“Pembela feminisme liberal menentang kritik Jaggar dan Naomi Scheman terhadap feminisme liberal berdasarkan alasan kalau liberalisme dari feminis liberal tidaklah sama dengan libealisme dari bukan feminis liberal. Paham maksudnya? Dalam apa yang diistilahkannya sebagai pertahanan yang pantas bagi feminis liberal, Susan Wendell salah seorang profesor dari Columbia, menekankan kalau feminis liberal tidak secara fundamental berkomitmen, entah untuk pemisahan bentuk rasional dari yang emosional, maupun untuk pemberian penilaian yang lebih terhadap rasio dibandingkan kepada emosi. Sebaliknya, mereka tampaknya sangat menyadari kalau nalar dan emosi, pikiran, dan tubuh merupakan sama pentingnya bagi kelangsungan hidup manusia dan kekayaan pengalaman manusia. Tentu saja, menurut pengamatan Susan Wendell, bila feminis liberal kekurangan konsepsi diri sebagai keseluruhan yang terpadu, kita akan memperoleh tekanan kuat untuk menjelaskan kecenderungan mereka untuk memandang androgini sebagai suatu keadaan yang positif. Bagi sebagian besar feminis liberal, menginginkan anak laki-lakinya untuk mengembangkan serangkaian besar respons emosional dan keahlian domestik sebagai mana mereka menginginkan anak perempuan mereka untuk mengembangkan serangkaian besar kapasitas rasional dan bakat profesional. Manusia yang utuh adalah rasional dan juga emosional. Oleh karena itu, Susan Wendell mendorong feminis untuk membaca teks feminis liberal secara lebih simpatik sebagai bentuk liberalisme yang secara filsafat lebih baik dan untuk mengatasi miskonsepsi kalau suatu komitmen kepada individu dan pengembangan dirinya atau bahkan kepada prioritas etik individu di atas kelompok yaitu secara otomatis adalah komitmen kepada narsisme atau egoisme atau kepada keyakinan kalau karakteristik seseorang yang paling penting adalah dengan cara tertentu bergantung kepada hubungannya dengan orang lain. Hanya karena perempuan menolak untuk menghabiskan keseluruhan waktunya untuk merawat keluarganya, tidaklah berarti kalau dia lebih mementingkan dirinya sendiri dibandingkan suaminya, yang mungkin menghabiskan waktu lebih sedikit lagi untuk mengasuh anaknya daripada istrinya. Seseoranh adalah mementingkan dirinya sendiri hanya jika dia mengambil lebih daripada bagian yang adil baginya atas suatu sumber daya: uang waktu, atau bahkan sesuatu yang tidak dapat disentuh seperti cinta.”
Serabi sudah habis dan materi masih berlangsung panjang. Bi Asih menghidangkan cemilan ringan lagi. Dia usai bereksperimen di dapur dan menciptakan camilan baru dari bahan baku tepung dan gula. Masih hangat dan enak rasanya: manis, kenyal, dan balance dengan pahit dari gosong akibat terlalu lama digoreng.
Malik menyantap itu dengan lahap. Serabi yang telah dia bawa kalah enak, katanya. Hal itu membuat Bi Asih tertawa gembira dan berencana membuatnya lagi di lain waktu. Sesekali Bunda menelepon ayah dan memantau kegiatan kami malam ini. Belajar bersama dengan seorang laki-laki yang menurut bunda memiliki karakteristik yang sama dengan suaminya.
