Dea
Aku menengok kanan kiri menatap ke seluruh penjuru cafe untuk mencari keberadaan Mas Danish saat ini. Gara-gara listrik perpustakaan konslet dari tadi pagi, akhirnya kami mengubah tempat untuk ‘janjian’ bahas skripsiku.
“ Oh itu.”
Aku berlari kecil menuju sudut cafe dekat jendela besar tempat Mas Danish berada saat ini.
“ Maaf mas, udah lama datangnya?” Sapaku sambil melirik arlojiku dan menghembuskan napas lega karena aku belum telat. Mas Danish aja yang datang lebih awal. Dia tadi bilang ada urusan di cafe ini makanya cafe ini jadi alternatif setelah tahu ada pengumuman kalau listrik perpustakaan sedang padam.
“ Hm.” Jawabnya tanpa menoleh kearahku. Tangannya masih bergerak lincah di keyboard laptopnya. Entah apa yang sedang dia ketik sampai mukanya super serius begitu.
Hening.
Aku bingung mulai dari mana. Ya gimana enggak, Mas Danish masih fokus sama laptopnya. Dia bahkan belum melirikku sedikitpun. Akhirnya aku berinisiatif untuk mengeluarkan laptop dan jurnal-jurnal yang aku bawa.
“ Mau tanya apa?”
“ Ya?”
Mas Danish menutup laptopnya kemudian menatapku. Mataku otomatis mengerjap mengagumi wajah super bening di depanku. Sumpah ya, ini pertama kalinya kami saling bertatapan dalam hening.
“ Melamun?”
“ Eh?”
Mas Danish menyandarkan badannya di kursi menghembuskan napas berat. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.
“ Kayanya hari ini nggak pas ya mas?” Aku bertanya tak enak hati. Dia tampak lelah dan aku dapat melihat samar kantong matanya.
“ Kenapa memang?”
“ Kayaknya Mas Danish lagi banyak pikiran.”
“ Sedikit.”
“ Apa ditunda?”
“ Nggak sayang sudah sampai sini?”
“ Nggak enak.”
Mas Danish tersenyum tipis. Tipis sekali, nyaris tak terlihat.
“ Minggu depan saya wisuda.”
“ Selamat, kalau gitu.” Jawabku sekenanya.
“ Kamu masih belum paham juga?”
“ Maksudnya?”
“ Wisuda saya hari rabu, kemungkinan hari itu saya langsung pulang ke Jakarta. Setelah hari ini sampai hari rabu jadwal saya penuh. Jadi masih mau menunda?”
“ Emang nggak balik ke Jogja lagi?”
“ Memangnya kalau saya balik ke Jogja, kamu mau ngajak saya ketemu bahas skripsimu lagi?”
“ Ya enggak sih.” Aku meringis.
“ Jadi?”
“ Beneran nggak papa hari ini?”
Mas Danish tak menjawab malah mengambil salah satu jurnalku kemudian membacanya sesaat.
“ Point 4.2 halaman 9.” Ucapku ketika Mas Danish mulai membuka lembar demi lembar.
“ Oh bagian ini—“
Seseorang mendekat membuat Mas Danish menghentikan kalimatnya.
“ Oh jadi disini rupanya.” Aku menoleh ketika ada perempuan tinggi semampai berdiri diantara kami berdua. Sebentar, kaya nggak asing sama wajahnya.
“ Jadi kalian ini beneran pacaran atau cuma bohong waktu itu?” Mataku menyipit.
Waktu itu? Maksudnya?
“ Kamu wanita ‘kumal’ yang di konter itu kan?”
Kumal? Atagaaa! Iya bener, ini wanita yang waktu itu ngatain aku kumal. Aku melirik ke arah Mas Danish yang tampak santai. Aku harus gimana? Masih harus pura-pura apa dia udah jujur sama perempuan ini?
“ Dan! Please lah. Aku akan berubah demi kamu. Kita balikan ya?”
“ Balikan? Kita bahkan nggak pernah pacaran. Dan kamu bisa lihat sendiri, sudah ada dia di sampingku.” Bukannya kaget, aku justru mau ketawa. Mas Danish ini bener-bener pintar mengatur ekspresi.
“ I love you Dan....”
“ But I love her, El.”
Sedikit lagi tawaku meledak andai aku tak menahannya lebih kuat. Ketika mataku dan Mas Danish bertemu, dia memberi tatapan persis seperti waktu itu. Ya, dia jelas sedang meminta bantuanku.
“ Mbak Elsa...” Aku berdiri. Sialan, tinggiku cuma sampai matanya.
“ Apa?!”
“ Coba sekarang misal nih ya, Mbak Elsa punya pacar. Terus tiba-tiba ada perempuan yang maksa pengen jadi pacarnya pacar Mbak Elsa. Kira-kira Mbak Elsa gimana reaksinya?”
“ Aku jambak lah rambutnya. Berani-beraninya kaya gitu.”
“ On point! Jadi Mbak Elsa paham bener dong saat ini saya sedang menahan untuk nggak menjambak rambut Mbak Elsa yang halus ini?”
