Para Pekerja di Rumah Pras

1766 Kata
Lavi tak serta merta langsung terpejam meski malam sudah turun. Dari balik balkon kamar yang kini ia tinggali, bisa ia lihat semburat jingga mulai menghilang ditelan kegelapan. Meski indah, Lavi tak betah berlama-lama di sini. “Aku harus keluar dari sini,” katanya penuh tekad. Beberapa kali menghitung kemungkinan kalau-kalau ia terjun dari balkon dan mendarat di bagian rumah Pras. Andaipun bisa, tanpa luka misalnya, Lavi juga harus tahu arah yang akan diambil untuk melarikan diri. Jangan sampai dirinya justru menyerahkan diri pada penjaga yang tak pernah berkurang pengawasannya. “Sial!” Lavi berdecak jadinya. “Aku ngapain di sini? Tasku enggak ada. Ponselku juga enggak tahu di mana. Aku benar-benar diculik namanya!” Lavi menjambak pelan rambutnya. Entah sudah berapa kali kakinya diajak mondar-mandir seputar kamar yang luas ini. Meski terlihat nyaman dan indah, Lavi tak tertarik menghabiskan waktunya di sini. Ia ingin bebas. Suara ketukan pintu segera saja membuatnya waspada. “Siapa?” tanya Lavi dengan suara lantang. Meski sebenarnya ia takut setengah mati. Ini bukan kamarnya. Lavi juga belum tuli mendengar kata-kata yang meluncur dari Pras; ini kamarnya. Bukan tak mungkin sang pemilik kembali dengan cepat, kan? Lalu …. Tuhan! Singkirkan ingatan Lavi mengenai kejadian yang baru saja dialami! Ia tak ingin mengingat itu semua. “Saya, Non.” Suara perempuan yang tak terlalu Lavi kenali. Sebelum mengizinkan sosok itu masuk, pintu yang sejak tadi tertutup rapat, kini terbuka lebar. Bukan Anne, melainkan sosok wanita yang terlihat lebih tua dari Lavi dengan senyuman yang cukup membuatnya tenang. Setidaknya yang masuk kali ini bukan Pras. Lavi mengamati penuh lekat sosok wanita yang menyiapkannya makan malam. Terlihat menggugah seleranya juga. “Ibu yang kemarin siapin aku makan malam?” “Makan siang juga, Non,” katanya masih dengan senyum tipis. Sajian yang ia bawa sudah siap terhidang. “Dimakan dulu, Non, mumpung masih hangat.” “Masakan Ibu enak,” puji Lavi dengan tulus. “Saya suka.” “Syukurlah kalau Non suka.” Lavi segera bergerak mendekat pada sang wanita. Ia juga merasa lapar jadinya. Padahal ia berniat untuk menyusun rencana siapa tahu penjagaan di malam hari tak seketat siang hari. Kemarin ia tak sempat mengamati karena jatuh tertidur macam orang pingsan. Tapi kali ini, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ketimbang dirinya harus mendekam pada ruangan yang minim cahaya itu, lebih baik di sini sembari menyusun rencana kabur. “Siapa nama Ibu?” tanya Lavi dengan mulut penuh dengan suapan nasi. Meski menu makan malam kali ini sebatas nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi, tapi rasanya tak kalah seperti nasi goreng yang sering Lavi beli di ujung jalan masuk ke kontrakannya. Mendadak ia ingat Mang Bejo, nama penjual nasi goreng itu. “Makan dulu, Non, nanti tersedak.” Sang wanita terkekeh melihat ekspresi Lavi yang terburu-buru menyantap apa yang ia sediakan. Ia biarkan Lavi menikmati hidangannya. Di rumah yang ia sebut sebagai markas utama klan Naga Kembar, sang wanita bekerja sebagai juru masak. Dibantu hampir lima orang lainnya, mereka bertugas menyediakan supply makanan bagi semua orang yang tinggal di sini. Tak jarang, ia juga dibantu oleh anggota lain ketika semua orang-orang yang bekerja di bawah kendali Pras berkumpul di sini. Masing-masing dari mereka memiliki bagian kerja masing-masing. Ada pula yang memang khusus menyediakan bahan pangan setiap harinya. Semua dikerjakan dengan kerelaan. Tak ada paksaan sama sekali. Bagi mereka yang tinggal di sini, rumah Pras adalah perlindungan tertinggi serta tempat ternyaman selama mereka menarik napas. Kebanyakan