung menjadi anggota kelima dan dinobatkan menjadi ketua club. Bentuk balas jasa Iki pada bantuan Alpha, ia merelakan posisi ketua meski ide membentuk club adalah miliknya. Dari sana pertama kali sistem club perkumpulan diperkenalkan, menjadi rujukan club-club perkumpulan lain yang lahir setelahnya. “Begitulah... Kami, empat sekawan yang mendirikan club ini.” Riga mengakhiri cerita panjangnya. Elin seperti mendengar kisah hebat inspiratif tentang sejarah club yang awalnya hanya secara asal dia pilih itu. Siapa yang mengira tujuan awal dan perjuangan dalam membentuk club akan sangat menyentuh dirinya. Jika Elin menjadi Riga, ia juga akan sangat marah dan kecewa bila club dibubarkan. Kenapa orang-orang yang dikenal sebagai pendiri club dan telah berjuang bersama itu saat ini jadi terpencar-pencar. Bagi Elin itulah yang menjadi misteri terbesar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN