Suara tertawa pemirsa dalam sebuah acara komedi dalam televisi menemani obrolan akrab pertama Rashi dan Barra.
"Lain kali jangan terlalu denger omongan orang, lah! Boleh, sih, didengerin. Tapi ambil sisi yang positif, buang sisi yang negatif!" nasihat Barra.
"Iya - iya, Bar. Gue, kan, udah bilang iya tadi. Lo cerewet juga ternyata, ya. Bener - bener, deh." Rashi mulai kesal karena lagi - lagi diomeli Barra akibat diet ketat yang dilakukannya.
Rashi heran sebenarnya. Bahkan mereka baru kenal satu jam lamanya, tapi dengan begitu mudah ia menceritakan segala masalah hidupnya dari A sampai Z pada Barra. Bahkan tak ada keraguan sama sekali ketika Rashi menceritakan setiap detailnya.
Mulai dari hubungan canggungnya dengan keluarga, cerita di balik diet ketatnya, Xavier gebetan kesayangannya yang nyaris sempurna, hingga penyakit hipotiroidisme-nya.
Makanya Barra berakhir memberi Rashi ceramah singkat — sebenarnya tidak singkat juga, sih. Panjang sekali malah dan bisa dikatakan lebih dari satu season sebenarnya.
Ngomong - ngomong tentang sosok Barra, ia ternyata jauh dari dugaan Rashi. Barra yang Rashi bayangkan adalah sosok penyakitan seperti yang digambarkan dalam drama atau n****+ — pendiam dan tertutup. Tidak semangat karena merasa tak punya harapan hidup.
Apalagi Barra tak pernah dijenguk siapa pun. Otomatis beban mentalnya jauh lebih berat. Rashi sempat berpikir Barra itu botak. Tapi tidak. Rambutnya justru tebal dan nampak sehat. Meskipun kulitnya memang pucat dan ia juga kurus, tapi masih dalam taraf wajar, lah.
Andai saja Rashi tak tahu Barra sedang sakit — di luar fakta bahwa pemuda itu menggunakan piyama rumah sakit seperti dirinya — Rashi tak akan menduga bahwa ia seorang pasien. Apalagi Barra tidak pakai infus. Padahal sudah empat tahun ia dirawat di rumah sakit ini.
Perlu dicatat, Barra sama sekali bukan seorang pendiam. Ia sangat banyak bicara — cenderung cerewet, lho.
Barra juga tak setua bayangan Rashi. Sebelumnya Rashi pikir mereka seumuran. Kenyataannya tidak.
Mungkin umur Barra berkisar antara 18 - 20 tahunan, lah Bahkan Lyla — adik pertama Rashi — masih lebih tua dari Barra.
Penyakit apa yang berani - beraninya menggerogoti tubuh seseorang yang masih begitu muda?
Tapi ngomong - ngomong, apa kira - kira penyakit Barra, ya?
Jika tidak botak, berarti bukan kanker atau semacamnya yang membutuhkan kemoterapi. Lalu apa? Rasa penasaran Rashi benar - benar sudah sampai ubun - ubun. Apa jangan - jangan penyakit Barra itu menular, sehingga ia tak pernah dijenguk. Tapi sepertinya tidak kok. Kalau benar itu penyakit menular, pasti Barra diletakkan dalam ruang isolasi dengan alat medis yang lengkap dan banyak.
Rashi ingin sekali bertanya. Tapi entah kenapa mulutnya enggan mengucap. Mungkin nanti saja kalau mereka sudah lebih akrab. Pasti Barra sendiri tak akan mau menjawab jika Rashi bertanya sekarang.
"Lo udah di sini lama banget, apa nggak bosen?" Akhirnya itu yang ditanyakan Rashi.
"Bosen, lah, pasti. Tapi anggep aja enggak. Toh ada smartphone gue ini. Dan ...." Barra beringsut turun ranjang, menyibak tirai yang sedari tadi tertutup. Rashi dibuat luar biasa takjub dengan yang ada di balik tirai itu. Ternyata ada sebuah ruangan rahasia di dalam kamar Barra. Oh, bukan, itu sama sekali bukan tempat isolasi. Melainkan ....