dari mereka pernah mengalami hal yang jauh lebih dari sekadar buruk di mata orang lain. Sampah. Tak berguna. Meresahkan. Juga aib bagi sebagian keluarga yang mereka miliki. Tapi di sini, semuanya diterima dengan baik dan justru kebanyakan juga menemukan arti keluarga yang hilang di hati mereka. Harga yang Pras minta hanya kesetiaan. Maka, itulah yang mereka beri. Bagi mereka, Pras tak ubahnya seperti seorang pimpinan yang bijak serta ayah dari segala ayah. Tangan Pras terulur panjang sekali untuk memberi banyak rangkulan pada seluruh bawahannya. Terkenal kejam serta tak kenal ampun terhadap lawan atau siapa pun yang mengganggu, tapi yang menunjukkan loyalitas serta kesetiaannya pada Pras, maka sang pimpinan tak segan memberi perlindungan. Sama seperti Uti. Nama wanita itu. Uti ditemukan hampir merenggang nyawa saat dirinya pulang kerja. Entah ada berapa pria yang merudapaksa tanpa kenal ampun. Tanpa peduli kalau Uti sudah benar-benar tak berdaya. Permohonannya sama sekali tak digubris. Didapati oleh anak buah Pras dalam kondisi menggenaskan. Serta ingatan yang tak pernah lupa betapa beringas para pria tak bermoral itu. sungguh mimpi buruk yang ingin sekali Uti buang dari hidupnya. Dulu ia juga berpikir kalau Pras dan gerombolannya hanya sekumpulan orang yang membuat resah serta teror di mana-mana. Nyatanya? Tidak seperti itu. Pras hanya bekerja dan menjerat orang-orang yang bermasalah dengannya. Untuk orang-orang di luar apa yang ia jalankan, Pras tak pernah mau melibatkan diri. “Lo beruntung ditemukan Jerou di jembatan layang sana,” kata Pras yang kala itu duduk di kursi di samping ranjang tempat Uti terbaring lemah. Ingatan Uti kala itu terpaku saat dirinya disergap segerombolan orang yang tak ia kenali. Hanya bertubuh gelap dan kebanyakan dari mereka mengenakan kaus hitam. Lalu gerombolan orang tadi, yang Uti rasa berjumlah lima orang mulai menyudutkannya. Menganiayanya. Serta melakukan hal yang membuat jantung Uti rasa berhenti berdetak. Semua memperlakukan ia selayak sampah. Seringai licik serta keji milik mereka tak ubahnya mimpi buruk yang harus Uti hadapi tiap malam. “Kenapa kamu selamatkan saya?” tanya Uti lemah. “Harusnya biarkan saya mati.” “Nyawa itu berharga kalau lo mau tahu. Tapi terserah. Lo mau mati itu keputusan lo.” Pras meletakkan satu pisau lipat kecil di nakas. “Atau lo ikut gue. Lo mau teriak mengenai ketidakadilan yang lo terima juga pastinya kalah.” Uti terdiam. “Anak buah gue berusaha cari tahu siapa yang buat lo seperti ini.” “Kenapa?” tanya Uti pada akhirnya. Yang mana hingga kini, Pras hanya menjawab dengan ucapan yang singkat sekali. Namun ia mulai menyadari makna di balik kata yang Pras ucap kala itu. “Gue hanya berusaha memandang dari hal yang berbeda.” “Bukankah lo termasuk orang-orang yang senang menggunakan kekuasaannya?” Uti tak serta merta percaya. Apa semudah itu Pras mengulurkan bantuan? “Gue melenyapkan orang lain juga ada alasannya. Tapi gue enggak suka memperlakukan wanita seperti itu. Gue bukan pria rendahan.” Uti memalingkan wajah. “Semua terserah lo. Gue sendiri enggak diuntungkan dengan adanya lo di hidup gue. Gue kasihan saja melihat lo di sana.” Pras bangkit dari duduknya. “Lekas pulih.” Hanya itu yang Pras katakan tapi bagi Uti, ada satu harapan yang cukup menyala di sana. Selama hampir seminggu menjalani perawatan di mana kabar yang berembus, ia terserempet mobil. Setidaknya kejadian yang ia alami tak harus memenuhi halaman surat kabar dan membuatnya tak bisa bergerak bebas. Perempuan tindak pemerkosaan lebih sering mendapatkan stigma negatif. Terutama salahnya si pihak korban dengan pakaiannya. “Ibu … melamun?” tanya Lavi yang sejak tadi memperhatikan wanita di