Rashi mengendap. Posisinya berada di salah satu sudut, di ujung lorong lengang nan gelap. Mengingat ini sudah tengah malam, tak heran sangat hening. Jangan lupakan kegelapan yang mendominasi dengan amat tegas! Dan juga ... entah benar atau hanya perasaan Rashi, udara malam ini sangat dingin. Jauh lebih dingin dari malam - malam sebelumnya. Angin sepoi - sepoi serasa menusuk tulang.
Rashi tergolong bukan gadis manja dan penakut, tapi saking heningnya suasana malam ini, berhasil membuat bulu kuduk Rashi berdiri. Apalagi ini di rumah sakit. Tempat di mana banyak orang meninggal. Rashi pernah dengar banyak cerita dari para narasumber tentang betapa horornya rumah sakit itu.
Berhasil melawan rasa takutnya berkat rasa penasaran yang jauh lebih tinggi, Rashi akhirnya sampai di tempat tujuannya. Ia sudah sampai di depan kamar 407. Tempat pasien Misterius yang membuatnya penasaran setengah mati dirawat.
Pertanyaannya, kenapa Rashi hanya berdiri di sana -- di depan pintu -- tanpa ada inisiatif untuk melakukan apa pun?
Jawabannya, tentu saja ia hanya berdiri. Kalian pikir ia berani langsung masuk?
Rashi butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian. Dan entah keberanian itu akan terkumpul atau tidak. Rashi bertanya - tanya, apa yang akan ia katakan pada pemilik kamar nanti? Berkata jujur, oh itu tidak mungkin. Berkata bohong? Astaga, itu lebih tidak mungkin lagi, lah.
Sial lagi - lagi. Untuk apa Rashi nekat ke sini kalau kenyataannya ia tidak berani masuk? Jangan kan masuk, sekadar mengetuk pintu saja tak berani. Ternyata Rashi tidak sepercaya diri itu.
Apa yang akan dipikirkan pemilik kamar jika ada seorang wanita asing yang tiba - tiba datang menjenguknya pada tengah malam? Bisa - bisa Barra menganggapnya aneh. Sehingga ia akan illfeel bahkan sebelum mereka saling mengenal.
Atau akan lebih parahnya ceritanya, jika Barra ternyata menganggap Rashi bukan manusia. Melainkan jin wanita penunggu rumah sakit yang sedang menyamar menjadi gadis cantik. Rashi tertawa tanpa suara karena pikiran anehnya. Cantik katanya?
Sepertinya besok saja Rashi datang lagi. Ya, benar. Besok saja. Lebih pantas. Rashi pun berbalik.
Sayangnya, dalam sekejap rasa penasaran kembali membucah. Rashi menengok pintu kamar 407.
Masuk tidak, ya?
Rashi akhirnya memutuskan untuk melihat situasi dan kondisi terlebih dahulu. Lihat lah apa yang dilakukan wanita itu sekarang!
Ia sedang berusaha mencari celah di antara tirai - tirai jendela. Sehingga memungkinkan untuk mengintip suasana di dalam.
Terang di dalam sana, lampu belum dimatikan. Jadi, Barra belum tidur selarut ini? Bukankah pasien butuh tidur lebih banyak? Apalagi Barra sepertinya sakit parah. Bagaimana tidak parah kalau sampai bertahun - tahun belum sembuh. Bahkan sampai selama 4 tahun dirawat di rumah sakit tanpa pulang satu hari pun.
Rashi menelisik. Ada seorang laki - laki. Ya, tentu saja Barra laki - laki. Mungkin Barra seumuran dengannya. Laki - laki itu sibuk memencet - mencet remot televisi. Pasti ia sedang sangat kebosanan. Ingin mencari acara televisi menarik, tapi belum ketemu.
BRUAK!
Astaga ... Ya Tuhan .... Rashi meringis - ringis. Meratapi nasibnya. Kenapa ia harus tiba -tiba jatuh, sih? Sungguh, sakitnya tidak terlalu terasa. Malu pun belum terasa. Karena belum ketahuan oleh siapa pun. Rashi hanya sangat kesal kenapa ia sangat ceroboh? Bagaimana kalau Barra dengar?
Rashi jatuh tersungkur dengan posisi tidak elit sama sekali. SIAL. Lagi - lagi sial.
