Gadis itu menatap tubuh yang hanya terbalut pakaian tidur yang tipis ini. Sialannya, hanya ada pakaian ini di ranjang. Ia berusaha untuk membuka lemari besar yang ada di sudut kamar, siapa tahu ada yang jauh lebih beradab yang bisa ia kenakan, tapi nihil. Usahanya sia-sia. Lemari itu terkunci rapat.
Ia mengeram kesal sekali. Dihempaskannya tubuh itu di sofa.
Lavi masih punya rasa waspada pada makanan yang tersuguh, meski ia akui dengan penuh kejujuran kalau ia lapar. Sejak jam satu siang, belum ada sebutir nasi bahkan satu teguk minum pun membasahi tenggorokan. Perutnya sudah keroncongan. Sepertinya cacing yang ia pelihara di dalam sana, sudah tak bisa lagi menahan lapar. Tapi … Lavi takut.
Bagaimana kalau makanan ini diracun? Diberi obat aneh-aneh?
Gadis itu tak bodoh mengenai obat yang bisa dicampurkan dan menyebabkan ia berada dalam kondisi bermasalah. Tuhan! Bagaimana ini? Ia butuh makan, tapi kekhawatirannya besar sekali. Kalau ia menahan lapar sampai esok pagi, ada kemungkinan dirinya pingsan itu tinggi, kan?
Namun, matanya tak bisa dilepaskan dari sajian yang ada di meja. Padahal, ia sudah mengambil jarak cukup jauh, tapi dasar kakinya pengkhianat besar. Selalu saja mengarah ke meja itu. Seolah memang sajian itu memanggilnya penuh godaan.
“Sudahlah. Kalau aku mati hari ini, biarkan saja. Artinya takdirku bernapas lega hanya sampai di sini.” Lavi duduk dengan segera di depan meja, tempat satu porsi nasi lengkap dengan lauk berkuah santan serta sambal yang begitu menggoda tersedia.
Ia makan dengan lahap. Senyum Lavi terkembang lebar. Semua yang tersaji di meja, habis ia lahap. Rasanya juga ia ingin menggigiti piring yang berlumuran bumbu saking perutnya belum terlalu penuh. Ia bersandar pelan pada punggung sofa, sejenak menghentikan kegiatannya menjilati tangan yang masih berlumuran bumbu ayam berkuah santan tadi.
“Puji Tuhan, masih bisa makan. Semoga Tuhan selalu memberi kasih sayang-Nya untuk aku,” lirihnya pelan.
Ia pun segera merapikan meja berlapis kaca ini. Ia tumpuk semua piring bekas makannya di sudut meja, mencuci tangannya sampai bersih, lantas kembali duduk di sofa tanpa tahu apa yang akan ia lakukan. Matanya mengedar pelan memperhatikan interior kamar yang tergolong mewah ini. Ia baru menyadari kalau di ruangan ini juga terdapat TV yang cukup besar menempel di dinding.
Semua penataan di ruangan ini termasuk rapi dan apik. Pastinya tak ia sangka kalau kamar ini milik … Pras. Mengingat pria bertato itu, membuat Lavi tanpa sadar meraba bagian dadanya.
“Auw!” pekiknya karena rasa nyeri yang mendadak ia rasakan. Meski terbalut plester, rasa sakit saat tak sengaja ia senggol masih bisa dirasakan. Mendadak juga kepalanya memutar kembali perlakuan Pras padanya. Yang mana justru membuat bulu kuduknya meremang.
“Preman gila!” makinya. “Jangan harap dengan perlakuan kayak tadi bikin aku luluh, ya. Enggak bakalan! Kecuali aku dibebaskan! Enak saja aku yang harus nanggung kesalahan Ayah. Memangnya aku gudang uang?”
Lavi kembali berapi-api.
“Lagian, ya, nanti bekas luka ini enggak bisa hilang begitu saja, kan?” Lavi menggeram kesal jadinya. “Bagaimana suami aku nanti? Masa iya, astaga Tuhan! Pras Berengsek!”
Malam ini, dengan tenaga yang terisi cukup penuh, dihabiskan Lavi dengan terus memaki Pras. Tak peduli kalau nanti pria itu tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. Malah lebih bagus. Lavi tak hanya memarahi semua benda yang ada di kamar Pras, melainkan tepat di depan wajahnya. Segala jenis makian kasar, umpatan berkedok kebun binatang pun sudah terlontar mulus dari bibir Lavi.
Sayangnya … Pras tak ada.
Tapi Lavi bertekad, ketika pria itu kembali, makian kembali ia luapkan. Pasti.
Tanpa Lavi sadari, ia jatuh tertidur di ranjang empuk milik Pras. Lelah mengeluarkan segala emosi yang sejak tadi tertahan di hatinya. Sebelum ia benar-benar terpejam, pintanya hanya satu. Tuhan kembalikan dirinya di kontrakan yang meskipun kecil tapi nyaman untuk Lavi.