depannya ini. “Ah,” Uti tersenyum simpul. “Hanya ingat masa lalu.” “Menyeramkan?” tanya Lavi penasaran. “Yah … begitulah.” “Ibu sudah lama ada di sini?” Uti tersenyum lebar. “Sekitar tiga tahun.” “Enggak ada niat untuk kabur? Kembali ke rumah Ibu?” “Jangan panggil saya Ibu, Lavi.” Lavi melongo. “Ibu tahu nama saya?” “Kamu bertengkar dengan Tari tadi pagi, kan? Hampir semua penghuni rumah ini tahu. Dan semuanya penasaran sama kamu.” Kening Lavi berkerut dalam serta aneh. Penasaran? Apa yang membuat mereka penasaran? “Enggak ada yang berani melawan Tari. Baru kamu saja.” Uti menyentuh bahu Lavi dengan lembut. “Kamu berani.” Lavi terkikik jadinya. Ingat bagaimana dirinya memberi perlawanan pada Tari. “Saya menghindari bersinggungan dengan Tari. Bukan tak ingin, tapi memilih untuk enggak berdekatan dengan perempuan itu.” “Kalau dia enggak memulai duluan, aku juga enggak akan melawan, Bu. Dicubit itu sakit, makanya jangan nyubit duluan.” Uti tertawa mendengar ucapan Lavi barusan. “Hampir semua yang ada di sini membicarakan kamu, loh.” “Apa di sini banyak sekali orang yang tinggal?” Uti sempat berpikir sejenak. “Kalau mereka semua berkumpul, bisa seratus orang. Sepertinya segitu. Belum lagi yang tersebar di banyak titik. Ini markas utama. Pras punya tiga markas tapi hanya dua yang diketahui. Satunya enggak. Hanya orang tertentu yang bisa akses.” Lavi mengangguk seolah paham, padahal tidak. Ia tak berminat sama sekali untuk mengetahui tentang Pras. “Oh, iya, berhubung menyinggung tentang Tari. Memangnya dia siapa, sih, sampai enggak ada yang berani sama dia?” Uti tersenyum simpul. “Bukan enggak berani. Rata-rata malas bersinggungan karena memang orangnya sedikit, yah … menyebalkan.” “Memang! Ditambah dia ini kurang ajar, Bu. Saya bukan kambing yang seenaknya diseret begitu saja. Masih bisa mendengar bahasa manusia juga. Tapi perlakuannya ke saya sudah seperti saya ini onggokan sampah yang bisa diperlakukan seenaknya!” Lavi mengepalkan tangannya. Tak akan ia biarkan siapa pun memperlakukan ia seenaknya. Tak peduli siapa pun di depannya. “Eh … kalau saya enggak panggil Ibu, panggilnya apa? Wajah Anda keibuan sekali.” Lavi sedikit beringsut mendekat pada Uti. “Saya jadi ingat almarhum Mama.” “Pasti sedih kalau ingat orang tua, ya?” Uti mengusap bahu Lavi perlahan. “Saya masih sering berkunjung ke rumah orang tua. Saya memastikan mereka aman dan nyaman di rumahnya.” Ia kini menatap Lavi lekat. “Panggil saya Mbak Uti saja.” Lavi mengangguk cepat. “Tapi kenapa Mbak Uti justru kembali ke sini? Bukannya ini macam penjara?” Uti terperangah, tapi sesaat kemudian tertawa. “Penjara?” Masih juga Uti tergelak karena ucapan Lavi barusan. “Ini bukan penjara, Lavi. Ini markas utama klan Naga Kembar. Siapa pun yang menaruh kesetiaannya pada Noah Prasetyo, maka ini rumahnya.” Lavi cemberut. “Buatku ini penjara.” “Suatu saat kamu pasti mengerti kenapa kamu ada di sini.” “Apa yang harus aku mengerti dan pahami, Mbak?” Lavi sedikit menepis tangan Uti. “Aku ada di sini karena utang Warto. Dia jual aku sebagai jaminan. Mana ada bapak yang menjual anaknya untuk jaminan utang? Belum lagi, kenapa juga aku yang harus membayar? Memangnya aku yang pakai uang itu? Enggak!” kata Lavi dengan nada cukup tinggi. Kalau mengingat alasan dirinya ada di sini, ia merasa semua orang yang terlibat harus dilabeli dengan cap BERSALAH. “Kamu pasti mengerti nantinya. Mungkin Mbak terkesan mengada-ada, tapi apa yang Mbak katakan ini kenyataan.” Lavi yang masih berusaha menormalkan diri, memilih untuk tak banyak bicara lagi. “Tempat ini adalah tempat teraman yang membuat kita lebih hidup ketimbang hidup kita sebelumnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN