Dea
“ De, kamu kok nggak pernah cerita ke ibuk kalau punya teman namanya Danish?” Kunyahanku berheti begitu mendengar pertanyaan Ibu.
“ Da..Danish? Emang temeku nggak ada yang namanya Danish kok bu.”
“ Tapi dia bilang namanya Danish loh. Yang nganterin kamu pulang tadi. Anaknya tinggi, hidungnya mancung. Ganteng lah kalau menurut ibu.” Ibu mengambil piringku yang kosong dan memberiku satu gelas air putih.
“ Makasih Bu.”
Aku diam sejenak. Setelah mencoba mengingat kejadian tadi, mataku langsung terbelalak kaget.
“ Pake jaket marun nggak bu? Tadi aku langsung ngerasa gelap nggak ingat apa-apa. Selalu gitu bu, kalau lagi kumat.”
“ Iya, bener. Jaket marun sama tas ransel hitam.”
“ Dia yang nganterin aku pulang, bu?”
“ Iya. Ibu juga kaget kamu pulang diantar laki-laki. Ternyata kamu udah nggak karuan kondisinya.”
“ Dia bilang apa aja bu?”
“ Nggak banyak sih. Cuma bilang kalau kamu tiba-tiba aja mau ambruk terus dia antar kamu pulang. Emang dia siapa kalau bukan teman kamu?”
“ Kakak tingkat aku bu,”
“ Oh iya ding, ibu baru ingat. Dia juga bilang gitu. Makanya Ayah kamu sampai ngira kalau dia itu yang namanya Reyhan. Eh ternyata bukan.”
“ Bukan bu. Dia bahkan baru kenal Dea satu bulanan ini.”
“ Loh?”
“ Pokoknya gitu bu.” Aku nyengir sementara ibu hanya geleng-geleng.
“ Habisin minumnya terus kamu istirahat lagi. Ibu paling susah kalau lihat kamu sakit.” Aku tersenyum dan mengangguk.
Setelah Ibu keluar dari kamarku, bukannya berbaring aku malah memperbaiki posisi dudukku kemudian meraih handphone yang sedari tadi dicarger. Hatiku langsung terasa ingin meledak begitu membaca pesan whatsaap dari nomor yang bahkan belum sempat aku simpan.
08574218xxx
Dea
Kamu baik-baik saja kan?
Demi apa Mas Danish wa aku nanyain kabar? Aku ngimpi apa gimana ini? Ini beneran yang tadi nganterin aku Mas Danish? Setalah perdebatan kecil karena dia menuduhku penguntit?
Me
Terimakasih banyak mas, hehe
Aku baik baik saja
Read. Dia online! Typing! Hah?!
08574218xxx
Syukrlah
Bales nggak? Bales nggak?
Me
Sekali lagi terimaksih banyk... he
Read. Tidak ada balasan lagi. Aku mendesah lega. Lebih baik seperti ini daripada dia membalas lagi pesanku.
***
Keesokan harinya...
Aku berjalan pelan melewati lorong fakultas dan naik tangga sambil sesekali melamun. Padahal melamun apa juga nggak jelas. Aku hanya merasa kurang enak badan hari ini. Awalnya aku ingin tidak berangkat kuliah, tapi urung karena hari ini ada jadwal presentasi individu. Aku nggak mungkin melewatkan kuliah ini atau dosen akan langsung memberiku nilai D sesuai kesepakatan jika tak berangkat ketika jatah presentasi.
“ Deaaa! Lihat rambut baruku. Cocok nggak?” Tiba-tiba Rinda udah berdiri di depanku sambil mengibaskan rambut.
“ Hah?”
“ Kok hah doang sih? Kamu ngelamun ya?”
“ Enggak.”
“ Wajah kamu pucet De.”
“ Aku agak nggak enak badan, tapi hari ini ada presentasi.”
“ Oh hari ini jadwal kamu ya? Aku masih dua pertemuan berikutnya. Yah Dea, kok aku jadi nggak tega liat kamu lemes gini.”
“ Aku kurang istirahat aja, kali.”
“ Ntar habis selesai presentasi, kamu pulang aja. Kuliah sore aku ijinin deh.”
“ Makasih Rin.”
“ Yoi.”
Aku membuka materi presentasi sambil menunggu Bu Arin datang. Rinda sesekali menoleh ke arahku memastikan kalau aku baik-baik saja.
