Menjelang usia tiga belas tahun, seorang gadis kecil sangat dekat dengan kakak perempuannya, dan dia merasa bangga telah mendapat kepercayaannya ketika kakaknya diam-diam bertunangan dan kemudian menikah: berbagi rahasia adalah sesuatu yang bisa diterima hanya di kalangan orang-orang dewasa. Gadis kecil itu tinggal dengan kakaknya selama beberap waktu, namun ketika kakaknya memutuskan untuk membeli seorang bayi, gadis kecil itu merasa cemburu dengan saudara iparnya dan kepada bakal si bayi. Gadis kecil itu mulai merasakan beberapa masalah internal dan ingin dioperasi karena radang usus buntu. Operasinya berhasil, namun selama tinggal di rumah sakit, gadis kecil itu hidup dalam keadaan agitasi yang keras: dia bertindak kasar dengan perawat yang tidak disukainya: dia coba merayu dokternya dengan mengatakan dia tahu segalanya dan berusaha mendapatkannya untuk melewatkan malam bersamanya—mungkin saja dokter itu tidak akan setuju, tapi berharap ini akan menerimanya sebagai seseorang yang sudah dewasa. Gadis kecil itu menyalahkan dirinya sendiri atas kematian adik lak-lakinya beberapa tahun yang lalu. Dan khususnya lagi, dia merasa yakin kalau mereka tidak membuang usus buntunya atau tetap meninggalkan sebagian di dalam tubuhnya: pengakuan kalau dia telah menelan sekeping uang logam barangkali diartikan agar dilakukan rontgen terhadap dirinya.
Keinginan untuk dioperasi—khususnya pembuangan usus buntu—kerap kali dijumpai pada seseorang dalam usia seperti ini: gadis-gadis muda dengan cara ini mengekspresikan fantasinya tentang p*******n, kehamilan dan melahirkan. Mereka merasakan sesuatu secara samar-samar mengancam dalam diri mereka. Mereka berharap agar pembedahan menyelamatkan mereka dan bahaya yang tidak dikenal ini yang sedang menanti mereka.
Sementara bukan kemunculan menstruasi yang hanya mengungkapkan takdir keperempuannya pada si gadis. Fenomena yang lain juga meragukan telah muncul di dalam dirinya. Sejauh ini kepekaan seksualnya ada pada klistorisnya. Tidak gampang untuk mendeteksi apakah m********i kurang lazim bagi anak gadis ketimbang anak laki-laki: dia melakukannya selama dua tahun pertamanya, bahkan mungkin sejak bulan-bulan pertama dalam kehidupannya: tampaknya dia sudah meninggalkannya pada usia sekitar dua tahun, lalu melakukannya lagi di kemudian hari. Penyesuaian anatomi dari batang yang tumbuh di daging laki-laki membuatnya lebih menarik perhatian untuk disentuh daripada sebuah selaput yang terletak di daerah tersembunyi. Namun peluang untuk mengadakan kontak—seorang anak memanjat tali atau pohon atau mengemudikan sepeda—gesekan dengan pakaian, tersentuh ketika bermain atau bahkan inisiasi dari teman bermainnya, anak-anak yang lebih besar atau orang dewasa, mungkin saja kerap membuat si gadis sadar akan sensasi yang dia usahakan untuk dia bangkitkan dengan menggunakan tangan.
Dalam banyak kegembiraan semacam ini, saat dimiliki, adalah suatu sensasi yang independen: kegembiraan tersebut memiliki karakter dari segala hiburan kanak-kanak yang lazim dan menyenangkan. Si gadis hampir tidak menghubungkan seluruh kenikmatan pribadi ini dengan suratan keperempuanannya: hubungan seksualnya dengan laki-laki, bila memang ada, secara esensial hanya berdasarkan rasa ingin tahu. Dan sekarang dia merasakan dirinya terombang-ambing oleh emosi di mana dia tidak mengenali dirinya sendiri. Sensitivitas daerah-daerah tertentu di dalam tubuhnya berkembang dan ini begitu banyak terdapat dalam diri seorang perempuan, sehingga sekujur tubuhnya bisa saja dianggap sebagai daerah yang sensitif secara seksual. Kenyataan ini diperlihatkan padanya melalui pelukan-pelukan keluarganya, ciuman kasih sayang, sentuhan wajar dari seorang penjahit pakaian, dokter atau tukang potong rambut, melalui belaian sayang pada rambutnya atau tengkuk lehernya, dia mulai sadar, dan sering dengan sengaja mencari mencari sensasi yang lebih dalam relasi permainan, dalam bergumul dengan anak laki-laki atau perempuan.