“Kritik ketiga tentang feminisme liberal sebagai rasis, klasis, dan heteroseksis. Kerap kali para pengkritik mengklaim, sebagaimana telah kita pelajari beberapa hari yang lalu juga, Sima, Malik, kalau feminisme liberal hanya berfungsi atau lebih banyak berfungsi untuk kepentingan perempuan kulit putih kelas menengah dan heteroseksual. Meski feminis liberal menerima kritik sebagai kritik yang adil, mereka memberikan pembelaan kalau perempuan minoritas, lesbian dan perempuan pekerja beraliansi dengan feminis liberal di masa lalu dan terus begitu hingga kini. Misalnya, perempuan kulit hitam adalah bagian dari gerakan hak pilih bagi perempuan Amerika Serikat dari sejak gerakan itu dimulai. Tentu saja, suffragis kulit putih kerap kali gagal menyambut dan mengakui kontribusi kulit hitam terhadap gerakan hak-hak perempuan, tetapi feminis liberal kulit putih telah banyak mengalami asam garam sejak abad sembilan belas, saat kepentingan perempuan kulit putih dihadapkan dengan kepentingan kulih hitam. Sekarang feminis liberal lebih memberikan perhatian kepada cara ras seorang perempuan mempengaruhi apa yang dianggapnya sebagai contoh diskriminasi gender. Kesadaran seperti ini mengundang kita untuk mempertimbangkan, misalnya, pandangan yang berbeda antara permpuan kulit hitam dan kulit putih tentang topik, misalnya, pekerjaan rumah. Karena Betty Friedan menyentuh secara umum kelompok perempuan yang terdidik, kelas menengah dan berkulit putih dalam The Feminine Mystique, masuk akal bagi dirinya untuk menggambarkan peran ibu rumah tangga sebagai opresif. Bagaimana pun juga, audiensnya memang menderita dari masalah psikologis yang dialami oleh orang ketika mereka kurang mendapat tantangan dan terbatasi kegiatannya ke dalam tugas-tugas rutin yang sama secara berulang-ulang. Namun, seperti yang dikomentari Angela Davis, peran ibu rumah tangga cenderung dialami sebagai suatu hal yang membebaskan daripada opresif oleh perempuan kulit yang tidak terdidik dan miskin. Bagi para perempuan ini, pekerjaan rumah di dalam rumahnya sendiri adalah lebih baik daripada pekerjaan rumah di rumah orang kulit putih. Sebetulnya, tegas Davis, banyak perempuan kulit hitam yang akan sangat berbahagia untuk menukarkan masalah mereka dengan masalah tak bernama. Mereka akan merangkul kehidupan sub-urban, kelas menengah kulit putih dengan sangat antusias, dan bergembira karena mempunyai banyak waktu untuk memanjakan diri dan keluarganya.”
“Kenapa semua kritik terhadap isu dan ras seolah-olah kelihatan meningkat?”
“Memang, penekanan semakin meningkat dari feminis liberal terhadap isu, ras, didorong oleh sejumlah perempuan minoritas yang bergabung dan menjadi anggota aktif dalam organisasi feminis liberal. Misalnya, sebagian besar karena NOW kini mengaliansikan dirinya dengan organisasi minoritas yang didedikasikan organisasinya terhadap reformasi kesejahteraan, hak-hak sipil, kebijakan imigrasi, a*******d, pekerja migran dan isu suku-suku, perempuan minoritas mencakup tiga puluh persen dari keseluruhan kepemimpinan NOW dan sepuluh persen dari stafnya. Tidak seperti feminis liberal abad sembilan belas, feminis liberal masa kini tidak lagi mengkontraskan hak-hak perempuan dengan hak-hak laki-laki kulit hitam, yang mengimplikasikan kalau perempuan kulit hitam bukanlah perempuan sesungguhnya dan bukan juga kulit hitam sesungguhnya, namun lebih merupakan semacam makhluk hibrid yang hak-haknya bukanlah kepentingan, entah perempuan kulit putih maupun laki-laki kulit hitam.”
“Bunda, dulu bunda pernah juga ngomongin soal sejarah feminisme ini sama ayah?”
“Pernah, tapi nggak sesering seperti kalian ini. Bahkan kalian keren, sampai bisa jadi delegasi sekolah buat ngomongin seputar feminisme ini. Kalau bunda sama ayah dulu, lebih fokus ke pematangan bidang karir masing-masing. Ayah dalam peningkatan kualitas ekonomi, pertambangan, dan hukum, sementara bunda lebih ke kesehatan, biologi, sosial, dan sesekali sejarah.”
“Hukum?” Malik menyahut.
“Iya, jadi kalau misalnya ingin berbincang tentang hukum ya, sama ayah.”
Malik manggut-manggut. Pasalnya dia punya orientasi saat kuliah ingin mengambil jurusan hukum, atau manajemen. Tapi itu masih menjadi wacana. Dia masih mencari konsentrasi yang tepat, katanya. Tapi menurutku, dia lebih cocok kalau pengetahuannya lebih bisa diekspolarasikan dalam ranah hukum.
“Aku mau ambil catatan dulu…”
“Selain rasisme, klasisme juga telah mulai muncul di dalam feminisme liberal, terutama karena perempuan yang awalnya memimpin gerakan hak-hak perempuan datang dari kelas menengah atas. Tidak menyadari keuntungan sosial dan ekonomi yang dinikmati oleh perempuan yang ditujunya dalam The Feminine Mystique, Betty Friedan dengan sederhana mengasumsikan kalau semua atau kebanyakan perempuan dihidupi laki-laki dan karena itu, perempuan bekerja untuk alasan selain finansial. Lalu, saat Betty Friedan lebih banyak melalukan kontak dengan ibu-ibu yang membesarkan anaknya sendiri, yang mencoba memenuhi kebutuhan keluarganya dengan upah yang sangat rendah atau tunjangan kesejahteraan yang juga sangat kecil. Dia menyadari sulitnya hidup bagi perempuan urban yang bekerja di pabrik, berlawanan dengan perempuan sub-urban kaya yang pergi mengemudi menuju pertemuan orang tua murid. Oleh sebab itu, Betty Friedan berusaha dalam The Second Stage untuk merangkul beberapa masalah ekonomi dari perempuan bekerja. Bagaimanapun juga, audiens utamanya tetap merupakan anak-anak dari istri-istri yang telah diusahakan untuk dibebaskannya di tahun enam puluhan. Ibu-ibu pekerja yang terdidik dan secara finansial berkecukupan yang dia harapkan dapat dibebaskan dari apa yang disebutnya sebagai beban ganda. Dalam analisis akhirnya, The Second Stage, lebih merupakan buku bagi perempuan dan laki-laki kelas profesional kelas menengah, daripada buku bagi orang-orang kelas pekerja. Buku ini merefleksikan suatu masyarakat yang di dalamnya setiap laki-laki dan perempuan mengambil beban yang setara dan memperoleh keuntungan yang setara, entah di dunia publik maupun di dunia privat. Namun, buku itu gagal mempertanyakan apakah masyarakat kapitalis dapat mengembangkan kondisi kerja dan keluarga yang ideal bagi semua anggotanya, atau hanya bagi yang paling baik dan paling cemerlang saja, yaitu, bagi mereka kaum profesional dan kuasi profesional yang sudah cukup kaya yang bisa mengambil keuntungan dari penunjukan bersama, cuti parental, waktu kerja fleksibel, dan sebagainya.”
“Sama seperti halnya, buku Betty Friedan tahun sembilan puluh tiga, The Fountain of Age, lebih diarahkan kepada orang tua senior yang relatif kaya dan sehat daripada kepada para orang tua yang lemah dan miskin. Walaupun anekdot Betty Friedan tentang orang yang menyusun kembali hidupnya setelah berusia enam puluh tahun cukup memberikan inspirasi, anekdot ini, seperti ditunjukan oleh salah seorang komentator, lebih merupakan cerita tentang para pencapai yang memiliki umur panjang dengan sumber daya finansial yang tidak biasa yang di tahun-tahun emasnya terus melakukan apa yang mereka lakukan di usia muda mereka. Pengalaman dari kelompok manusia ini akan dikontraskan dengan warga negara Amerika Serikat yang pekerjaannya selama bertahun-tahun telah melemahkan fisik dan psikologisnya serta menemukan bahwa adalah sangat sulit untuk bertahan hidup apalagi bersenang-senang dengan pendapatan pasti yang kecil. Linier dengan bertambahnya usia orang-orang seperti itu, terutama jika mereka menjadi lemah, musuh utama mereka bukanlah citra diri. Sebaliknya, musuh mereka adalah lingkungan yang tidak aman, tangga yang tidak dapat dikendalikan, budget yang ketat dan isolasi. Tentu memang Betty Friedan membahas usaha warga negara Amerika Serikat yang bertambah tua dan lemah di dalam The Fountain of Age dalam mengatasinya dan merekomendasikan beragam cara konkret untuk memperbaiki situasi mereka. Meski demikian, dia gagal buat merangkul ketidaktersediaan umum untuk mengalokasikan waktu, uang, dan cinta bagi orang-orang tua yang bertindak seperti orang tua, dan memerlukan lebih daripada apa yang dianggap sebagai bagian yang adil dari sumber daya masyarakat. Tentu saja, dengan menekankan kepentingan agar tetap vital di usia tua, Betty Friedan mungkin telah dengan tidak disengaja memperbesar jurang pemisah antara para orang tua yang beruntung dan yang tidak.”