“ Kamu yakin nggak izin aja? Bu Arin pasti ngerti lah.”
“ Nanti aku dapet nilai D Rin, padahal aku udah ngerjain materi ini dengan serius supaya minimal aku bisa dapet nilai B. Kamu tahu sendiri Bu Arin pelitnya kaya apa kalau masalah nilai.”
“ Iya juga sih. Aku aja ngulang mata kuliah Bu Arin semster lalu. Yah, yang sabar ya De.” Aku mengangguk lesu. Badanku mulai panas dingin ketika Bu Arin mulai masuk kelas. Bukan karena aku grogi, tapi rasanya aku udah nggak kuat lagi.
“ Hari ini ada enam orang yang presentasi. Silahkan dimulai sambil kalian absen dan ---” Suara Bu Arin mulai samar tak terdengar karena kepalaku begitu pening.
“ Bu! Dea Pingsan!”
Semua berubah gelap setelah mendengar teriakan Rinda di sampingku. Sepertinya aku harus pasrah jika memang harus dapat nilai D.
***
Danish
Aku menegak air mineral yang barusan aku beli di kantin fakultas dengan rakus. Rasanya puas sekali. Gara-gara berlari mengejar Prof Ari untuk menyerahkan berkas asistensi yang beliau minta sebelum pergi ke luar kota, aku jadi ngos-ngosan dan haus bukan main. Aku mengeluarkan laptop untuk mengecek file yang di kirim Om Farel sebelum kukirim ke email papa. Namun barusaja aku menekan tombol on, aku melihat petugas kesehatan berlari menaiki anak tangga.
“ Ada apa?” Gumamku sambil meneguk air mineralku sekali lagi. Karena masih pagi dan saatnya masuk jam kuliah, fakultas tampak sepi. Hanya sedikit sekali mahasiswa yang terlihat di luar kelas.
Suasana menjadi agak heboh ketika petugas kesehatan turun dengan membawa seorang mahasiswa pingsan. Ada satu lagi mahasiswa yang mengikuti petugas dengan raut wajah super khawatir seperti ingin menangis.
“ Dea, please kamu jangan kenapa-napa.”
Aku dapat mendengar kalimat perempuan itu dengan jelas. Siapa dia bilang? Dea? Aku langsung berdiri namun kembali duduk.
“ Nama Dea kan cukup pasaran.” Ucapku mencoba untuk lebih masuk akal. Kan nggak lucu kalau aku ikut berlari mengejar petugas sementara mahasiswa pingsan itu bukan Dea yang kemarin aku antar pulang. Lagipula ada apa sih denganku? Bisa-bisanya mengkhawatrikan Dea. Temanku juga bukan. Dia hanya adik tingkat yang kebetulan aku tolong. Udah, gitu aja.
Oke, kembali ke laptopku yang sudah menyala. Aku baru saja akan membuka file ketika tiba-tiba Reyhan berlari kearahku.
“ Ternyata kamu disini juga, padahal disini kan bukan tempat kita. Gedung kita disebelah noh...”
“ Aku habis nemuin Prof Ari. Kamu sendiri ngapain kesini?”
“ Aku mau nunggu seseorang.”
“ Dih, gaya kamu sok rahasia.”
Reyhan mengedikkan bahu tak peduli.
“ Eh Rinda!” Reyhan memanggil seseorang. Aku meliriknya sesaat sebelum kembali fokus ke layar laptop. Eh bentar, itu bukannya cewek yang tadi ikut mengejar petugas?
“ Bang Reyhan!”
“ Kamu kenapa kok kaya cemas gitu?”
“ Gimana aku nggak cemas bang, Dea mendadak pingsan di kelas. Dia sakit, tapi maksain berangkat. Wah! Ada Kak Danish juga.” Aku hanya tersenyum sekilas menanggapi.
“ Dea pingsan?!” Keningku jadi berkerut heran melihat Reyhan seterkejut itu.
“ Iya bang. Seakarang udah di poli, istirahat. Udah ada yang jagain si Juni. Hb dia rendah banget.”
“ Ayo kamu antar aku jenguk Dea.” Reayhan langsung berdiri.
“ Emang Dea yang mana yang pingsan sampe kamu sekhawatir ini?” tanyaku agak heran.
“ Dea, Dan. Yang waktu itu ketemu kita di kedai s**u. Ah payah kamu mah, belum lama juga udah lupa.” Aku melebarkan mata mendengar jawaban Reyhan.
“ Dea anak matematika?” Tanyaku kaget.
“ Kenapa jadi kamu yang kaget?”
“ Hah? E- enggak. Maksud aku, aku tadi lihat dia baik-baik aja.” Jawabku bohong sambil menggaruk pelipisku.
“ Masak sih kak? Liat dimana?”
“ E... di parkiran.”
“ Udah udah. Ayo Rin, antar aku sekarang.”
“ Aku masih ada kuliah bang, jadi ngga bisa. Ini aja aku mau masuk kelas lagi.”
“ Ya udah aku sendiri nggak papa.”
“ Duluan ya bang, kak...” Teman Dea pamit sambil tersenyum kearahku dan Reyhan bergantian.
“Atau kamu mau ikut Dan?”
Aku diam sejenak.
“ Enggak. Aku nggak cukup dekat untuk menjenguk si Dea itu.”
“ Ya udah, aku duluan kalau gitu.”
Begitu Reyhan pergi, konsentrasiku buyar.
***
Aku menatap gedung poli kesehatan dengan tatapn lurus. Aku tidak tahu kenapa Dea begitu mengusikku. Aku bahkan tidak cukup dekat untuk mengkhawatirkannya. Lima belas menit sudah aku hanya duduk menatap gedung poli seperti orang bodoh.
“ Pake mobil aku aja, Dea! Aku anter!”
Kali ini mataku terfokus pada lima cewek yang bergerombol keluar dari gedung poli. Wajah kelima-limanya tidak asing di mataku, hanya saja satu dari mereka adalah yang saat ini aku khawatirkan.
“ Please nggak usah. Aku takut Ayah sama Ibu khawatir lagi. Aku udah baik-baik aja, serius.”
“ Wajah kamu masih pucet De. Nurut aja apa susahnya sih.”
“ Please Jun, Rin, Fi, Li. Aku udah baik-baik aja. Kemaren aku pulang udah dianterin orang, masak hari ini juga.”
“ Hah? Kamu kenapa kemaren? Siapa yang anterin kamu? Cewek cowok? Anak kelas kita bukan? Ganteng nggak?” Mau nggak mau aku tersenyum mendengar serentetan pertanyaan itu.
“ Lain kali aku cerita. Pokoknya hari ini aku pulang sendiri. Ya?”
“ Keras kepala banget ini bocil.”
“ Makasih udah bawain aku makanan sama jagain aku juga. Kamu terutama Jun, sampe bolos kuliah.”
“ Kaya sama siapa aja. Lagian aku lagi nggak mood kuliah Pak Eka.”
“ Aku aslinya juga nggak mood kulah Bu Arin, tapi mo gimana lagi.”
“...”
Aku tidak mendengar percakapan mereka lagi karena mereka mulai menjauh. Entah kenapa perasaanku mulai lega. Dea yang gemetaran seperti kemarin tentu bukan pemandangan yang bagus untuk dilihat.
Aku beranjak dari tempatku dan berjalan menuju parkiran. Seperti dugaanku, Dea beneran ada di parkiran dan sendirian.
“ Ehm.” Aku berdehem agak keras dan pura-pura tak melihatnya. “ Ehm. Uhuk...” Kali ini Dea menoleh dan aku masih pura-pura tak melihatnya.
“ Mas Danish?”
Oke, dia sadar keberadaanku.
“ Ya?” Aku menoleh dan mata kami bertemu. Dea tampak menghampiriku sementara aku diam di tempat.
“ Saya mau berterimakasih untuk yang kemarin. Dan maaf, sudah merepotkan.”
“ Nggak papa.”
Dea tersenyum kikuk sebelum balik badan dan beranjak pergi.
“ Wajahmu pucat.” Aku merutuki bibirku yang keceplosan.
“ Hah? Apa mas? Saya pucat?”
“ Dikit. Lagi sakit?”
“ Enggak. Masak sih pucat? Saya sehat kok.” Dia nyengir.
Bohong!
“ Oh ya udah. Saya duluan.” Aku menaiki motorku dan Dea masih diam di tempat.
“ Kenapa masih disitu? Mau ikut?”
“ Hah? E enggak. Enggak. Saya juga mau pulang.” Dea balik badan kemudian berlari menuju motornya.
