Dadanya bergemuruh kuat meski kini ia telah berpakaian lengkap. Lavi disergap malu luar biasa saat seseorang menemukannya dalam keadaan terikat juga telanjang. Entah apa yang ada di pikiran sosok perempuan yang tampaknya beberapa tahun lebih tua dibanding Lavi ini.
Ia merasa sungguh tak nyaman.
“Terima kasih,” ucap Lavi setelah berhasil mengendalikan dirinya. Matanya terus tertunduk juga sedikit melamun, kalau saja tak ada kabar yang cukup membuatnya terkejut, mungkin malam ini adalah malam yang akan ia lewati dengan rasa trauma yang sangat dalam.
Terutama kebenciannya terhadap Pras yang semakin menjadi.
“Enggak apa,” kata sosok tadi dengan lembutnya. Juga satu usapan ia beri sebagai penguat pada bahu Lavi.
Hal itu membuat Lavi mendongak dan mata mereka bertemu di udara. Senyum tipis dari sosok perempuan itu terlihat tulus sekali. Yang mana akhirnya menulari Lavi; ikut tersenyum meski sekilas.
“Oiya, kita belum kenalan.” Perempuan itu menjulurkan tangannya. “Aku Anne.”
“Lavi,” sahut Lavi dengan singkat diiringi dengan tangan yang berjabat.
“Nama kamu bagus,” puji Anne.
“Apanya yang bagus? Nasibku jelek banget sampai harus berakhir di sini,” dumel Lavi tanpa sadar.
“Hal apa yang membuat kamu ada di sini?” tanya Anne dengan raut cukup penasaran. “Akankah lebih menyedihkan ketimbang aku?”
Ucapan itu membuat kening Lavi mengernyit dalam. “Maksudnya?”
“Coba kamu ceritakan kenapa bisa ada di sini?”
Lavi tadinya mau bicara tapi kemudian bibirnya kembali mengatup.
“Ah, rasanya aku enggak sopan, ya, tanya hal ini ke kamu.” Anne terkikik pelan. Disibaknya rambut hitam pendek yang indah tergerai itu. “Anggap aku enggak pernah bertanya.” Ia pun berdiri dari duduknya. “Aku ambilkan makan dulu, ya.”
“Apa aku enggak bisa keluar dari sini?”
Anne menoleh sembari menggeleng. “Kalau Pras sudah berkata, berarti semua orang yang ada di sini harus menurutinya.”
“Memangnya dia raja?” Lavi mendengkus tak suka. “Seenaknya bikin aturan. Kalah presiden.”
Anne masih terkekeh dibuat Lavi. “Pras memang raja, Lavi. Raja bagian Selatan.”
“Aku enggak mengerti maksud kamu. Yang aku tahu, Pras itu preman enggak tahu diri. Bisanya cari kesempatan dan keuntungan pribadi. Juga m***m dan isi kepalanya kotor macam sampah!”
Gadis yang sejak tadi menatap Lavi, perlahan menghilangkan senyumnya. Ia pun mengangguk pelan seolah menyetujui ucapan Lavi barusan. Namun, sejurus kemudian ia berkata, “Semoga apa yang kamu pikirkan mengenai Bos Pras bisa berubah.”
Lavi memutar bola matanya muak. Di kepalanya sudah tertancap hal mengenai Pras dalam skala yang sangat buruk. Mana ada preman yang baik hatinya? Santun? Yang benar saja!
“Nanti Mbak Uti antar makanan untuk kamu. Aku ada pekerjaan lain. Kalau butuh apa-apa, nanti panggil aku saja.”
“Pakai pengeras suara?”
Anne tertawa. “Kamu lucu juga, Lavi.”
“Sayangnya aku bukan badut.”
“Kamu bisa meminta penjaga di depan pintumu untuk memanggilku.”
“Aku dikurung di sini?” Lavi ikut berdiri jadinya.
“Seperti yang Pras perintahkan.”
“Astaga!” Lavi meraup wajahnya dengan kasar. “Gila, ya, dia?”
“Atau kamu mau di luar dan meneruskan gelut bersama Tari lagi?”
Lavi melongo. “Kamu tahu?”
Bukannya jawaban yang Anne beri, melainkan kerlingan usil. “Nanti kita bicara lagi. Aku selesaikan pekerjaanku dulu.”
“Apa pekerjaanmu?” Lavi jadi bertanya-tanya. Apa memang di sini semua orang bekerja? Apa pekerjaan mereka? Apa penting? Termasuk sosok Tari? Ataukah seperti yang Lavi pikirkan?
Bukan tak mungkin, kan, hal itu terjadi? Lagi-lagi bukan jawaban yang Lavi dapatkan, melainkan seulas senyum tipis, dan sosok itu pun bergerak menjauh. Sampai punggung Anne menghilang di balik pintu, Lavi masih memperhatikannya. Menyisakan tanya yang cukup besar juga cemberut di wajah Lavi.
