Tadinya Pras memang berniat menahan dirinya untuk menyentuh Lavi. Sejak ia tersesat di kedalaman mata serupa boneka, ia bersumpah akan mendapatkan gadis itu bagaimanapun caranya.
Termasuk menggunakan cara terlicik yang ia punya. Menggempur Warto dengan banyak pinjaman yang mana diterima dengan wajah penuh ceria. Siapa yang tak suka menerima pinjaman untuk menyalurkan hobinya berjudi?
Apalagi Pras termasuk pria yang selalu bisa mendapatkan apa yang ia mau. Bukan hanya kekuasaan, wanita pun demikian. Ia hanya tinggal menunjuk seperti apa wanita yang akan menemaninya malam ini. Dan kebanyakan juga, wanita itu dengan rela dan senang hati membuka pahanya untuk ditunggangi Pras.
Tapi untuk Lavi, entah kenapa ada sesuatu yang berbeda. Yang tak bisa ditundukkan dengan mudah. Yang membuat Pras penasaran setengah mati. Bisa saja Pras mengentaskan rasa penasarannya akan tubuh Lavi tak peduli sakit yang dirasakan karena perbuatannya kemarin.
Ah … Pras terlalu banyak berpikir. Sejak kapan perasaan sentimentalnya ini muncul ke permukaan?
“Mau apa?” tanya Lavi dengan mata melotot garang. Punggungnya sudah terbentur dinding di sudut ruangan ini. Ciuman penuh tuntut tadi dilepaskan Pras di mana Lavi ambil sebagai kesempatan untuk menghindar.
Satu-satunya tujuan kakinya bergerak adalah pintu. Namun naas, sia-sia sekali karena pintu itu terkunci rapat. Berulang kali Lavi berteriak pun, tak ia dengar adalah langkah kaki yang mendekat ke sana.
Pras sendiri yang sejak tadi memperhatikan Lavi hanya terkekeh. Ia duduk dengan posisi lebih santai di sandaran sofa. “Buang-buang tenaga, Neng. Lebih baik lo duduk di samping gue,” katanya sembari menepuk pelan pada sisinya.
“Enggak sudi!”
Pras tergelak, tapi sejurus kemudian, ia bangkit dan melangkah lebar menuju Lavi. Membuat langkah gadis itu mundur seiring dengan Pras yang semakin mendekat.
“Menjauh dari gue!”
Gelak tawa Pras makin menjadi.
“Pergi!” Lavi berteriak dengan lantang. Sampai akhirnya, ia tak bisa lagi menghindar dari kungkungan Pras.
“Gue sudah bilang, kan, kalau lo harus dihukum?” Pras berkata dengan seringai tipis di bibir. “Maka nikmatilah hukuman lo sekarang.”
Lavi mematung. Tubuhnya juga mulai gemetaran. Di depannya, sang pria benar-benar tak ragu lagi untuk bertindak di luar batas bayangannya. Lavi mendadak merasa semakin gelap hidupnya. Apa sebaiknya ia memelas? Agar kali ini ia diampuni?
“Ja-jangan,” kata Lavi terbata. Refleks tangannya juga mencengkeram ujung piyamanya. Namun Pras tak bisa lagi menahan diri.
“Buka pintunya,” kata Pras dengan suara lantang bertepatan dengan tangannya menyeret Lavi kembali. Pintu yang semula rapat tertutup, dibuka dengan lebarnya oleh dua orang yang sejak tadi berjaga di sana. Lavi mendelik tak percaya. Jeritannya minta tolong tak digubris? Tuhan! Lavi lupa kalau ia tinggal di sarang preman tanpa hati ini.
“Lepas!” teriak Lavi setelah menyadari kalau dirinya kembali diseret oleh Pras. Kali ini, cara Pras menyeretnya jauh lebih menyakitkan ketimbang sebelumnya. Cekalan tangan Pras membuat pergelangan tangan Lavi sakit sekali. Tapi pria itu mengabaikannya.
Berulang kali Lavi berteriak minta tolong, semua orang yang berpapasan dengannya, memalingkan wajah. Atau menatapnya datar. Ada juga yang menyeringai seolah Lavi pantas diperlakukan seperti itu. Lavi benar-benar tak habis pikir dengan penghuni markas ini.
Apa mereka semua sudah mati rasa?
Sampai di depan kamar yang Lavi kenali, pintu itu juga segera terbuka lebar. Pras masuk dengan mudahnya diikuti Lavi yang masih berusaha untuk melepaskan cekalan tangan Pras.
Lalu … blam!
Pintu itu tertutup kembali. Lavi semakin terisak karena tahu akhir dari dirinya kali ini. Pastinya Pras akan berbuat seenaknya pada Lavi. Meski berusaha untuk tak ketakutan, tak ingin memohon, juga mematikan rasa yang ada di hatinya, tetap saja Lavi adalah seorang gadis yang kini ada di bawah tekanan besar.
Ia takut. Sangat.
Tubuhnya dihempas kasar di atas ranjang yang semalam ia tiduri. Air matanya sudah merebak di sudut. Rontanya tak mengendur sama sekali. Tak peduli entah itu tendangan, pukulan yang bisa Lavi layangkan mengenai tubuh Pras. Ia berusaha untuk mempertahankan dirinya terutama kehormatannya.
Namun, Pras adalah Pras. Yang mengincar buruannya tanpa kenal ampun. Lagi pula dalam pemikiran Pras, suatu saat nanti Lavi pasti akan tunduk di bawah kendalinya. Ia hanya butuh diberi pelajaran agar tak macam-macam dan serampangan lagi selama berada di sini.
“Lepaskan gue,” kata Lavi dengan nada memelas. Ia mengabaikan keberanian yang tersisa separuh di hatinya. Mata mereka saling beradu, karena Pras menempatkan dirinya tepat di atas Lavi.
“Kenapa gue harus melepaskan lo?” Pras tersenyum penuh licik.
Tangan Lavi yang sejak tadi memukulinya, ia ambil paksa dan ditekan kuat persis di atas kepala menggunakan satu tangan. Baginya, itu hal yang mudah. Apa yang Lavi lakukan pada tubuhnya sejak tadi, bukannya menimbulkan rasa sakit, tapi justru membuatnya semakin bersemangat untuk menundukkan gadis itu.
“Ja-jangan,” Lavi menggeleng pelan. “Jangan lakuin hal ini sama gue.” Ia memohon pada Pras meski rasanya mustahil pria itu kabulkan.
Sejak ia berada di kasur ini kembali, Lavi bisa melihat sorot mata Pras berubah yang semula dingin dan terlihat bengis, mulai terbakar gairah dan siap untuk dilampiaskan.
“Gue enggak akan kasar,” kata Pras masih dengan seringainya. Tangannya yang bebas sengaja ia gunakan untuk mengusap pipi yang lembab karena air mata ini dengan gerakan sededuktif mungkin. “Selama lo ikuti irama yang gue buat, gue jamin lo enggak akan kesakitan.”
Makin jadi tangis yang Lavi keluarkan. Hatinya berdoa penuh harap dari Tuhan, agar ia bisa terlindungi entah bagaimana caranya. “Jangan,” pelasnya sekali lagi.
Jemari yang tadi mengusap pipi, Pras gunakan untuk merobek piyama yang Lavi kenakan. Teriakan Lavi langsung memenuhi ruangan yang tak terlalu luas ini. Kakinya berusaha untuk menendang ke segala arah dan beberapa kali mengenai paha Pras. Cekalan pada tangan Pras pun terlepas. Lavi berusaha bangkit dari ranjang. Mungkin terjun dari balkon adalah pilihan yang lebih baik ketimbang ada di atas ranjang Pras.
Namun dengan sigap, Pras menahannya.
Sekali lagi, Lavi terpelanting di atas ranjang empuk itu. Dengan sigap, Pras mengikat tangan Lavi menggunakan dasi dan menguncinya di sandaran ranjang.
“Lepas, b******n!”
Pras tertawa. “Maki gue sepuas lo, Neng. Gue pastikan makian itu berganti desahan.”
Kaki Lavi masih terus meronta sampai akhirnya ia tak bisa bergerak. Kaki itu pun terikat di kedua sisi ranjang. Membuat pahanya terbuka paksa. Separuh tubuh bagian atasnya terlihat dan dinikmati dengan penuh nafsu oleh Pras.
Lavi merasa dirinya rendah sekali. Apalagi, sekarang Pras berada tepat di antara kedua belah pahanya. Setengah berlutut sembari bersedekap. Matanya memindai Lavi dengan sorot puas.
“Lepas!”
“Gue belum selesai menghukum lo, Neng.” Perlahan Pras menunduk, membuka piyama yang robek tadi sampai tubuh bagian atas Lavi terekspos sempurna. Pras mengakui tubuh Lavi benar-benar indah. Tanpa cacat. Putih mulus bak pualam yang ditempa oleh tangan profesional.