Rashi memelototi bangku panjang yang baru saja ia tabrak. Biang kerok yang membuatnya jatuh secara dramatis Kenapa bangku sepanjang itu bisa lengah dari penglihatannya, sih? Jadi lah Rashi terjungkal karena menabraknya. Tapi bukan itu satu - satunya hal yang dikhawatirkan Rashi sekarang.
Semoga saja Barra tidak mendengar suara jatuhnya. Tapi di sisi lain, Rashi juga yakin bahwa Barra tidak tuli. Ia pasti mendengar suara jatuhnya yang sangat bombastis itu, dan sebentar lagi akan ....
***
"Siapa, ya? Kamu baik - baik aja?"
Si Pemilik Suara berjalan keluar dari kamar 407, sedang berjalan menghampiri Rashi. Rashi mengangkat wajahnya ragu - ragu. Pandangan mereka akhirnya bertemu. Meski tak terlalu jelas bisa melihat karena gelapnya suasana sekitar.
"H-hai ...," sapa Rashi sok santai. Padahal jantungnya melompat - lompat di dalam sana. Untung tidak sampai menyembul keluar menembus tulang rusuk.
"Lo nggak apa - apa?" Barra mengubah konteks bicaranya. Mungkin karena tahu gadis yang terjatuh itu usianya tak terpaut terlalu jauh.
Rashi menggeleng. Entah mengapa ia cengengesan tiada henti, seperti orang stres. Kalau boleh jujur tertawa itu sebenarnya hanya lah jurus supaya tidak terlalu kentara bahwa ia sedang berpikir keras harus menjawab apa.
Barra mengulurkan tangannya untuk membantu Rashi berdiri. Tangannya terlihat pucat. Rashi meraih jemari kurus nan lentik namun tetap memiliki urat - urat menonjol khas tangan laki - laki pmilik Barra. Rashi membiarkan si Pemilik tangan menariknya sampai berdiri.
"T-Tadi gue kebetulan lewat. Mata gue sliwer, jadi nggak sengaja nabrak bangku ini. Jatoh, deh!" jelas Rashi. Ia sukses mengkombinasikan kejujuran dengan sedikit kebohongan.
"Tapi lo beneran nggak apa - apa, kan?" Barra bertanya lagi. "Apa ada yang sakit?"
"Nggak apa - apa kok. Beneran. Thanks."
Barra mengernyit. "Thanks buat?"
Rashi berpikir lagi. "Uhm ... b-buat ... buat ... buat peduli sama keadaan gue." Seandainya tidak ada Barra di depannya, mungkin Rashi sudah memukuli kepala bodohnya karena menuntun mulutnya bicara ngelantur seperti itu.
Namun nyatanya Barra santai saja menanggapi tingkah laku aneh Rashi. Barra menjawab dengan senyuman tulus. Rashi hanya diam karena tak tahu harus bagaimana. Cukup lama keheningan menyapa. Dari pada suasana menjadi semakin canggung, Rashi memutuskan untuk segera mengakhiri semuanya.
"Kalo gitu, gue langsung balik ke kamar, ya. Sekali lagi Sorry karena gue udah ganggu istirahat lo."
"Nggak kok. Nggak ganggu sama sekali."
"Ya udah kalau gitu, ya. Bye." Rashi berbalik cepat, segera mengambil langkah pergi.
"H-hey!" seru Barra.
Rashi pun menoleh. "Kenapa?"
"Lo kelayaban malem - malem gini, bukan tanpa sebab, kan?"
Pertanyaan Barra, yang membuat Rashi mendapatkan harapan. Rashi mendapat firasat bahwa Barra akan menyambut baik ajakan pertemanannya. Uhm ... atau Barra justru curiga kalau Rashi memang sengaja sedang menata - matainya?
"Sebenernya gue nggak bisa tidur," jawab Rashi jujur. Meskipun ada kejujuran lain yang sengaja tidak diungkapkan demi menjaga rahasia tentang rasa ingin tahunya yang begitu besar pada Barra. Yaitu tentang rasa penasarannya akan Barra. Ia ingin kepo tentang Barra sampai sedalam - dalamnya. Sehingga semua misteri tentang Barra akan terungkap. Rasa penasarannya pun terpuaskan.
"Sebenernya ... gue juga nggak bisa tidur, lho. Mau ngobrol sebentar. Kali aja habis itu jadi bisa tidur."
Senyuman Rashi mengembang seketika. LFirasat baiknya baru saja menjadi kenyataan. Selamat tinggal rasa curiga berlebihan.
***
TBC