Kendati demikian, saat Lavi menatap ranjang tempat di mana tadi ia hampir saja mengalami peristiwa buruk, tak henti-hentinya ia mengucap syukur. Mendesah lega karena bisa terlewati meski ia tak menjamin apakah Tuhan kembali berbaik hati lagi padanya atau tidak.
***[]***
Di tempat lain.
Pras langsung turun dari mobilnya. Sejak ia duduk di kursi penumpang—mobil yang dikemudikan Arron, Pras tak bicara sepatah kata pun. Arron pun sama. Saat mereka tiba, sudah ada beberapa anak buah Pras, berjaga di sekitar tubuh yang sudah terbujur kaku.
Tak bernyawa.
“Berengsek!” maki Pras begitu mendapati sosok yang bersimbah darah merupakan sosok yang ia kenali dengan baik.
Tony.
Ia bertemu sosok pemuda yang kini mungkin usianya jelang dua puluh lima tahun. Masih muda, bersemangat, energik, dan cukup dikenal sebagai pemuda periang di antara yang lainnya. Temannya juga banyak, gampang bergaul dan satu hal yang sangat Pras ingat. Tony termasuk bawahan paling setia.
Tapi sekarang?
Menemukannya dalam keadaan seperti ini membuat Pras kesal dan dibakar amarah. Terakhir kali ia bertemu sekitar dua hari lalu di Diskotek Flown. Tertawa bersama kawannya setelah menjalankan apa yang Pras perintah. Mengantarkan beberapa paket berisi minuman beralkohol yang jarang beredar di pasaran Bagian Selatan. Eksklusif hanya untuk kalangan tertentu dan Pras tahu, kalau paket itu sudah berhasil diantar dengan baik.
Tak ada kendala.
Si pemesan juga Pras kenal baik. Tak akan berani menyentuh bawahannya. Kalau sampai itu terjadi, Pras tak akan tinggal diam.
“Bos,” panggil Rudi, salah satu kawan Tony. “Gue temukan ini di ujung sana.”
Proyektil.
Pras segera mengambil apa yang Rudi sodorkan. Diamati dengan tatapan sedetail mungkin bagian yang tersisa itu. Jenis senjata yang beredar di Bagian Selatan sangat ia kenali. Semuanya ada di bawah pengawasannya bahkan untuk pasar gelap sekali pun, Pras ikut andil dalam penyebarannya. Namun sisa proyektil ini tak ia ketahui.
“Lo tahu?” tanya Pras pada Arron yang sejak tadi ada di sisinya. Arron menerima benda yang sejak tadi diamati bosnya itu lantas mendesah pelan.
“Ini kaliber 9x18 mm. Buatan Rusia. Peredam suaranya canggih, Bos. Dari luka yang gue amati, Tony ditembak dari jarak yang cukup jauh. Gue rasa ….” Arron mengedarkan pandangannya pada sekitar area yang gelap di seberang sana.
Hutan dengan pepohonan pinus yang cukup tinggi memang ada di sana. Sebagai perbatasan antara Bagian Selatan dengan Utara. “Di sana,” tunjuk Arron pada salah satu sudut yang menurut perhitungannya bisa mengenai sasaran dengan tepat seperti ini.
Pras terdiam. “Kita enggak mengedarkan senjata dari Rusia. Cari tahu informasi senjata apa yang digunakan.”
“Siap, Bos,” sahut Arron dengan cepatnya.
“Gue enggak memaafkan siapa pun berani menyentuh orang-orang kepercayaan gue, Arron. Lo tahu itu, kan?”
Arron memilih diam.
Suara Pras terdengar jauh lebih mengerikan ketimbang ia memaki orang-orang di sekitarnya. Tapi Arron tak bisa mencegah kemarahan yang timbul di hati Pras. Arron sendiri tak terima ada temannya yang diperlakukan seperti ini. Dugaannya mengarah pada satu-satunya musuh yang Pras miliki, tapi keterbatasan bukti tak cukup untuknya menyuarakan dugaan tersebut.
Semua yang ada di bawah kendali Pras, mengetahui sejarah kelam di antara kedua kubu. Selatan dan Utara diam-diam saling mengamati dan mengawasi pergerakan masing-masing kelompok. Secara sembunyi-sembunyi melakukan perlawanan dan persaingan dengan cara paling kotor.
Akan tetapi, tak ada satu pun dari mereka yang ingin membuat permulaan huru-hara besar. Ada satu pakta perjanjian yang mengikat mereka. Bagian Utara dipimpin seseorang yang jauh lebih keji dan kejam dibanding Pras.
Gerald Hasolomone dikenal sebagai pemimpin Bagian Utara dan juga pemimpi tertinggi dari klan Sayap Elang. Sama seperti Pras yang menguasai peredaran dunia gelap nan kelam, tapi Gerald jauh lebih berlumuran lumpur ketimbang Pras.
