Beringin Angker

1311 Kata
Rashi mengusap sisa liur alias iler yang mengering di sudut bibirnya. Salah satu kebiasaan tidur Rashi, bawaan lahir yang tak bisa hilang. Tapi kata orang, ngiler itu sehat. Terbukti. Rashi, kan, memang sangat sehat. Keluar dari toilet, Rashi menguap lebar sekali, mengusap-usap perutnya yang lega karena baru saja buang air besar. Sebenernya Rashi lega karena semakin tua umurnya, ia jadi makin jarang sembelit. Tidak seperti dahulu kala, saat BAB tidak setiap hari. Membuatnya semakin rawan terancam obesitas. Kelegaan tak berlangsung lama. Rashi tiba-tiba berteriak dengan sangat keras. Matanya melotot pada sesosok makhluk yang duduk manis di atas brankar kamarnya. "Hai!" sapa sosok itu seraya tersenyum ramah dan melambai kecil. Tidak. Bukan hantu kok. Hanya manusia biasa yang mirip hantu. "BARRAAAAA!" teriak Rashi sebagai pelampiasan rasa terkejut juga kesal. Kemarin Barra memang sepakat akan gantian menjenguknya. Tapi tidak sepagi ini juga, kan? Parahnya Rashi baru bangun tidur. Ia sangat berantakan. Ia bahkan belum mandi. Belum ganti baju juga. Pasti piyamanya bau iler. "You look amazing!" Barra malah bermain sarkasme. Rashi mendengkus. Ia menyeret kursi plastik ke depan pintu kamar mandi untuk duduk. Ia tidak mau dekat-dekat Barra selama masih memakai piyama ini. Meskipun Barra lebih muda, tapi tetap saja ia seorang laki-laki. Rashi harus menjaga reputasinya sebagai wanita. Tak ingin Barra mencium bau badan khas baru bangun tidur ditambah bau Iker. "Kenapa duduk sana?" "Gue belum mandi." Rashi jujur. "Ya sama." "Kalo gitu ngapain ke sini? Astaga! Demi kitab suci Tong Sam Chong, ini masih jam lima!" "Terserah gue dong." Huff, repot memang bicara dengan anak kecil. Rashi memutuskan untuk mencari kegiatan lain. Ia mengambil ponsel di saku, men-scroll daftar nomor. Sampai menemukan kontak yang dicarinya. "Lo ngapain?" tanya Barra. Rashi mencebik. "Gue masih bingung gimana cara ngomong ke Ayah Bunda." "Langsung ngomong terus terang aja! Seperti rencana lo dari awal." Barra benar. Tapi hal itu tak semudah kelihatannya. Butuh keberanian besar. Sekadar informasi, sampai detik ini, tetap belum ada anggota keluarga yang menghubungi Rashi. Mereka tetap belum menyadari Rashi hilang. Keterlaluan sekali, bukan? Keluarga macam apa mereka itu? "Ntar gue coba lagi deh," jawab Rashi akhirnya. Barra mengamati raut Rashi. Meskipun wanita itu terlihat sedikit urakan dan cukup kuat, tapi ekspresi mata tak bisa bohong. Sepasang mata bulat dengan pupil kecoklatan itu menyiratkan perasaan yang sebenarnya. Barra berinisiatif melakukan sesuatu. Siapa tahu ia dapat membantu mengurangi kegalauan Rashi. "Lo takut hantu apa nggak?" "Hantu? Justru hantu kali yang takut sama gue." "Kok gitu?" Barra kebingungan. "Iya lah, gue lebih serem ini!" Barra terbahak cukup keras. Pernyataan Rashi memang benar adanya. Sepertinya. Kalau boleh Barra jujur, Rashi mempunyai aura misterius tersendiri. Ia menyeramkan seperti hantu, tapi di saat yang bersamaan juga cantik dan menarik. "Tapi kenapa lo tanya gitu?" giliran Rashi yang bingung. "Di