Prolog
Dea
“ Pak! Tunggu!”
Aku berteriak kencang sambil berlari begitu melihat bus Trans Jogja 3A lewat di depan mataku.
“Buruan mbak! Atau ikut bis setelahnya aja.”
“Bentar pak! Tunggu!” Aku berlari semakin kencang dan begitu berhasil masuk Bus, aku menyecan kartu dengan napas ngos-ngosan.
“Terimakasih pak. Hehe.” Aku nyengir, sementara petugas Bus Trans hanya geleng-geleng kepala. Aku mengedarkan pandangan untuk mencari kursi kosong dan ternyata tidak ada satupun yang tersisa. Jadilah hanya aku yang berdiri menemani petugas Trans bagian p********n.
Nasib kuliah pagi ya begini. Sudah harus lari maraton demi nggak ketinggalan bus, kursi penumpang juga hampir selalu penuh. Ya gimana lagi, banyak mahasiswa dari berbagai kampus yang mengambil kuliah pagi. Tak terkecuali aku. Biasanya aku naik motor, hanya saja sudah satu minggu ini motorku rusak dan masih menginap di bengkel sampai sekarang.
Hai, perkenalkan namaku Dealisa Qirani Pradipa. Mahasisiwi semester enam jurusan Matematika di salah satu Universitas ternama di Yogyakarta. Kenapa aku bilang universitasku ternama? Karena aku yakin 99% anak SMA yang baru lulus UN akan sangat familiar dengan nama kampusku. Haha!
Aku ini anak tunggal dan umurku saat ini baru dua puluh tahun lebih dua minggu. Kemudaan ya, untuk ukuran anak kuliahan semester 6? Emang... gini-gini aku pernah ikut kelas percepatan dulu waktu SMA. Tapi saat ini program yang kaya gitu sebagian udah dihapus. Nggak tau juga kenapa. Ah bodo amatlah, yang penting aku udah lulus.
“Pak, halte depan saya turun.”
Petugas halte mengangguk dan aku langsung keluar begitu pintu Bus otomatis terbuka.
“Terimakasih pak! Semoga harinya menyenangkan.” Bukannya berterimakasih, bapak-bapak petugas bus hanya geleng-geleng persis seperti tadi waktu aku naik Bus. Heran sama bapak-bapak jama now, udah didoain bukannya berterimakasih malah geleng-geleng kepala.
“ Wanjiiir, jam tujuh lebih tiga menit.”
Lagi-lagi pagi ini aku udah berasa seperti atlet lari maraton. Gimana enggak, dalam kurun waktu setengah jam aku sudah berlari berkilo-kilo. Eh enggak ding, lebay banget!
Aku mempercepat lariku. Memang, dosen mata kuliah pagi ini memberi keringanan terlambat sepuluh menit. Meski begitu, aku nggak suka dengan tampang wajah judes bin horror milik beliau yang selalu diperlihatkan ketika mengetahui ada mahasiswa telat masuk kelas. Namanya Pak Prasetyo, beliau adalah salah satu proffesor yang terkenal seantero kampus. Bahkan yang bukan anak jurusan Matematika aja rata-rata tau.
“Dea! Buruan!” seseorang meneriakiku dan ternyata itu Lia, salah satu sahabat baikku di kampus. Dia sudah berdiri di tangga lantai tiga sementara aku masih di lobi fakultas lantai satu.
“Tunggu aku Liii!”
Aku baru saja belok menuju tangga ketika tiba-tiba tas ranselku tersangkut besi yang buat pegangan di tangga.
“Sialan! Pake acara nyangkut.”
Karena aku terlalu buru-buru begitu tasku berhasil lepas, tak sengaja kepalaku menubruk seorang laki-laki yang entah dari kapan berdiri satu tangga di atasku. Aku memejamkan mata dan meringis kesal dalam hati. Kenapa sih, pagi ini sialnya dobel-dobel?
Kuberanikan mendongak dan aku langsung memasang senyum bersalah.
“Maaf Mas, eh dek? Eh Kak? Eh pokoknya maaf. Nggak sengaja. Heee.” Aku nyengir lagi.
Emang ya, aku bisanya cuma nyengir. Habisnya aku nggak tau dia ini senior apa junior. Jaman sekarang kan banyak tuh, junior berwajah senior. Lagipula aku ini mahasiswa hampir tingkat akhir, jadi besar kemungkinan laki-laki di depanku ini junior. Tapi nggak menutup kemungkinan juga sih, dia ini senior.
Eh tapi bentar, busset! Ini orang wajahnya kinclong abis.
“Danish! Buruan ke ruangan Bu Sarah. Lo udah di tunggu.” Aku ikut menoleh ke bawah begitu seseorang berteriak entah ke siapa.
Danish? Siapa? Perasaan lobi fakultas udah sepi pada masuk kelas. Tinggal beberapa gelintir orang aja yang tersisa. Itu udah termasuk aku dan cleaning service. Apa Danish yang di maksud itu mas-mas cleaning service itu ya? Tapi masak cleaning service ditunggu dosen?
“Permisi.”
“Ha?”
“Permisi.”
“Oh iya-iya mas, eh dek. Eh...” Aku menggaruk pelipisku sambil minggir ke samping. Namun sebelum laki-laki itu lewat, aku sempat melihat nama yang ada di atas saku dadanya.
Danish Emran M.
“Oh, jadi dia yang namanya Danish.” Aku menggumam sendiri.
“Woy Dea k*****t! Aku masih nunggu kamu. Masih mau masuk nggak?” praktis aku mendongak.
“ Iya, iya. Tunggu aku. Aku lari nih.”
Aku udah macam perempuan paling strong lari-lari menaiki anak tangga menuju lantai tiga. Pagi ini bener-bener apes!
***
Warning : Tulisan ini hanyalah FIKTIF BELAKA :)