“Tidak selalu jorok kalau membicarakan sesuatu dengan menyinggung kata-kata seksual. Seorang pembelajar feminis, akan lebih mampu menghargai perempuan dua kali lipat daripada seseorang yang hanya bertumpu pada entitas kelaki-lakiannya. Ada gerakan-gerakan laki-laki baru dari para pemuda di Amerika Serikat untuk menuntaskan diskriminasi dan ketidakadilan bagi perempuan. Hal ini justru kita bisa ambil positifnya kalau konsep Betty Friedan tentang menjadi seseorang yang androgini itu bisa dipakai buat laki-laki, tapi tidak cocok diterapkan oleh perempuan. Kalian akan menghadapi argumen-argumen yang pro dengan perempuan, untuk menciptakan diskusi yang baik, maka tidak boleh hanya ada pihak yang selalu pro. Tapi di dalamnya juga musti ada unsur kritik untuk memberikan skepitisme pada pihak lawan atas argumen pro yang dia bangun. Sebaliknya pun, kalau kalian dalam konstelasi argumen yang mendukung suatu gagasan, maka kalian harus konsisten mendukung argumen itu dengan berbagai alasan yang relevan. Agar tidak bisa dijatuhkan sekiranya ada pihak lawan yang kontra dengan argumen itu. Sebab suatu argumen bisa dikatakan baik, bila mencakup koherensi, konsistensi, dan logis.”
“Juga kalau kalian mau mendapat perhatian di awal argumen kalian, mulai dengan membuat perumpamaan cerita sebelum masuk dalam wilayah yang agak teoritis. Misalnya, ada seorang gadis berumur lima belas tahun. Sehari sebelum pemakaman, kakeknya datang menginap di rumah gadis itu. Keesokan paginya, setelah ibu dari gadis kecil itu bangun, ibunya muncul dan meminta naik ke ranjang untuk bermain dengannya, gadis itu langsung bangkit tanpa menjawab ibunya. Sejak kejadian itu, gadis itu mulai takut dengan laki-laki. Ada cerita lain, seorang gadis teringat mengalami shock hebat di usia delapan atau sepuluh tahun ketika kakeknya, laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, mengobok-obok genitalnya, memasukkan jarinya. Si anak merasakan sakit yang luar biasa namun takut membicarakan kejadian tersebut. Semenjak saat itu, dia merasa sangat takut dengan segala sesuatu yang berbau seksual. Nah, banyak kejadian kayak gitu yang tidak bisa diceritakan oleh gadis kecil karena malu. Selain itu, dia memberi tahu orang tuanya, tapi reaksi mereka justru kerap kali menghardiknya. Contohnya dengan mengatakan, jangan ngomong sembarangan. Dia juga tutup mulut terhadap jenis-jenis tindakan aneh dari orang-orang yang asing baginya.”
“Saya juga bisa membandingkan cerita itu dengan poin saya ini. Saya membaca sebuah kisah dari buku klasik. Ada beberapa orang menyewa sebuah ruang bawah tanah dari seorang sepatu. Sewaktu pemilik penginapan itu sedang sendirian, dia sering muncul dan mendatangi salah pelanggan perempuan penginapannya, lalu memegang tangannya dan memeluk perempuan dalam pelukan yang panjang, bergerak ke depan dan belakang. Lagi pula, cumbuannya tidak dibuat-buat, saat kemudian pemilik penginapan itu memasukkan lidahnya di mulut perempuan itu. Lalu, perempuan itu merasa benci padanya karena tindakannya itu. Tapi dia tidak pernah mengatakan sepatah kata pun tentang pemilik penginapan itu, sebab dia benar-benar takut.”
Aku yang mendengarkan cerita itu, hanya bisa memicingkan mata dan sesekali menggelengkan kepala. Pembahasan mereka mengalir begitu saja. Meski menginjak dalam penggalan-penggalan cerita yang menurutku sensitif, tapi ini nggak lebih dari sekadar edukasi untuk penguatan argumen tentang perempuan.
“Sekarang masuk dalam kritik kedua bahwa perempuan tidak hidup dengan nalar dan otonomi semata. Dalam Feminist Politics and Human Nature, Alison Jaggar merumuskan kritik kedua kepada feminis liberal, yang ditunjukkan kepada konsep-konsep yang dianggapnya sebagai fundamental terhadap feminisme liberal. Layaknya Jean Bethke Elshtain, Jaggar mengkritisi feminis feminis liberal, terutama atas apa yang dipandangnya sebagai konsep feminis liberal mengenai diri. Menurut Jaggar, feminis liberal mengkonsepsi diri sebagai agen yang rasional dan otonom, yaitu diri laki-laki. Menyadari kalau tidak setiap orang dapat memahami mengapa rasionalitas dan otonomi adalah laki-laki, Jaggar secara teliti menjelaskan pendapatnya, pertama-tama dia menunjukkan kalau karena feminis liberal menempatkan keistimewaan manusia pada rasionalitas dan otonomi manusia, keduanya disebut sebagai dualis normatif—pemikir yang berkomitmen terhadap pandangan kalau fungsi dan kegiatan pikiran adalah dengan cara tertentu, lebih baik daripada fungsi dan kegiatan ragawi. Makan, minum, ekskresi, tidur dan bereproduksi bukanlah menurut pandangan ini, kegiatan manusia yang paling esensial, karena anggota dari spesies binatang lain juga melakukannya. Sementara, apa yang memisahkan manusia dari penciptaan binatang lain adalah kapasitasnya untuk berpikir, berimajinasi dan memahami.”
“Setahu aku bunda, Jaggar lalu berspekulasi kalau sebab pembagian kerja seksual asal, kegiatan, dan fungsi mental semakin sering mendapat penekanan lebih daripada kegiatan dan fungsi ragawi dalam pemikiran liberal barat. Dengan mempertimbangkan jaraknya dari alam, peran domestik dan reproduksinya yang tidak banyak menuntut dan karena itu, banyaknya waktu yang dapat dihabiskan untuk menumbuhkan kehidupan nalarnya, laki-laki cenderung merendahkan nilai tubuh, dan menganggap tubuh semata-mata sebagai cangkang pelindung yang bentuknya tidak mempunyai makna penting terhadap definisi dirinya. Sebaliknya, karena hubungannya yang dekat dengan alam, peran domestik dan reproduksinya yang berat dan karena itu, banyaknya waktu yang musti dihabiskan untuk merawat tubuhnya, perempuan cenderung lebih menghargai tubuh dan menganggap sebagai hal yang esensial bagi identitas personalnya. Karena laki-laki secara tradisional adalah filsuf, menurut pengamatan Jaggar, cara laki-laki memandang dirinya kemudian mendominasi sejarah pemikiran kolektif kebudayaan barat. Akibatnya, semua liberal, laki-laki atau perempuan, feminis atau tidak, cenderung untuk menerima sebagai suatu kebenaran prioritas mental di atas prioritas ragawi, bahkan ketika pengalamannya sehari-hari berkontradiksi dengan keyakinan ini. Menurut Jaggar, kepatuhan feminisme liberal terhadap dualisme normatif adalah suatu masalah, bukan saja karena hal itu menggiring kepada devaluasi kegiatan dan fungsi ragawi, tetapi juga karena pemikiran seperti itu menggiring kepada solipsisme dan skeptisisme politik.”
“Solipsisme dan skeptisisme politik itu apa?”
“Nah, kalau Nak Malik belum tahu solipsisme politik yang dimaksud Sima, solipsisme politik adalah keyakinan kalau manusia yang rasional dan otonom, pada dasarnya adalah terpisah dengan kebutuhan dan kepentingan yang terpisah dan bahkan berlawanan dari kebutuhan dan kepentingan individu lain. Sementara Nak, kalau skeptisisme politik itu keyakinan kalau pertanyaan fundamental dari filsafat politik mengenai apa unsur pembangun kesejahteraan dan pemenuhan, dan apakah alat untuk mencapainya, tidak pernah mendapat jawaban yang sama. Oleh karena itu, hasil dari penekanan nalar di atas tubuh dan diri atas Liyan adalah hasil penciptaan suatu rangkaian sikap dan perilaku politik yang meninggikan kebebasan. Lalu, Jaggar mengkritisi solipsisme politik berdasarkan alasan empirik, dan mengatakan kalau tidaklah masuk akal untuk berpikir mengenai individu sebagai ada sebelum formasi masyarakat melalui semacam kontrak. Jaggar mengamati, misalnya kalau setiap perempuan hamil mengetahui kalau seorang anak berhubungan dengan yang lain bahkan sebelum anak itu lahir. Bayi manusia dilahirkan tidak berdaya dan membutuhkan perawatan yang sangat besar selama bertahun-tahun. Sebab perawatan ini tidak dapat secara layak dipenuhi oleh satu orang dewasa, manusia hidup di dalam kelompok sosial yang secara bersama-sama membesarkan keturunannya menuju kedewasaan.”