“Lepaskan gue, Pras.” Untuk pertama kalinya, Lavi memanggil nama Pras. Meski berderai air mata, ia benar-benar tak sanggup membayangkan apa yang akan Pras lakukan nantinya. Segala hal yang ia punya sudah tak ada lagi. Ia hanya memiliki kehormatan yang masih ia jaga hingga kini.
Kalau Pras sampai merenggutnya juga?
Adakah hal yang akan ia benci seumur hidup selain Warto? Ada. Keberadaan pria yang justru menggeleng pelan. Yang makin menunduk dan melabuhkan ciuman singkat.
Di atas bibir Lavi, Pras berkata, “Gue belum puas, Neng.”
Kembali Pras jatuhi ciuman penuh tuntut. Mengabaikan air mata Lavi yang semakin jadi. Sudah tak terhitung berapa banyak air mata gadis yang pernah ia tiduri pertama kali. Bagi Pras, air mata itu hanya sekali menetes. Sisanya, justru mereka mengumbarkan diri untuk kembali menikmati malam panjangnya bersama Pras. Pria itu juga yakin, hal itu pasti berlaku juga untuk Lavi.
Tangan Pras yang bebas mulai mempermainkan d**a Lavi. Sesekali Pras bisa mendengar rintihan ketika tangan itu tanpa sengaja mengenai luka yang Lavi terima. Ah, seharusnya Pras tak kasar di bagian sana. Masih banyak yang bisa ia permainkan, kan?
Maka, itulah yang Pras lakukan. Puas membuat Lavi kekurangan banyak pasokan oksigen, ia pun menyasar pada d**a Lavi yang terbebas dari stempel. Masih ada jejak kemerahan yang ia tinggalkan di sana.
Akan Pras buat sebanyak mungkin di sekujur tubuh Lavi. Agar gadis ini tahu, tubuhnya hanya milik Pras. Tak sabar, ia pun mengulum puncak d**a Lavi dengan lembutnya. Kali ini gerakannya ia buat sepelan mungkin. Pras tahu, ia butuh membuat Lavi siap untuk dimasuki. Jangan sampai semua sentuhan ini berakhir sia-sia.
Meski Pras bisa memaksakan diri, ia tetap memikirkan gadis yang akan ia sentuh.
Sesekali ekor matanya melirik ke wajah Lavi yang kini terpejam kuat. Bibir gadis itu terlihat digigit sekuat tenaga. Mungkin menahan desahan agar tak keluar atau menahan rasa yang mulai bisa diterima Lavi? Pras menyeringai. Segala titik rangsang perempuan, Pras sudah hafal di luar kepala. Ia hanya tinggal membuat sentuhan itu semakin berkobar, agar mereka terbakar sempurna dalam lautan gairah.
Sabar sebentar lagi, Neng, lo bakalan ketagihan, kata Pras dalam hati.
Kuluman itu ia lepaskan. Sontak membuat Lavi membuka matanya. Ia berusaha untuk mengendalikan diri. Tak boleh kalah sama sekali atas apa yang Pras lakukan padanya. Kalau sampai sedikit saja ia biarkan rasa aneh yang sangat menggelitiknya ini berkuasa, Pras menang. Lavi kalah telak.
Napas Lavi tersengal karena hal itu, namun Pras tak peduli. Justru ia kini melancarkan serangan kedua. Dimulai dari ujung d**a yang sudah membusung tadi, ia kecupi dan turun ke area perut Lavi yang datar. Halus sekali kulit Lavi yang membuat Pras semakin bersemangat. Sampai akhir kecupan itu, tubuh Lavi mulai meronta kuat.
“Jangan! Jangan, Pras!”
“Lo bakalan nikmati, kok,” kata Pras dengan santai. Juga tangannya yang segera merobek celana yang masih menutupi area kakinya. Kini, Lavi tanpa sehelai benang pun. Dengan posisi yang benar-benar membuat Pras semakin tak sabar. Sementara itu, tangis Lavi semakin menjadi.
Apa dihiraukan Pras? Tidak sama sekali.
Ini adalah apa yang Pras tunggu.
Dibasahi jemari Pras dengan mulutnya. Matanya sengaja menatap Lavi. Ia tak peduli dengan air mata gadis yang ada di ranjangnya ini. Perlahan juga ia sapukan di belahan paha Lavi.
Apa yang Pras lakukan sekarang membuat Lavi memekik.
“Gue pastikan bibir lo hanya memanggil nama gue, Lavi.”
Lavi menggeleng kuat. “Enggak sudi!” katanya penuh tekad.
Namun … saat kepala Pras berada di belah paha Lavi, gadis itu hanya bisa memejam kuat. Batinnya berperang. Segalanya mulai berkabut dan ia tak bisa terlalu lama mengontrol diri. Ia terus berusaha menolak rangsangan yang Pras beri, tapi satu pun tak ada yang bisa ia lakukan. Tangan dan kakinya terikat. Hanya kepalanya saja yang terus mengucapkan penolakan.
“AH!”
Pras menyeringai penuh kemenangan. Ekor matanya bisa melihat kalau Lavi sudah mulai bisa menerima dirinya. Penolakan gadis itu tak ada apa-apanya dengan apa yang ia kerjakan di atas tubuh gadis ini. Apalagi saat ujung lidahnya aktif bergerak di sana. Seirama dengan jemari yang mendobrak di dalam sana. Hangat. Lembab. Dan menggiurkan.
“Enak, kan?” tanya Pras dengan senyumnya yang licik. Tangannya masih terus mempermainkan Lavi di bawah sana.
“b******n!”
“Iya, gue memang b******n, Neng. Tapi asal lo tahu, lo enggak akan bisa lepas dari sosok b******n ini.” Kalau tadi Pras hanya menggunakan satu jari, kali ini dua yang ia masukkan ke dalam sana.
Mengacak dengan gerak yang cukup brutal. Membuat Lavi pening mendadak. Suara-suara penolakannya pada Pras mulai menghilang. Berganti dengan rasa yang mulai menggelung dirinya dengan hebat.
Meski Lavi masih terisak, Pras yakin kalau gadis itu sudah mulai bisa menyesuaikan diri. Maka jemarinya pun ia tarik. “Jangan puas dengan hal ini saja.” Merasa apa yang Pras lakukan sudah lebih dari cukup, pria itu pun membuka sabuk dengan gerak cepat. “Ini menu utamanya, Neng.”
Lavi melotot dan mulai meronta dengan kuat. Tak peduli apakah usahanya ini akan berhasil atau tidak tapi kalau sampai milik Pras menyatu dengannya?
Tuhan! Bebaskan aku dari kekangan pria b******n ini! Kumohon!
Pras menyeringai puas. “Lo sudah siap banget, Neng.” Ia pun memosisikan diri tepat di belahan paha Lavi. Namun ….
“Bos!” Teriakan juga ketukan membuat kegiatan itu terjeda begitu saja.
“Anjing! Siapa ganggu gue!” maki Pras dengan lantang.
Padahal, jarak ranjang dengan pintu cukup jauh, tapi Pras yakin di depan sana, para anak buahnya sudah merinding mendengar teriakannya barusan. Aturan yang mereka pegang dan harus patuhi, kalau Pras ada di kamarnya, setiap yang ingin memasuki kamar ini harus mengetuk pintu terlebih dahulu.
Berbeda dengan ruangan lain yang ada di rumah ini. Bahkan mereka sering melihat Pras bermain-main dengan para wanita yang ia inginkan di mana pun di rumah ini. Hanya satu tempat yang privasi sekali bagi Pras; kamarnya.
“Arron, Bos. Sorry ganggu. Ini penting banget. Tony ditembak di perbatasan.”
Pras mematung, lalu menyambar kembali celana dan kemejanya. Menggunakan secepat yang ia bisa juga mengambil selimut untuk menutupi tubuh Lavi yang telanjang. Benaknya berperang.
Tony, pemuda yang loyal dan setia padanya … ditembak? Apa salahnya? Sepanjang Pras tahu tentang Tony, anak itu tak pernah membantah semua arahan yang diberikan Pras juga Arron. Arron adalah kaki tangan Pras yang paling ia percaya. Selain Dom dan Jerou.
Sebelum Pras melangkah pergi, ia pun mendekati Lavi. Dikecupnya singkat kening Lavi yang lembab. “Kita tunda, Neng. Abang pergi dulu.”
Lavi tak peduli apa yang terjadi. Meski terdengar mengerikan; ada yang tewas tertembak, tapi setidaknya, hal itu yang membuatnya lolos dari terkaman Pras.
“Minta Anne untuk ke ruang ini. Rawat Lavi dengan baik. Lo berdua jangan sampai lengah. Jangan satu pun yang masuk ke kamar ini selain gue. Ada yang berani, gue bakalan bikin perhitungan sama dia!”
Sayup-sayup Lavi mendengar ucapan itu dan makin lama semakin menghilang. Juga banyak derap yang menjauh dari ruangan ini. Ia sungguh lega. Benar-benar lega.
Tuhan baik sekali padanya.