belakang rumah sakit ini ada pohon beringin besar yang konon katanya dikeramatkan. Gue pernah lihat sekali, pohonnya emang gede dan serem. Padahal gue lihatnya pas siang, tapi aura horornya tetep kentara." "Beneran?" "Kenapa? Lo takut?" "Nggak, lah. Justru gue penasaran." Barra turun dari ranjang Rashi. "Jadi apa lo berani gue ajak ke sana?" "Siapa takut!" *** Mereka berjalan beriringan, dengan Rashi yang masih bersikeras menjaga jarak dengan Barra. Ia benar-benar tak mau bau badan dan bau iler khas orang baru bangun tidurnya tercium Barra. Perlu diingat, Rashi adalah tipe wanita yang luar biasa jaga image alias jaim. Untungnya Barra santai saja dengan kelakuan aneh tapi nyata gadis itu. Pohon beringin raksasa itu berdiri kokoh di hadapan mereka. Akar-akarnya menjuntai panjang. Daun-daunnya rimbun dan tebal. Suasana pagi yang masih agak gelap, membuat aura horornya semakin kental. Sayangnya, baik Barra ataupun Rashi, tak takut sama sekali. Anak muda zaman sekarang tak lagi takut hantu. Mereka lebih takut saat kehabisan kuota. Atau saat HP disita Emak. Barra mulai menjelaskan. "Gue denger satu daun dari pohon ini dihuni tujuh jin penunggu. Sementara di pohon itu ada miliaran daun. Kebayang, kan, berapa triliun jumlah jin yang ngehuni pohon gede ini." "Lo tahu, Bar?" "Tahu apa?" "Sekarang lo udah mirip asistennya Mister Tukul. Serius, gue nggak bohong." Rashi bukan asal jeplak, ia serius dengan perkataannya. Barra tercengang dengan bibir terbuka cukup lebar. Ia pikir Rashi akan membicarakan apa. "Padahal gue cuman ngomong apa yang gue tahu. Eh, malah lo ledekin begitu. Kan apa yang gue bilang bisa Lo jadiin bekal biar Lo lebih ati-ati, nggak seenaknya sendiri pas lagi di sini. Kalau nggak mau sawan sama semua penghuni pohon ini." Rashi tertawa. "Ya, sorry. Tapi tadi lo bilang baru ke sini sekali. Berarti baru dua kali ini, kan? Padahal lo udah empat tahun menetap di rumah sakit. Agak aneh nggak, sih?" "Nggak juga. Ngapain gue sering-sering ke tempat angker? Sendirian pula! Ntar dikira lagi cari pesugihan." Rashi tertawa keras sekali lagi. "Buset, bener juga lo!" Rashi mengarahkan kamera ponsel untuk memotret pohon besar itu dari beberapa angle. Ia juga mengambil beberapa selfie. Ia bahkan minta tolong pada untuk memfotokan dirinya berlatar pohon beringin raksasa. Wanita itu kegirangan melihat foto-foto hasil jepretan Barra yang menurutnya sangat bagus. Barra ternyata pandai mengambil angle yang tepat. Rashi terlihat kurus dalam semua foto yang diambilnya. Rashi memilih beberapa foto untuk diunggah ke i********:. Wanita itu tersenyum puas dengan puluhan like yang ia dapat hanya dalam beberapa detik setelah foto diunggah. "Dari tadi gue deketin nggak mau. Tapi fotonya—yang orangnya belum mandi—malah disebarin ke seluruh dunia!" ledek Barra. "Yang kelihatan di i********:, kan, cuman muka gue yang kece badai ini, Bar. Bau badan, mah, nggak kecium kali!" Rashi beralibi. Barra memutar bola matanya kesal. Lama-lama jengah juga dengan tingkat percaya diri berlebih yang dimiliki si Teman Baru. "Oh iya, apa username i********: lo, Bar? Sini