Sayangnya, hal itu tak terkabul.
Sinar yang menembus jendela kamar ini membuat Lavi menarik selimutnya. Matanya memicing tak suka lantaran cahaya itu bagi Lavi adalah gangguan. Lagi pula, tubuhnya pun masih terlalu lelah untuk terbangun. Masih ingin terbuai di alam mimpi yang jauh lebih indah ketimbang kenyataan yang ia alami.
“Bangun, Jalang!!!”
Mata Lavi terbuka sempurna, bertepatan juga rasa sakit yang kepalanya terima. Satu jambakan cukup kuat sampai ia merasa rambutnya lepas dari akar. Jeritan Lavi tak digubris sama sekali. Malah semakin membuat orang yang menarik rambut gadis itu bersemangat.
Tidak.
Ia bukan bersemangat karena menemukan mangsa baru untuk melampiaskan rasa kesalnya. Ia bukan sekadar kesal. Ia marah. Cemburu. Tak terima. Dan merasa kalau Lavi ini saingan terberatnya. Sejak pertama kali bertemu kemarin, firasatnya mengatakan kalau gadis yang tengah ia tarik rambutnya ini, bukan orang yang gampang ditundukkan.
Semalaman ia tak bisa tertidur. Meski matanya lelah, tapi ia paksa untuk terus terbuka. Berharap sang pria yang ia tunggu masuk ke dalam kamarnya. Memadu kasih sampai pagi menjelang.
Sayangnya itu tak terjadi. Ia pikir, Pras ada urusan. Setelah mengetahui dari salah satu penjaga bahwa Pras membawa seorang wanita ke kamar utamanya, ia pun berang.
Selama hidupnya bersama Pras, Anatari Daniela Jovanka, hanya sekali tidur di kamar yang menurutnya mewah ini. Itu pun di saat Pras dalam keadaan mabuk yang lumayan parah. Setelahnya, Pras yang berkunjung ke kamar wanita yang ia inginkan. Meski kebanyakan didominasi kunjungannya ke tempat Tari.
Namun sekarang, apa yang ia dapat?
Menemukan gadis yang ia tempatkan di ruangan yang seharusnya, justru tertidur pulas di ranjang Pras. Belum lagi penampilannya yang membuat Tari makin dibakar cemburu; pakaian tidur yang hanya menutupi sebagian paha Lavi, rambut berantakan, di balik pakaian itu Tari yakin sekali gadis itu tak menggunakan bra serta celana dalam.
“Lepas!” kata Lavi dengan lantangnya karena tarikan itu sama sekali tak dikendurkan. Dilepaskan, tapi Lavi jatuh tersungkur hingga dahinya terkena ujung meja. Pening langsung menghantamnya. Rasa sakit yang ia rasakan sampai membuatnya merintih. Kegelapan mulai membayang, tapi Lavi tak boleh jatuh sekarang.
Ia berpegangan kuat pada tepian meja. Salah satu tangannya meraba pada bagian kening yang tadi terkena ujung meja. Ia merasa ada yang merembes di sekitar pelipisnya. Dan benar saja, ada luka yang bisa jadi cukup lebar di sana. Darah pun mulai membasahi telapak tangannya.
“Kurang ajar!” Lavi tak terima. Meski ada pening yang masih menguasai, ia berusaha bangkit.
“Oh! Lo berani sama gue?!” Tari bersedekap dengan sorot mata tajam serta sinis penuh kebencian pada Lavi.
“Kenapa gue harus takut?” Lavi sama sekali tak bergeming. Ia justru menunggu agar wanita sialan yang mengganggu tidurnya ini ada di dekatnya.
“Jalang sialan!!!” Tari melayangkan satu tamparan yang tak main-main saat mengenai pipi Lavi. Namun, gadis itu dengan sigap menahan tangan Tari. Dicekal kuat tangan Tari di mana wanita itu menatap Lavi penuh benci.
“Jangan harap lo bisa tampar gue, Murahan!”
Mata Tari melotot tak percaya. Apa katanya? Murahan?
“Lo!” Tari segera melepas cekalan tangan Lavi. Berusaha untuk kembali menarik atau pun memukul gadis ini. Sayangnya, Lavi juga tak tinggal diam. Tak peduli rasa sakit yang masih ada di sekujur tubuhnya terutama dahi, ia juga memberi perlawanan pada Tari.
Mereka saling bergelut. Saling menjambak juga memaki dengan kuatnya. Tangan serta kaki mereka gunakan untuk saling serang. Ada kesempatan menarik pakaian Tari, Lavi lakukan tanpa segan. Membuat kaus ketat yang Tari kenakan robek di bagian sisinya.
Sama halnya dengan Tari. Pakaian tidur yang Lavi kenakan pun terkena amukannya. Sudut bibir Lavi berdarah terkena tamparan Tari. Sementara mata Tari tampak lebam karena pukulan Lavi.
Baik Lavi juga Tari terengah, tersengal karena perbuatan mereka, tapi satu pun tak ada yang ingin mengalah. Bahkan Lavi mengabaikan plester yang menutupi lukanya di bagian d**a.
Pakaiannya sudah tak lagi benar menutupi tubuhnya. Matanya dengan cepat memperhatikan sekitar. Apa lagi yang bisa ia hadiahkan untuk Tari yang terlihat babak belur dihajar olehnya? Kalau mereka bercermin, Lavi juga yakin kalau dirinya serupa dengan Tari; banyak luka dan lebam.
Benda yang paling dekat dengannya adalah piring yang semalam masih ada di sudut meja. Segera saja ia ambil dan lempar pada Tari yang juga sudah bersiap melempar pajangan yang adi dekatnya.
Mereka masih terus bergelut tak mau mengalah satu pun. Lavi yang memang butuh pelampiasan karena kekesalannya pada Pras, akhirnya menemukan samsak yang tepat. Sementara Tari yang dibakar cemburu, tak kehabisan energi untuk meluapkan perasaannya itu.
Sampai ….
“Mau sampai kapan kalian hancurkan kamar gue?!”
***[]***
Lavi melengos saat kapas yang sudah dibasahi antiseptic hampir mengenai sudut bibirnya.
“Nona,” kata si pelayan yang diperintahkan untuk mengobati Lavi dengan nada lelah. Sejak tuannya memberi perintah, gadis ini sama sekali tak mau bekerja sama.
Entah sudah berapa kali ia menolak diobati. Ia juga memiliki banyak pekerjaan di dapur, tapi karena ini perintah langsung, mana berani ada bantahan dan juga harus ada hasilnya. Meski yang paling kentara adalah dahi sang gadis yang sudah diperban dengan baik, masih ada luka lainnya terutama sudut bibir yang terluka itu.
“Nona jangan mempersulit saya,” katanya sambil sekali lagi menyodorkan kapas tadi.
“Saya bisa sendiri.” Lavi merebut kapas tadi berikut dengan cermin yang tergeletak di meja. “Ibu kembali saja. Saya enggak apa-apa.”
“Non enggak apa-apa, saya yang terkena masalah kalau enggak semuanya diobati.”
“Ribet banget, sih?” Lavi mendelik.
“Bisa enggak lo enggak keras kepala? Masih untung diobati dari pada lo gue masukan ke ruangan di lantai bawah? Hukuman karena berani menyentuh Tari?”
Lavi mendongak. Di depannya pria yang tadi menatapnya dengan sorot setajam elang, berdiri dengan pongah. Kedatangan Pras yang mendadak ini juga membuat pelayan tadi langsung menyingkir begitu saja.
“Masukkan saja gue di sana. Gue enggak peduli.” Lavi bersedekap.
Pras berdecak. Apa gadis itu pikir, ia tak bisa memasukkan Lavi di sana? Gadis ini sesekali harus tahu arti hukuman. “Itu yang lo mau?”
Lavi tak juga melepas tatapannya. Ia merasa menantang mata Pras adalah keharusan. Bahkan sampai pria itu benar-benar mempertipis jarak, Lavi masih belum mau mengalihkan sorot matanya. Padahal ia pernah dibuat takut dengan tatapan Pras. Masih belum ia lupa bagaimana Pras tanpa belas kasih memberi stempel di d**a Lavi.
Saat tangan Pras lagi-lagi mencengkeram wajahnya dengan kuat, Lavi masih belum ingin menyudahi tantangannya. Meski lehernya mulai sakit karena Pras sengaja membuatnya mendongak agar terus bersihadap, Lavi tak akan mengeluarkan keluhan sedikit pun.
“Gue suka cewek berani. Enggak mengalihkan matanya kecuali ke gue. Persis seperti yang gue mau.” Pras menyeringai tipis. “Tapi perlu lo tahu satu hal, Neng.” Sang pria kali ini sedikit menunduk untuk berbisik sepelan mungkin. “Lo semakin bikin gue enggak sabar pengin nidurin lo.”
“Memang preman sialan itu isi otaknya hanya s**********n saja, ya,” kata Lavi tanpa ragu.
Meski suaranya tak terlalu jelas, tapi ia tahu, ucapannya barusan sudah memancing amarah seorang Noah Prasetyo.
“Lo memang nantangin gue, ya. Padahal gue tunggu d**a lo sembuh tapi karena diremehkan begini, jangan salahkan gue kalau gue kasar.”
Lavi tak diberi jeda sekadar untuk menghirup oksigen yang tersisa, karena bibir Lavi yang terluka diraup dengan serakah oleh Pras. Otak Lavi mendadak berhenti pada ucapan Pras barusan. Kasar.
Apa maksudnya?