Setelah dilakukan pemeriksaan, Rashi diharuskan rawat inap seminggu. Untung saja, asuransi kesehatan Marlon adalah kelas satu. Yang artinya, satu kamar ia tempati sendiri.
Menurut Rashi, rasanya sangat menyenangkan. Satu lagi impiannya terwujud. Sudah sejak lama ia menginginkan kamar sendiri. Bukan berbagi dengan Lyla.
Ya meskipun sekarang kamar di rumah sana ia tempati sendiri karena Lyla kuliah di luar kota, tetap saja judulnya itu adalah kamarnya bersama Lyla.
Baru kali ini ada orang sebahagia itu mendapat vonis opname. Cara berpikir Rashi memang menyimpang. Kasihan, jiwanya terlalu terguncang.
Sayup-sayup Rashi mendengar dua wanita yang sedang berbincang. Awalnya ia tak terlalu peduli. Tapi lama-kelamaan isi obrolan mereka mencuri perhatian. Rashi seketika kehilangan minat akan ponselnya.
Rashi turun ranjang, berjalan cepat menuju pintu, mendekatkan telinga.
"Sayang banget, ya. Padahal dia ganteng, baik, penurut, tapi ...."
"Tuhan Maha Adil, kok. Pasti rencana-Nya lebih indah."
"Tapi gue tetep berharap dia sembuh. Agar perjuangannya empat tahun ini, nggak sia-sia. Sebagai suster gue bakal kehilangan banget seandainya ... ah, gue nggak sanggup nerusinnya."
"Udah, kita doain aja yang terbaik buat dia."
"Tapi gue harap dia mau lebih terbuka, sih. Gue masih penasaran, kenapa dia nggak pernah ada yang nengok? Bahkan keluarganya."
Tiba-tiba pintu terbuka. Rashi jatuh tersungkur. Seseorang yang hendak masuk—sekaligus seseorang yang membuka pintu secara tiba-tiba—segera menghentikan langkah. Karena tidak ingin menginjak pasien baru—yang entah sedang melakukan apa—di depan pintu.
Rashi cengengesan, tak tahu harus berbuat apa. Ia baru saja tertangkap basah menguping. Rashi ingin marah pada dokter Namira yang seenak jidat membuka pintu. Tapi Rashi sadar, semua dokter bebas keluar masuk kamar pasien yang sedang ditangani.
Dua suster yang tadinya asyik membicarakan si Pasien Misterius di depan pintu, otomatis menghentikan kegiatannya. Saat ini mereka menatap aneh pada Rashi, menghakimi si Tersangka Penguping. Mereka berdua buru-buru pergi setelahnya.
Dokter Namira datang untuk memberi tahu kondisi Rashi lebih lanjut. Rashi duduk di pinggiran ranjang, sembari mendengarkan penjelasan.
"Hipotiroidisme?" Rashi mengulang ucapan dokter Namira.
"Sepertinya kamu sudah familier dengan penyakit itu."
Rashi mengangguk. Memang begitu adanya, karena penyakit itu pernah ada dalam salah satu drama Korea yang pernah Rashi tonton. "Kalo nggak salah, sih, Dok. Itu penyakit gangguan tiroid, yang bikin metabolisme nggak bekerja maksimal, kan?"
"Betul. Gejalanya udah jelas semua. Konstipasi alias sembelit, rambut rontok, cepat lelah, anemia, dan lain-lain. Dan yang paling penting, hipotiroidisme adalah penyebab utama berat badan kamu susah turun, meskipun sudah diet mati-matian dan olah raga."
"Ah, kenapa saya nggak curiga dari dulu, ya?" Rashi memukul kepalanya sendiri. "Padahal di drama Korea 'Oh My Venus', penjelasannya udah jelas. Tokoh utama wanita, punya problem yang sama kayak saya, susah nurunin berat badan."
"Oalah, jadi kamu penggemar drama Korea?"
"Iya, dong! Jangan-jangan Dokter juga, ya?" Rashi seperti menemukan saudara jauh yang sudah lama tidak bertemu.
"Nggak!" Sebuah antiklimaks.
Seketika senyum Rashi menghilang. Padahal ia sudah semangat ingin berbagi koleksi dengan Dokter Namira.
"Terus soal penyakit saya, solusinya gimana, Dok?" Rashi kembali membicarakan penyakitnya. "Apa iya selamanya saya bakal gendut?"
"Tentu enggak, lah. Solusi pasti ada, mulai dari rajin minum obat, sampai laser leher."
"Laser?" Rashi mendelik. "Wah, ngeri juga, ya! Kalo gitu saya minum obat aja, deh. Seinget saya, obatnya rutin diminum pakek air hangat tiap bangun tidur, kan?"
"Weis, kamu beneran pinter ternyata. Seneng banget saya kalo semua pasien pinter kayak kamu. Jadi, saya nggak perlu banyak jelasin." Dokter Namira cengengesan. "Minumnya yang rutin! Jangan sampai lupa, biar kelenjar tiroid kamu cepet normal, dan metabolisme kamu jadi bagus!"
"Pasti, lah, Dok. Apa pun bakal saya lakuin, asal bisa kurus."
"Dan inget, jangan diet berlebihan lagi! Gara-gara diet konyol, kamu jadi opname begini."
Rashi tertawa. Tak mungkin ia menjawab jujur, sesungguhnya ia sangat bahagia karena diopname, kan?
"Tapi ngomong-ngomong, hehe." Rashi ketawa-ketiwi. "Saya boleh tanya sesuatu nggak, Dok?"
"Tanya apa?"
"Uhm ...." Rashi bingung menjelaskan. "Itu lho, Dok. Saya, kan, denger pembicaraan dua suster tadi. Mereka ngomongin seorang pasien. Kisahnya pilu banget. Saya jadi penasaran. Emangnya dia siapa, sih, Dok?"
"Hmh, sudah saya duga!" Dokter Namira mendengkus. "Kebiasaan daun muda zaman sekarang, suka kepo!"
"Please, Dok, kasih tahu saya!"
"Namanya Barra," jawab Dokter Namira.
Senyuman Rashi mengembang. 'Oh, jadi namnya Barra. Duh, kira-kira gimana orangnya, ya?'
"Dia beneran udah empat tahun di sini?" Rashi memastikan.
Dokter Namira mengangguk.
"Dan beneran nggak pernah ada yang nengok, termasuk keluarganya?" lanjut Rashi.
Dokter Namira mengangguk lagi.
Dan kekepoan Rashi berubah menjadi simpati. "Emangnya dia sakit apa, Dok?"
Dokter Namira berdecak. "Kepo kamu kok nggak ketulungan gini! Bukannya saya nggak mau kasih tahu, tapi memang nggak boleh. Karena melanggar aturan, Sayang."
Rashi cemberut. Padahal ia sangat penasaran. Apa Barra menderita penyakit menular yang sangat parah, sehingga tak ada yang berani menjenguknya?
"Gini aja. Oke, saya ngerti Dokter, karena itu emang prosedur. Tapi, kalo saya mau jenguk dia boleh, kan?" tanya Rashi lagi.
Dokter Namira membulatkan mata mendengar pertanyaan Rashi. "Beneran kamu mau jenguk dia?"
"Beneran, lah," jawab Rashi mantap.
***
Rashi hampir mati bosan karena tak bisa tidur. Rencananya malam ini ia akan melancarkan niat menelepon Ayah dan Bunda perihal alasannya kabur. Sayang, rencana itu belum terealisasi karena kendala yang disebut krisis keberanian. Dan mirisnya tak ada satu pun anggota keluarga yang menghubunginya.
Normalnya, bila ada anggota keluarga yang tiba-tiba menghilang, anggota keluarga yang lain langsung bingung mencari. Atau sebelum bertindak lebih lanjut, setidaknya salah satu dari mereka menelepon, atau paling tidak mengirim SMS pada yang bersangkutan.
Atau jangan-jangan Rashi sudah tidak dianggap keluarga, makanya ia tak pernah diperhatikan.
Rashi menggeleng-geleng, berusaha menyingkirkan pikiran negatif. Ayah dan Bunda pasti belum tahu Rashi menghilang. Mereka masih sibuk mengurus Dio. Dan si menyebalkan Romi, terlalu sibuk dengan serangkaian game dan t***k bengeknya.
Selain pikiran tentang keluarga, Rashi juga memikirkan tentang penyakitnya. Hipotiroidisme. Padahal ini adalah penyakit yang cukup serius, yang memicu penyakit parah lain jika tidak segera diobati. Tapi Rashi baru tahu sekarang. Jika saja ia tahu lebih awal, pasti penyakit itu akan lebih cepat terobati. Dan ia tidak harus berlama-lama menjadi gendut.
Ia akan lebih percaya diri. Ia bisa mendapatkan cinta dari gebetan-gebetan high class-nya di masa lalu dengan mudah.
Kira-kira bagaimana jika Ayah dan Bunda tahu tentang penyakit ini? Apa mereka akan peduli? Atau hanya cuek seperti biasanya?
Astaga, memikirkannya saja d**a Rashi sesak. Tidak. Rashi tidak boleh menangis lagi.
Nasib Rashi memang malang. Sudah jadi anak sulung, kurang perhatian, gendut, dan yang paling mengenaskan ... ia jomblo.
Adakah di dunia ini orang yang lebih menyedihkan dibanding dirinya?
Tiba-tiba Rashi teringat sesuatu. Bisa jadi ini adalah teguran halus dari Tuhan karena lagi-lagi Rashi terlalu banyak mengeluh dan tidak bersyukur.
Barra.
Si pencuri perhatian dengan kisah pilunya. Astaga! Dilihat dari sisi mana pun, Barra pasti jauh lebih menderita dibanding dirinya.
Kira-kira bagaimana wujud Barra sekarang? Apakah ia sangat kurus? Apa kepalanya botak? Apa ia sering murung dan penyendiri?
Kira-kira bagaimana tanggapannya nanti jika Rashi menjenguknya? Apa ia akan marah? Atau lebih parah lagi, apa ia akan mengusir Rashi?
Rashi melihat jam di ponselnya. Sudah jam 11 malam. Rashi berpikir keras.
Pantaskah ia menjenguk Barra sekarang? Sepi sekali di luar. Waktunya semua orang tertidur, termasuk Barra. Apalagi ia sepertinya sakit parah. Jadi perlu waktu istirahat lebih banyak.
Berlawanan dengan isi pikiran. Rupanya rasa penasaran Rashi mengalahkan segalanya. Bahkan saat ini Rashi sudah bangkit dari ranjangnya. Berusaha memakai sandal jepit kekecilan yang dibawakan Melody dan Yulia.
Dengan cepat ia turun dan mulai melangkah keluar kamar. Matanya fokus menatap kamar di seberang, kamar nomor 407, kamar di mana Barra—si Pasien Misterius—berada.
***
TBC