Lukisan - lukisan indah beraliran realisme berjejer rapi. Bila ia tak ingat sedang di rumah sakit, Rashi akan berpikir ruangan ini adalah galeri lukisan dengan seni tingkat tinggi. Mulai dari lukisan pemandangan, bunga, hewan, manusia, suasana perkotaan ... lengkap. Dan semuanya sang at indah.
Seketika Rashi terlonjak dari duduknya, menghampiri Barra yang sedang berdiri di depan salah satu lukisan — sebuah lukisan bayi burung Elang.
"Ini semua lo yang lukis, Bar?" tanya Rashi.
"So pasti, lah.
"Gila, keren banget!" puji Rashi penuh dengan rasa takjub nan kagum. "Udah kayak pelukis profesional aja tauk. Terus apa lo nggak pengen bikin semacam ... pameran?"
Barra tersenyum simpul. "Pameran kedua gue bakal diselenggarakan bulan April nanti di galeri radio Wijang Songko, Shi," jawabnya bangga. "Jadi, gimana rasanya ngobrol sama pelukis handal yang bakal punya nama besar macem Gustave Courbet?"
"Anjir, pede banget lo!" Rashi mencubit lengan Barra saking gedegnya dengan rasa percaya diri tingkat tinggi cowok itu. "Tapi sumpah ini keren!" Rashi memberi jempol dua.
"Thanks."
"No need to say thanks, lah. Lukisan - lukisan lo ini layak banget mendapat apresiasi lebih dari sekadar pujian dari orang awam yang kurang mengerti seni macam gue," puji Rashi sekali lagi. "Tapi tadi katanya, lo nggak boleh keluar sama sekali dari rumah sakit, kan. Terus gimana caranya lo dapetin semua peralatan melukis ini?"
"Banyak suster baik di sini. Sebelum gue minta tolong, mereka udah nawarin diri buat bantu gue. Biasa lah, cewek - cewek pada nggak bisa lihat cowok ganteng dikit. Apalagi gue gantengnya banyak gini."
Rashi mendengkus tak percaya. "Gila lo, Bar! Bener-bener kepedean banget. Kayaknya otak lo butuh dicuci, deh. Biar steril." Barra memang melenceng jauh dari dugaannya. Sangat amat jauh.
Barra tertawa terbahak - bahak mendengar ledekan Rashi.
"Ngomong - ngomong udah jam satu, lho, ini," lanjut Rashi. "Lo nggak tidur, Bar? Gue juga udah mulai ngantuk, nih. Gue balik dulu, ya. Besok gue bakal ke sini lagi, biar lo nggak kangen. Atau kalo lo udah telanjur kangen berat sama gue, langsung aja cus kamar gue. Tuh, Deket kok di seberang doang." Rashi menunjuk arah menuju kamarnya.
Barra tertawa mendengar ucehan Raahi. "Oke, deh. Besok gue gantian nyamperin lo," jawab Barra.
Rashi tersenyum puas. Ia melambaikan tangan, mulai beranjak. Namun lagi - lagi suara Barra menghentikan pergerakannya.
"Sekali lagi makasih."
Rashi menoleh. "Nggak usah lebay, Adek Kecil. Lo udah bilang makasih tiga kali. Udah cukup, Sayang," jawab Rashi diselingi gurauan.
Tapi kali ini Barra tak menanggapi gurauannya. Pemuda itu kembali serius. "Terima kasih karena ... emang awalnya cuman kebetulan, tapi .... Gue tahu ini canggung buat dikatakan dan didenger, tapi lo adalah orang pertama yang jenguk gue."
Rashi tercenung. Kata - kata Barra, entah mengapa membuatnya merasa sedih. Atau lebih tepatnya — ikut merasakan kesepian pemuda itu selama berada di sini — semenjak empat tahun lalu.
Rashi begitu merasa bersalah. Karena niat awalnya datang kemari adalah untuk memuaskan rasa kepo tak terbendung darinya tentang Barra. Tapi Barra justru berterima kasih seperti ini.
Andai saja Barra tahu niat awalnya. Apa Barra masih akan menanggapinya sebaik ini? Namun jangan sampai Barra tahu. Karena hal itu pasti akan sangat menyakiti hatinya. Bisa jadi akan berpengaruh pada kondisi fisiknya juga.
***
TBC