Perempuan itu melotot.
“ Kamu!”
“ Tuh liat mbak, nggak malu apa dilihatin orang-orang?” Perempuan itu menatap ke sekeliling dan ekpresi wajahnya mulai tak karuan.
“ Tapi aku nggak pernah tuh liat kalian jalan bareng. Lebih sering liat kamu sendirian.” Perempuan itu menatap Mas Danish dengan mata menyipit.
“ Memangnya kalau pacaran harus sering jalan bareng?” Tanya Mas Danish.
“ Kita pacarannya belajar bareng mbak.” Timpalku.
Bukannya pergi, perempuan itu malah menarik kursi di sebelahku. Mungkin dia malu karena menjadi pusat perhatian.
“ Namamu siapa?” Tanyanya sambil menatapku dari atas sampai bawah persis seperti waktu itu.
“ Saya harus menjawab?” tanyaku balik.
“ Menurut situ?”
Aku baru akan menjawab ketika tiba tiba Mas Danish membanting jurnalku ke atas meja. Praktis aku terlonjak kaget begitupun perempuan di sampingku. Siapa tadi? Mbak Elsa ya?
“ Kita pergi dari sini.” Mataku melebar ketika Mas Danish menarik tanganku dan membawaku keluar dari cafe.
“ Dan! Danish!” Mas Danish tak sedikitpun menoleh dan terus membawaku menjauh dari cafe itu.
***
“ Saya minta maaf.” Kalimat itu keluar dari mulut Mas Danish begitu kami duduk berhadapan di salah satu gazebo fakultas. Suasana jadi agak canggung setelah acara gandengan tangan barusan. Apalagi ada kenalan Mas Danish yang memergoki kami. Untung sih, nggak ada temenku yang lihat. Bisa gawat kalau sampai ada yang lihat.
“ Nggak papa.” Aku meringis.
Hening.
“ Mas, kayaknya konsentrasi saya sudah buyar. Mau diterangkan juga percuma.” Ucapku lirih sambil meringis. Aku orangnya emang gitu, kalau udah nggak konsen, percuma mau belajar berapa jampun nggak ada yang nyantol.
“ Jadi?”
“ Mungkin belum rejeki saya aja kali ya, bisa belajar sama Mas Danish.” Aku meringis dan Mas Danish malah tersenyum. Duh, gantengnya jodoh orang... eh!
“ Nggak jadi belajar nih?”Aku menggeleng.
“ Percuma kalau saya lagi nggak konsen. Capek doang.”
“ Ya udah, kamu boleh tanya lewat whatsapp.”
“ Serius?”
“ Kenapa kaget? Bukannya minta belajar kaya sekarang juga lewat w******p?”
“ Ya beda. Kalau ketemu kaya gini, dalam sekali ketemu saya bisa tanya banyak hal dan tanya jawabnya langsung jadi bisa lebih paham juga. Kalau lewat w******p sayanya yang nggak enak, kan jadi saya ini kaya ganggu terus gitu.” Aku menggaruk tengkukku sambil meringis.
“ Kalau lagi nggak ada acara, saya usahakan jawab. Saya paham kok, tidak banyak yang ambil analisis, jadi tidak banyak juga yang bisa kamu tanya-tanya.”
Aku mengangguk setuju. Mas Danish benar, mahasiswa yang mau ambil peminatan analisis sangat sedikit.
“ Makasih banyak mas, sudah mau meluangkan waktunya buat saya. He...”
“ Terimakasih juga sudah membantu saya tadi.”
“ Sama-sama mas. Kayaknya dia suka banget sama Mas Danish sampai segitunnya.”
Mas Danish hanya mengedikkan bahu tak peduli.
“ Padahal mbaknya cantik banget loh mas.”
“ Cantik bukan ukuran untuk balas menyukai seseorang.”
“ Iya sih.”
Aku mengambil jurnal yang tergeletak di meja gazebo kemudian memasukkannya ke dalam tas.
“ Kalau gitu saya duluan ya mas...”
“ Ya...”
Aku menghela napas berat sambil melangkah menjauh dari tempat kami duduk. Selalu ada saja halangan kalau aku mau tanya-tanya tentang tema skripsi. Apa iya, aku pindah peminatan? Andai aku pindah haluan jadi aljabar sekalipun, tidak ada masalah karena matakuliah pilihan aljabarku mencukupi. Entahlah, rasannya berat sekali. Belum lagi sebentar lagi ujian akhir semester terus habis itu KKN. Hm...
***
Satu minggu kemudian...
Aku berjalan sendirian sambil menenteng beberapa kado untuk kakak tingkat yang hari ini wisuda. Aku menatap iri kearah mereka para kakak tingkat yang memakai toga dan bersua bersama keluarga mereka. Ada yang sibuk foto-foto, ada yang sibuk ngobrol, ada juga yang sibuk bikin boomerang i********:. Untuk beberapa orang, moment wisuda memang menjadi moment yang tak terlupakan.