Ternyata anak ini lucu juga.
***
Aku keluar kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Mataku menyipit begitu melihat layar handphoneku menyala.
Empat panggilan tak terjawab dari papa. Ada apa papa menelponku jam segini? Belum ada tiga detik, nomor papa kembali menelfonku. Aku segera mengangkatnya setelah dering pertama.
“ Hallo, pa?”
“ Ditelfon berkali-kali kok nggak diangkat kenapa Dan?”
“ Habis mandi pa.”
“ Kirain handphonemu ketinggalan atau gimana. Ini papa mau tanya kepastian jadwal wisuda kamu biar papa sama mama bisa kosongin jadwal. Adikmu juga maksa buat ikut.”
“ Oh iya, aku lupa belum ngabarin papa. Aku wisuda dua minggu lagi pa, hari rabu.”
“ Oke. Mau dibawain apa dari Jakarta?”
“ Papa sama mama bisa datang aja udah cukup.”
“ Woy mas! Aku juga pengen dateng.” Aku langsung tertawa mendengar suara cempreng Vina, adikku satu satunya. Eh, apa aku belum pernah menginggung tentang adik perempuanku? Kayaknya sih udah ya?
“ Vinaaa, yang sopan sama kakakmu.”
“ Habisnya Mas Danish bilang papa sama mama aja cukup. Aku dilupaiiiin, pa.” Aku memutar bola mata malas mendengar Vina mulai lebay.
“ Apasih dek, kalau mau dateng tinggal dateng. Nggak usah drama.”
“ Tapi aku rabu ada kuliah, gimana dong mas? Suruh wisudanya diundur weekend aja kenapa sih?”
“ Emang situ siapa seenaknya nyuruh begitu?”
“ Ya udah, aku bolos aja kalau gitu. Demi kakakku yang paling guanteng apasih yang enggak.”
“ Bau-bau ada maunya.”
“ Hehe. Tau aja. Bye mas, aku udah ditunggu mama di dapur.” Suara Vina tidak terdengar lagi.
“ Halkamu pa? Masih disana?”
“ Iya Dan, ini papa habis naruh berkas sementara Vina ngomong sama kamu.”
“ Oh iya pa.”
“ Berarti Rabu dua mingu dari sekarang ya?”
“ Bener pa.”
“ Ya udah, papa tutup dulu.”
“ Siap pa.”
Setelah sambungan terputus, aku merebahkan badanku di ranjang sementara dikepalaku masih ada handuk yang tadi aku gunakan untuk mengeringkan rambut. Aku tersenyum sambil menatap langit-langit kamar. Waktu berlalu sangat cepat. Rasanya baru kemarin aku ikut ospek jadi MABA dan berkenalan dengan orang baru.
Drrttt. Hanphoneku bergetar. Aku segera meraih handphoneku dan membuka pesan dari--- Dea?
Dea
Malem mas, maaf ganggu
Boleh tanya nggak?
Aku langsung bangun dan membalas pesan itu.
Me
Apa?
Dea
Saya dengar, Ms danish mau wsda
Mas Danish ada wktu luang nggk sebelum wisuda?
Me
Ada apa?
Cukup lama pesanku tak kunjung dibalas.
Dea
Kalau Ms Danish ada waktu luang, boleh ketemu nggak? Satu kaliii saja.
Mau tanya tentang skripsi saya.
Itu kalau bersedia
Kalau nggak bisa, nggak papa
...
Disana Dea mash ‘typing’ ketika sudah kubalas terlebih dulu.
Me
Ya. Mau kapan?
Read. Dea online, tapi dia tak kunjung membalas. Ini dia lagi mikir apa gimana?
Dea
Kamis, di perpustakaan?
Atau Mas Danis ada saran!
*?
Me
Ok
Dea
Maksih sebelumnya mas, heee
Read. Aku tak berencana membalasnya lagi. Aku berdiri dan menjemur handukku di balkon kamar. Aku menatap malam Kota Jogja dan tersenyum menerawang. Setelah wisuda nanti, aku belum tahu aku akan tetap di sini, atau balik ke Jakarta. Hanya saja, kalau boleh milih aku ingin tetap disini, mengembangkan usahaku dan Om Farel. Dan... Aku ingin mengejar cita-citaku. Aku ingin menjadi seperti eyang kakung dulu ketika muda.
Menjadi Dosen.
***