“Dan ya, untuk memperkuat argumentasi empiriknya, Jaggar mengamati solipsisme politik secara konseptual tidak masuk akal. Dalam hal ini dia mendukung argumentasi seorang tokoh filsafat dari Swedia yang bernama Naomi Scheman kalau solipsisme politik menuntun keyakinan pada individualisme abstrak. Individu abstrak adalah dia yang emosi, keyakinan kemampuan dan kepentingannya semestinya dapat diartikulasikan dan dipahami tanpa mengacu kepada konteks sosial mana pun. Manusia berdasarkan pemikiran Kant, adalah jenis individu abstrak ini—suatu nalar yang murni yang tidak terpengaruh atau terinfeksi oleh ego psikologis empirik, ataupun oleh tubuh empirik biologis. Meski demikian, dengan filsafat Kant sebaliknya, menurut Naomi Scheman, kita bukan individu abstrak. Kita adalah individu yang konkret yang mampu mengidentifikasi sensasi psikologis tertentu sebagai suatu kesedihan, misalnya, hanya karena kita telah ditempeli di dalam jaringan sosial interpretasi yang berfungsi untuk memberikan makna kepada setiap gerakan dan kesakitan, setiap erangan dan raungan, setiap rintihan dan jeritan. Selain daripada jaringan interpretatif ini, secara literal kita adalah tidak berdiri, artinya, identitas kita sangat ditentukan oleh keinginan dan kebutuhan yang dikonstitusikan secara sosial. Pada dasarnya, kita adalah diri yang dibangun oleh komunitas kita, suatu fakta yang menentang mitos Amerika Serikat mengenai individu yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.”
Malik menyeruput the hijau dan mulai memijat-mijat kepalanya. Pembahasan kali ini mungkin terlihat masih awam bagi dirinya. Tapi, dia terlihat sangat gembira ketika mendapatkan pengetahuan baru kali ini. Setidaknya, ini adalah bekal ketika dia nanti memutuskan untuk kuliah.
“k*****s pembahasan malam ini tentang skeptisisme dan solipsisme politik adalah konsep keduanya runtuh bersama. Menurut Jaggar, karena skeptisisme politik juga bergantung dari konsepsi diri yang sangat abstrak dan individualistik. Berlawanan dengan orang-orang liberal atau feminis liberal yang bersikeras kalau negara harus membatasi diri dalam memberikan keistimewaan kepada konsepsi kesejahteraan manusia mana pun di atas yang lain. Jaggar menegaskan kalau negara mustinya bertindak lebih dari sekadar sebagai polisi lalu lintas, yang memberikan komentar atas tujuan yang dikemudikan oleh pengemudi, cuma memastikan kalau kendaraan keduanya tidak bertabrakan. Tidak masalah apakah kita menyukainya atau tidak, dia mengatakan biologi dan psikologi manusia mendiktekan serangkaian kebutuhan manusia dan masyarakat yang memperlakukan kebutuhan dasar ini sebagai opsional tidak dapat berharap dapat bertahan hidup, apalagi untuk memperoleh pencapaian. Oleh karena itu, menurut Jaggar, negara musti bertindak lebih dari sekadar memelihara agar lalu lintas berjalan lancar, melainkan juga memblokir jalan tertentu, bahkan jika beberapa individu tertentu ingin sekali berlalu lalang di jalan tersebut.”
Malik mulai menguap. Jam dinding menunjukkan pukul jam tujuh malam. Mustinya dia lebih memilih nongkrong di café, daripada menurutiku untuk mendengarkan bunda mengoceh. Aku meliriknya. Dia mengerti kalau aku mencemaskan kalau dia terlihat lelah. Pasalnya, dia tidak menggubris itu. Hanya terus semakin mengoceh dan meladeni bunda dengan pengetahuannya yang lain. Sesekali juga menanyakan hal di luar topik seperti apakah bunda mau es potong atau tidak. Sementara bunda yang asyik berceramah, Malik memberi solusi dengan menyegarkan ulang pikiran.
“Malik bawa surabi, makanan khas Bandung! He he he…” Malik mengambil bungkus makanan yang berisi surabi—salah satu makanan khas Bandung—di cantolan dashboard motornya.
“Ini dibuat dengan bahan apa, Nak Malik?”
“Bahan bakunya tepung beras, dan dimasak dengan tungku. Sebenarnya rasanya tawar, tapi divariasi dengan beberapa topping baru seperti strawberry, s**u, cokelat, dan lain-lain.
Sekali lagi, Malik mencairkan suasana dengan sulap serabinya. Yang langsung dilalap habis oleh bunda. Bahkan bunda tertarik untuk membuatnya sendiri, dia mengajakku dan Bi Asih untuk membuat makanan serabi sendiri besok kalau senggang.
“Nanti kalau nggak mirip, bisa dari resep ibu. Kalau mau sama tungku-tungkunya sekalian. He he he…”
Kami tertawa di tengah gemerlap sejarah perempuan yang sedang bertumpuk di kepala kami malam ini.