Ia melakukan apa pun untuk mencapai keinginannya. Bahkan pemerintahan setempat termasuk kejaksaan tinggi Bagian Utara tunduk pada Gerald. Ditambah klan Sayap Elang disokong oleh salah satu konglomerat terkaya di kedua wilayah; keluarga Quassano.
Sementara Pras tak mau mendukung pemerintah Bagian Selatan. Sekali ia mencampuri urusan bisnis gelap dengan campur tangan para pejabat, maka Pras harus bersiap untuk tunduk dan patuh pada mereka. Juga satu hal yang Pras garis bawahi; mereka pasti menunggangi klan Naga Kembar untuk kepentingan pribadinya termasuk sebagai anjing penjaga.
Benjamin Noah Prasetyo bukan orang yang senang diperintah orang lain. Tak sudi baginya kalau ia disetir keinginan orang lain.
Permasalahannya, sejak puluhan tahun lalu, jauh sebelum Pras dan Gerald menduduki puncak tertinggi klan, kedua kubu itu sudah mengalami perseteruan.
Pernah terjadi perang antar-klan yang hampir membuat kekacauan parah di antara Bagian Selatan dan Utara. Ekonomi lumpuh hampir setengah tahun lamanya. Banyak korban jiwa yang berjatuhan karena perseteruan mereka terutama dari warga sipil. Sampai akhirnya, mereka dibuat untuk menyepakati beberapa ketentuan.
Termasuk jangan pernah mengusik kegiatan yang masing-masing klan.
“Siapkan pemakaman Tony dengan baik. Dia bocah yang baik selama hidupnya. Kita harus hormati dia,” kata Pras dengan nada final.
Semua orang yang ada di sana kompak berkata, “Baik, Bos,” juga mengangguk dengan pandangan sedikit tertunduk.
Jubah hitam yang Pras kenakan sedikit berkibaran tertiup angin. Rembulan yang bertengger di kelamnya malam membentuk lengkungan indah. Cahayanya juga terlihat bersinar terang namun, tidak dengan suasana hati Pras yang mendadak kacau.
“Siapin motor gue, Rudi.”
Sosok yang dipanggil langsung mengangguk patuh. Melesat dengan cepat menaiki motor yang ada di dekat mobil Pras. Bersama dua orang lainnya yang menyusul Rudi sementara para bawahan lainnya mengurus Tony dengan hati-hati.
“Keluarga Tony sudah lo hubungi?” tanya Pras pada Arron yang sibuk mengutak atik ponselnya.
“Sudah. Tony hanya memiliki satu adik perempuan. Jerou yang mengabarkan barusan dan, yah … lo tahu, lah. Histeris tahu abangnya meninggal.”
“Lo bilang ditembak?” Pras mendelik tak suka pada Arron yang malah terkekeh jenaka.
“Gue belum segila itu bikin anak gadis orang pingsan.”
Pras mencibir. “Jangan main-main, Arron.”
“Gue main games doang, Bos. Santailah,” kata Arron masih dengan kekehannya.
“Lo pastikan adiknya Toni dapat bantuan dari kita. Dia sekolah atau bagaimana?”
“Kuliah.”
Pras mengangguk.
“Lo tahu yang menarik di sini, Bos?”
Pras menoleh pada Arron yang masih juga memainkan ponselnya. Langsung saja Pras rebut ponsel itu yang mana membuat Arron memekik kaget.
“Anjir, lah! Gue kalah itu nanti, Bos! Taruhan gue Diamond empat juta!”
“Gue lagi serius, b*****t!”
Arron tergelak tapi begitu melihat Pras akan membuang ponselnya, ia pun menahan dan berusaha merebut kembali benda pipih yang selalu menemaninya itu. “Lo lihat dulu apa yang menarik di sana, Bos!”
“Games lo?!”
Arron berdecak. “Lo lihat dulu makanya.”
Pras mau tak mau menuruti dan cukup heran dengan layar yang ada di ponselnya. Kampus Guna Bakti. “Lo mau kuliah?”
“Hera dan Lavi satu kampus,” Arron berdecak dan langsung merebut ponselnya. “Mereka juga bersahabat.”
Pras terdiam.
“Sudah gue bilang, kan, kalau gadis yang lo incar ini baha—”
Belum sempat Arron menyelesaikan kalimatnya, ia sudah melotot tak percaya saat tangan Pras mencengkeram wajah Arron dengan cukup kuat. Sorot mata Pras berubah dingin dan bengis. Rahangnya sampai mengetat saking menahan amarah di sana.
“Sekali lagi gue peringati sama lo, Arron, gue sudah selidiki siapa Lavina Diandra. Dia cuma perempuan biasa. Anak dari Warto yang hobi main judi dan mabuk-mabukan. Lo hilangkan prasangka buruk itu dari otak lo yang sempit.” Pras memperketat cengkeramannya. “Paham?”
“I-iya, Bos.”
“Sekali lagi gue dengar lo meragukan penyelidikan gue, lidah lo bayarannya.”