Malik membuka buku-buku sejarahku sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Menguap beberapa kali. Tapi, matanya masih saja melotot seolah-olah ingin membaca habis semua buku. Bunda masih cukup kuat buat membaca dan mengingat-ingat sejarah yang selama ini dia pelajari dan pahami sendiri sebagai seorang perempuan. Tentunya, aku baru ngeh kalau acara ini bakal menghabiskan banyak waktu untuk membahas secara spesifik tentang perempuan. Tapi, terlihat mengejutkan bahwa salah satu pembicaranya nanti adalah seorang anak laki-laki SMA. Reaksi seperti apa yang diberikan oleh para audiens yang lain nanti, ataukah memang ada delegasi dari sekolah lain yang memang salah seorang pembicaranya juga laki-laki? That’s possible!
Membicarakan topik malam ini, aku jadi ingat kalau aku pernah menulis:
Di estimasi usia tiga belas tahun, saat si anak laki-laki mulai mengenal kekerasan, saat agresivitas mereka mulai berkembang, saat mereka mulai mencintai persaingan, meledaknya hasrat mereka akan kekuasaan, di situlah justru si gadis mulai menjauhi permainan-permainan kasar. Agresivitasnya mulai menurun. Kelincahan si gadis tidak seperti waktu kecil. Olahraga masih terbuka baginya, namun olahraga yang berarti spesialisasi, juga olaraga yang mempunyai standar peraturan-peraturan buatan, sama sekali berbeda dengan suatu kebebasan dan kebiasan menggunakan kekerasan. Seorang atlet perempuan tidak pernah bisa merasakan kebanggaan laki-laki ketika menindih bahu lawannya. Terlebih di banyak negara, kaum perempuannya tidak boleh menerjuni dunia olahraga, karena berkelahi dan memanjat itu dilarang, tubuh mereka bersifat pasif dalam melakukan segala hal. Dan perempuan jauh lebih tegas dibandingkan saat masa mudanya.
Dalam dunia orang dewasa, tidak disangsikan lagi, kekuatan barbar tidak memainkan peranan yang besar pada waktu normal, namun begitu, dia membayangi dunia itu. Aneka perilaku maskulin timbul dari akar yang memungkinkan terjadinya kekerasan. Di setiap pojok jalanan, ada ancaman kekerasan: biasanya hal itu sering terjadi. Bagi laki-laki, menunjukkan kepalan tangan, itu sudaih cukup untuk memastikan kekuasaannya. Dengan melawan segala hinaan, laki-laki akan mengancam penghina itu dengan kepalan tangannya, untuk menunjukkan kebijakannya dalam berbagai p*********n, dia tidak akan mau diungguli oleh orang lain, dia sendiri juga berada di jantung subjektivitasnya. Kekerasan merupakan bukti valid dari setiap orang untuk menunjukkan kesetiaan pada diri sendiri terhadap orang lain. Juga pada nafsunya, dan pada kehendaknya sendiri. Memungkiri kehendak ini berarti sama saja dengan mengungkung diri seseorang salam subjektivitas yang abstrak: kemarahan atau pemberontakan yang tidak disalurkan melalui otot-otot hanyalah suatu spekulasi belaka. Adalah kefrustasian yang luar biasa, seandainya tidak mampu menunjukkan perasaan seseorang terhadap wajah dunia.
Bahwa mungkin memang diperlukan probabilitas pertarungan agresif dari seorang laki-laki dalam hal diskusi formal tentang perempuan.
Sekali lagi aku mengingat:
“Kamu bisa melihat tempat dudukmu di denah yang ditempel di papan.”
“Kenapa tempat duduk pun sampai diatur-atur juga?”
“Maaf, kenapa?”
“Sekolah ini membosankan, sampai mengendap ke manusia-manusianya.”
“Maksudnya apa?”
“Tersinggung?”
“Tentu. Kamu sedang berbicara denganku.”
“Kalau aku memaksa duduk di sini, gimana?”
“Ini bukan mauku. Kalau aku pindah, aku dapat masalah. Bisa saja yang terlihat menginginkan pindah bukan kamu, tapi aku.”
“Penakut.”
“Bisa ulangi kata-katamu?” pintaku.
Sekarang, murid baru yang sombong itu akan berjuang dengan membawa nama baik sekolahnya.