“ De...!” Fia memanggilku. “Mau ngasih kado ke siapa aja?” Tanyanya begitu melihat bawaanku cukup banyak.
“ Teman asistensi, sama beberapa kenalan Fi.”
“ Oh gitu. Aku mau ke fakultas sebelah ya De. Rinda sama Juni tadi aku lihat mereka ada di dekat gerbang sama entah siapa, terus kalau Lia aku belum liat.”
“ Iya, aku sendiri nggak papa. Lagian momen wisuda begini pasti orang yang mau kita temui beda-beda.”
“ Yak, tuuul. Aku duluan ya.”
“ Okeee.”
Setelah Fia pergi, aku menghampiri beberapa kenalanku kemudian mengucapkan selamat. Aku sengaja membawa buket bunga lebih banyak, buat jaga-jaga kalau ada yang kelupaan belum aku belikan kado.
Duk!
Aku terhuyung kedepan ketika seseorang tiba-tiba menyenggol pundakku.
“ Eh maaf-maaf mbak. Saya nggak lihat.” Seorang gadis cantik berkacamata membungkuk sejenak kemudian menatapku nggak enak hati.
“ Nggak papa kok. Lain kali lebih hati-hati ya, apalagi kondisi ramai kaya gini.” Balasku sambil tersenyum.
“ Iya mbak, sekali lagi saya minta maaf. Ini memang rame banget. Mana saya lagi cari keluarga saya. Tadi cari kamar mandi muter-muter malah nggak ingat jalan baliknya.”
“ Loh? Emang keluarga kamu dimana?”
“ Tadi sih di sekitar sini. Tapi nggak ada. Apa saya yang salah ya?”
“ Saudara ada yang wisuda?”
“ Iya, kakak saya wisuda hari ini. Anak S2.”
“ Wah, saya nggak punya banyak kenalan anak S2 mbak.” Aku meringis.
“ Saya masih semester 2 mbak. Jangan pangil ‘mbak’ ke saya. Kelihatannya kita satu angkatan, atau mungkin malah mbak ini angkatan atas saya pas.” Balasnya, juga sambil meringis.
“ Saya semester enam.”
“ Oh ya?! Semester enam? Wah, asli nggak keliatan sama sekali.” Aku hanya tertawa kecil menaggapi.
“ Kalau gitu berarti panggil ‘dek’ ya?” Dia tertawa sambil mengangguk kemudian mengulurkan tangan.
“ Kenalin mbak, saya Vina.”
“ Dea.” Aku membalas uluran tangannya.
Kami tersenyum setelah berkenalan.
“ Vina! Kemana aja malah ngilang?” Seseorang menggunakan toga mendekat ke arah kami.
“ Mas Danish!” Perempuan itu langsung memeluk--- Mas Danish?
Wah, iya ya? Mas Danish hari ini wisuda.
“ Udah ditunggu papa sama mama. Lama banget ngapain aja di kamar mandi? Semedi?!” Mas Danish menyentil dahi perempuan itu tepat di depanku. Sumpah deh, Mas Danish pake toga adalah perpaduan yang waow!
“ Salah siapa kamar mandinya jauh.” Balas perempuan itu sambil mengusap dahi.
“ Loh... Dea?” Mas Danish menyadari keberadaanku.
“ Eh iya mas. Happy graduation ya mas! Hehe.” Aku mengambil salah satu kado dan memberinya satu.
“ Wah, makasih sudah repot.”
Aku cuma nyengir. Padahal aku asal ambil kado. Untungnya juga, aku beli kado yang seragam. Serius ya, aku lupa beneran kalau hari ini Mas Danish wisuda. Padahal minggu lalu dia jelas-jelas bilang.
“ Mas Danish kenal sama Mbak Dea?”
“ Adik tingkatku.”
“ Wah kebetulan banget. Dia kakak yang saya maksud mbak...”
“ Ohhh, ternyata.” Aku hanya ber-oh ria sambil mengangguk mengerti. Bingung juga harus bereaksi gimana.
Mas Danish menatap bingung kearahku. Mungkin dia heran adiknya kenal denganku. Padahal kenalan juga barusan.
“ Ayo dek, papa sama mama udah nunggu.”
“ Iya, mas.”
“ Duluan ya De, makasih.” Aku tersenyum sambil mengangguk.
“Sama-sama.”
“ Duluan ya mbak...” Perempuan itu, maksudku adiknya Mas Danish, melambaikan tangan padaku.
“ Iya...”
Aku menatap iri ke arah mereka berdua. Pasti seneng banget punya kakak, apalagi kakak laki-laki. Aku yang anak tunggal bisa apa? Hm~
“ Deaaa!” Tiba-tiba seseorang memanggilku dan membuatku praktis menoleh.
“ Mas Reyhan?!”
Senyumku langsung mengembang begitu laki-laki itu mendekat kearahku lengkap dengan toga di badannya.
“ Happy graduation mas!”
Karena saking semangatnya, aku tak sadar jika ada yang memperhatikanku dari jarak jauh.
.
.
***