biar gue follow." "Gue nggak punya." "Halah, nggak usah malu! Gue nggak bakal ngeledek selfie-selfie alay lo, kok. Paling cuman gue ketawain," kikik Rashi. Menyenangkan rasanya menggoda anak kecil. "Lagian lo, tuh, seharusnya bersyukur karena gue mau follow duluan. Banyak, lho, yang minta gue folback, tapi gue kacangin. Gue lumayan populer di dunia maya, asal lo tahu aja." "Ya ... ya ..., Miss Populer yang nge-hits! Makasih udah bersedia follow gue duluan. Tapi serius, gue nggak punya i********:, Rashi." "Apa? Hari gini?" Rashi tak percaya. Ia meraba saku d**a piyama Barra. Juga meraba kedua saku celana pemuda itu. Rashi bahkan sampai memutar tubuh kurus Barra, untuk menemukan sesuatu yang dicarinya. Rashi terlalu fokus pada tujuan, sampai tak menghiraukan wajah Barra yang sudah merah padam karena aksi meraba-raba itu. Apa-apaan sih Rashi ini. Seenaknya saja melakukan hal tak senonoh pada Barra seperti ini. Mana pasang tampang tanpa dosa begitu. "Di mana?" "A-apanya yang di mana?" Barra tergagap, berusaha menyembunyikan mukanya yang masih terasa panas. "HP lo." "Di kamar. Nggak gue bawa." Rashi akhirnya menghentikan aksi meraba-rabanya. Sial. Ternyata Barra tidak membawa ponsel. "Tapi ... serius lo nggak punya i********:, Bar? Tahun 2020, lho, ini!" "Serius, Rashi. Gue nggak punya medsos apa pun." Rashi semakin tak percaya. "f*******:? Twitter? Path?" Dengan sangat menyesal, Barra kembali menggeleng. Rashi melotot. Ia benar-benar heran. Bagaimana seorang manusia yang hidup di zaman semodern ini, tidak mempunyai media sosial apa pun? Melihat Rashi yang melotot lebar, Barra jadi takut sendiri. Karena kadar keseraman wanita itu bertambah beberapa kali lipat, hanya karena tahu dirinya tidak memiliki media sosial. Barra takut, jangan-jangan Rashi sedang kesurupan penunggu pohon beringin. "Ya ampun, Bar, gadget lo bahkan lebih canggih dari punya gue. Jauh lebih mahal dari punya gue. Tapi ... gimana bisa lo nggak punya ...." "Gue nggak suka main medsos. Gue cuman pasang w*****p. Selebihnya, HP gue penuh dengan aplikasi game." "Aish ... nggak bisa gitu, dong! Sekali-kali lo harus coba main i********:. Sumpah, eksis di sosmed itu menghibur banget! Apalagi kalo udah mulai banyak yang nge-like foto lo, mulai banyak yang komentar. Wuuuh, seneng banget pokoknya!" Rashi tak menyerah membujuk Barra. "Nggak. Medos bukan gaya gue," jawab Barra. Pemuda itu heran sebenarnya. Secara fisik Rashi terlihat sudah dewasa, tapi kecintaannya pada dunia maya ... masih mirip anak ABG. Harusnya gadis muda seumuran Rashi sudah sedikit hilang gandrungnya terhadap media sosial kan. Ck ck ck. Mendadak Rashi tertegun pada layar ponsel. Melihat perubahan tiba-tiba wanita itu, Barra berusaha mencari tahu sebabnya. Rupanya, Rashi senang mendapat panggilan masuk—dari Bunda. "Kenapa nggak diangkat?" Rashi menggeleng. Ia seperti sudah kehilangan mood. "Balik, yuk, Bar!" Barra berusaha mengerti. Ia pun menurut. Tak mau menghakimi apa pun sikap Rashi, karena tak mau salah mengira dan menghakimi tak tepat sasaran. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN