“Sekarang, kita akan mendiskusikan kritik dapatkah perempuan bisa menjadi laki? Apakah perempuan menginginkannya? Apakah perempuan memang wajib menginginkannya?”
“Jean Bethke Elshtain, seorang teoris politik Amerika yang juga merupakan salah satu pengkritik keras feminisme liberal. Dia mengklaim kalau feminis liberal adalah salah ketika mereka menekankan hak individu di atas kebaikan bersama, dan pilihan di atas komitmen, sebab, tidak mungkin menciptakan komunitas yang sebenarnya dari sekelompok manusia dewasa yang dapat melakukan pilihan dengan bebas. Jean Bethke Elshtain juga mengklaim feminis liberal adalah salah saat mereka meninggikan apa yang disebut sebagai nilai-nilai laki-laki. Dia menuduh Betty Friedan di tahun enam puluhan dan pada tingkat yang lebih rendah Wollstonecraft, John Stuart dan Harriet Taylor, karena menyamakan laki-laki dengan manusia, kualitas kelaki-lakian dengan kualitas manusia. Dalam kritiknya Why Can’t a Woman Be More Like a Man? Jean Bethke Elshtain mengidentifikasi tentang apa yang menurut pendapatnya sebagai tiga kesalahan utama feminisme liberal, yang pertama klaimnya kalau perempuan bisa menjadi seperti laki-laki kalau mereka mengorganisir pemikirannya untuk itu. Yang kedua, klaimnya kalau kebanyakan perempuan ingin menjadi seperti laki-laki, dan yang ketiga yaitu klaimnya kalau semua perempuan semestinya ingin menjadi seperti laki-laki dan meninggikan nilai-nilai maskulin. Nah, sehubungan dengan klaim pertama, kalau perempuan bisa menjadi seperti laki-laki, Jean Bethke Elshtain menunjukkan keyakinan umum feminis liberal kalau distingsi laki-laki dan perempuan merupakan produk budaya daripada biologis, atau lebih bersifat hasil pengasuhan daripada alamiah. Jean Bethke Elshtain mengklaim kalau feminis liberal menolak untuk memikirkan probabilitas perbedaan seksual sebagai sesuatu yang ditentukan secara biologis, karena ketakutan kalau jawaban yang mengiyakan akan membenarkan represi, supresi, dan opresi terhadap perempuan. Untuk alasan ini, menurut estimasi Jean Bethke Elshtain, dan banyak feminis liberal telah menjadi enviromentalis yang berlebihan, orang-orang yang percaya kalau identitas gender adalah semata-mata produk sosialisasi yang dapat diubah jika masyarakat memang menginginkannya.”
Pelajaran Bu Ersa telah selesai tanpa meninggalkan tugas. Aku ingin sekali bergegas ke bangku Malik dan langsung menanyakan tentang kabar dirinya yang telah masuk tim reguler. Tapi, sikap jual mahalku sebagai perempuan, menyambar lebih dulu. Aku nggak ingin menghampirinya, karena rasa malu dilihat teman-teman yang lain, juga aku masih sungkan dengan Rada. Tidak ada pilihan lain selain hanya menunggu dia di bangkuku sendiri. Atau kalau itu tidak mungkin, biar nanti sepulang sekolah. Hanya itu waktu yang tepat.
Aku turun dari kelas dan menuju ruang pers. Sudah anak kelas dua belas yang kumpul di situ. Sepertinya mau menceramahi junior-juniornya.
“Grace!”
“Iya, Kak?”
“Mana anggota yang lain?”
“Mungkin masih belum keluar kelas.”
“Tim reguler sudah dibentuk, cepat dirilis! Kalau perlu, langsung kamu tangani, tidak usah menunggu yang lain!”
Sumpah, kalau dia masih punya otak, bukankah dia juga musti membantu membuat konsepnya? Bukan malah menyuruh dengan nada ketus seolah-olah dia punya otoritas di sini. Dia Rena, kelas dua belas IPA. Memang dia pintar, tapi gelagatnya sangat angkuh. Aku berani menyimpulkan begitu ya, memang faktanya seperti itu. Dia lebih suka memerintah, daripada bekerja bersama. Dulunya dia adalah ketua dari organisasi pers ini. Sebelum dia pensiun—karena anak kelas dua belas tidak diperbolehkan aktif mengikuti organisasi di tahun terakhir—dia memberikan kecaman pada anggota baru untuk mengutamakan kekompakan. Padahal, dia sendiri hanya suka memerintah. Dia cuma ingin namanya ditulis sebagai penanggung jawab, seolah-olah itu adalah otoritas paling keren. Tapi, begitu ada kekacauan, dia malah menyalahkan tim atau anggota yang lain. Bukan malah benar-benar nge-handle kekacauan itu dan menjaga anggota yang lain tidak panik.
Aku paham kalau anggota organisasi pers yang se-angkatanku sama-sama menginginkan supaya cepat dimusyawarahkan pembentukan ketua dan wakil baru di organisasi ini. Agar otonomi dari organisasi ini tidak lagi melibatkan peran anak kelas dua belas. Tapi, kegiatan-kegiatan yang musti diurus sangat banyak. Jadi, tidak sempat memusyawarahkan dan mengukuhkan ketua baru. Tadinya, anggota-anggota baru malah tidak peduli sama posisi ketua. Lebih baik kalau tidak, karena menurut mereka, adanya posisi ketua sama saja ada atasan dan bawahan. Padahal sekali lagi aku tegaskan bukan seperti itu. Sebab ketua itu hanya label atau otoritas yang bisa dipercaya untuk menjadi perwakilan ketika nama organisasi sedang dikaitkan dengan urusan lain. Kalau misalnya tidak ada ketua, siapa yang akan mewakili? Semua anggota? Ribet!
Atas argumen yang aku sampaikan dan yakinkan ke mereka, kemudian mereka malah nyeletuk dengan memilih aku sebagai ketua baru organisasi pers ini. Secara aklamasi, tanpa voting dan pertimbangan-pertimbangan khusus melaluo pemilihan formal. Tapi, mereka menganggap kalau aku mampu mengemban posisi itu sebab aku yang paling aktif di organisasi ini. Begitu juga dengan anggota-anggota lain yang seangkatan denganku, mereka setuju dengan menjadikan aku sebagai ketua. Tapi menurutku, kalau hanya dinyatakan secara aklamasi kayak gini, kemungkinan bisa menjadi masalah baru, sebab seolah-olah menghindari dengan pertimbangan-pertimbangan anak kelas dua belas.
“Mungkin, setelah usai turnamen basket ini, bakal ditunjuk ketua baru.”
“Hah? Belum juga ditunjuk?!” Rena menyergah. “Gimana, sih, Grace?! Mustinya bukan lagi penunjukan atau pengukuhan, karena jatahnya satu tahun untuk kepengurusan, kalau belum ditunjuk juga, ribet ke depannya.”
Anak kelas dua belas yang lain cuma manggut-manggut. Sekali lagi, d******i Rena masih berlaku sampai saat ini. Anggota yang lain merasa kalau kepintaran dan ketenaran Rena, bisa mengesampingkan penilaian orang lain tentang arogan dan keangkuhannya.
“Aku akan ke pembina untuk ngomongin soal ketua baru.”
“Loh, kamu kan, udah nggak punya otoritas di organisasi, Ren!” sergah Efi, teman Rena yang dulunya menjabat sebagai wakil ketua organisasi.
“Siapa bilang, aku nggak punya otoritas?!” Rena menggertak.
Suasana yang tadinya ringan hanya untuk membahas berita pra-turnamen, sekarang agak menjadi tegang ketika aku tidak sengaja nyeletuk tentang ketua baru.
“Udah lah, kamu aja Grace, yang jadi ketua,” sahut anak dua belas yang lain.
“Udah ah, aku mau ke pembina dulu...”
“Tidak perlu, Mbak. Tidak perlu memperumit kalau soal penunjukan ketua baru. Soal pemilihan ketua, tidak harus dengan voting resmi. Kami setuju kalau Kak Grace dan Kak Nissa ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua.”
“Hah?!”
Aku terkejut. Tiba-tiba datang segerombol anggota kelas sepuluh dan anggota kelas sebelas, Nissa yang juga di antara mereka lantas juga terkejut. Setelah mereka—para junior—berani menghentikan mantan ketuanya yang sedang naik pitam.
“Tidak bisa be…”
“Kenapa tidak bisa? Ini hanya soal teknis tentang siapa ketuanya. Baik atau tidaknya suatu organisasi tergantung dari seluruh kontribusi anggota, tidak semata-mata karena ketua.”
“Iya, dan kalau pun ditanya kenapa harus Grace yang kami usulkan secara aklamasi dan tanpa voting resmi? Coba lihat, siapa yang sekarang sudah duduk di depan komputer dan menyusun konsep beritanya? Padahal dia sebagai senior dari anggota kelas sepuluh mampu menyuruh mereka tanpa dia harus ke sini lebih dulu. Dia lebih berdedikasi dibandingkan kami semua yang ada di sini. Juga mungkin termasuk kamu, Mantan Ketua.” Laila menggertak. Dia adalah anggota yang seangkatan denganku, kelas sebelas IPA. Siswi yang diketahui banyak penduduk sekolah—termasuk murid kelas dua belas— karena telah menyumbangkan juara dua dalam olimpiade sains tingkat regional.
“Kenapa bawa-bawa aku?! Jangan karena kamu juara olimpiade jadi se…” Rena tersendat.
“Kalian telah mempercantik idealisme organisasi pers kita tercinta ini. Benar yang dikatakan Laila tadi. Kualitas suatu organisasi tidak ditentukan semata-mata oleh siapa ketuanya, tapi karena sumbangsih dan konsistensi semua anggotanya.” Vio, mantan anggota organisasi yang sekarang tengah duduk di kelas dua belas menyumbangkan pendapatnya yang penuh motivasi.
Kegaduhan itu membuat Rena melengos kembali ke kelasnya. Teman-temannya yang lain masih di ruangan untuk melihat kami mengorganisir pembagian kerja dan sharing tentang penunjukan ketua dan wakil ketua baru. Perkumpulan kali ini menghasilkan perilisan berita baru di website, berita untuk mading sekolah, pamflet-pamflet baru tentang tim reguler dan desain spanduk baru yang akan dicetak oleh pihak OSIS dan dipasangkan di berbagai sedut sekolah untuk menyambut turnamen basket nanti.
“Pesanku, jaga kekompakan. Yang senior musti menjadi pembimbing yang baik, jangan karena lebih tua dan lama di organisasi, menjadikan kalian despot di sini. Ingat, organisasi tidak dibangun dan tidak hidup oleh hanya satu orang, melainkan karena kerja sama orang banyak di dalamnya. Saya selaku mantan wakil ketua, dan mewakili mantan anggota dari kelas dua belas, setuju kalau Grace dan Nissa dikukuhkan menjadi ketua dan wakil ketua organisasi pers kita tercinta.”
Deklarasi itu membuat kami terharu satu sama lain. Saling lempar senyum satu sama lain. Sibuknya kami, predikat baik yang kami dapatkan dari pihak atasan sekolah dan beberapa media kerja sama luar, adalah hasil kekompakan kami sebagai tim, sebagai keluarga, pontang-pantingnya kami yang selalu pulang telat demi menyelesaikan tugas organisasi demi sekolah tercinta, adalah manifestasi dedikasi kami.
Detik ini, aku resmi menjadi ketua baru organisasi pers, dan Nissa menjadi wakilku yang setia.
***
“Tama yang meminta. Dia tahu kalau aku punya potensi di basket. Ya sudah, apa boleh buat. Aku terima tantangannya. Aku duel satu lawan satu dengan Tio. Dan memang aku akui kalau Tio hebat. Tapi, aku masih bisa mengalahkan dia, meski aku harus berusaha keras melawannya.”
“Jadi, Tama memperhitungkan kamu? Tapi Kak Tio malah mengambil alih dengan syarat kamu musti melawan dia? Kalau kamu gagal, kamu nggak jadi masuk tim reguler?”
“Iya. Dia masih saja suka persaingan. But, it’s okay. I can do it.”
“Selamat…” Ucapan itu tercetus begitu saja.
“Kamu juga, selamat. Selamat telah jadi ketua organisasi pers yang baru…”
Sejurus kemudian, pipiku merah merona. Matanya menatapku dengan lembut. Alis tebalnya yang lembut dan bulu mata lentiknya yang menawan, sempat membuatku terkecoh bahwa urusanku awalnya adalah sederhana, hanya menanyakan tentang bagaimana bisa dia masuk dalam tim reguler basket. Namun, kini hanya seperti dua pasangan kasmaran yang tersisa di muka bumi.
“Makasih.”
Untuk memecah rasa canggung di antara kami, aku mencoba mencari pembahasan lain. “Besok malam, kita ke rumah Bu Ersa, ya.”
“Iya, bawa motor satu aja. Aku jemput kamu di rumah.”
“Hah? Nggak-nggak. Aku bisa berangkat sendiri!” Aku masih saja sok jual mahal. Padahal rasaku sebenarnya nggak ada masalah kalau aku dijemputnya.
“Mau diculik lagi kayak kemarin-kemarin?”
“Malik!!!” Aku menggertaknya. Aku trauma dengan kejadian penculikanku sebelumnya. Tidak ada pilihan lain selain bilang “iya” padanya. Tentu ini memang keinginan Malik, menakuti-nakutiku hanya untuk mendengar aku mau dijemputnya.
“Pemain yang masuk dalam tim reguler, otomatis juga mengemban perasaan mereka yang gagal masuk juga, kan?”
Malik mengangguk.
“Pokoknya, kamu musti kasih performa yang terbaik buat sekolah kita. Dan tidak hanya itu, kamu juga mengemban perasaan anggota yang belum bisa masuk tim reguler tahun ini. Kamu wajib membuktikan kalau kamu layak masuk tim reguler.”
“Siap, Komandan!”
Setelah mengatakan padanya kalau malam nanti ada pembahasan tentang materi buat persiapan acara besok, dia pamit. Nissa sudah keluar dari kelasnya dan telah menyapaku dengan riang. Kami pulang dengan membawa jabatan baru. Agaknya, aku musti menceritakan tentang informasi Malik barusan.
“Serius? Jadi dia duel dengan Tio dan dia menang?”
“Iya…”
“Emang tuh, anak ampuh banget. Selalu ada kesempatan buat nunjukin tajinya. Sekarang dia makin terkenal di kalangan tim basket, deh.”
“Nggak terlalu peduli juga soal itu. Yang penting aku besok bisa laluin acara dengan lancar.”
“Kemarin tiba-tiba ke rumah dan bawa es potong. Satu doang lagi. Kayak nggak ada kerjaan dia tuh, selain ngetuk pintu rumah orang.”
“Ha ha ha. Iya, kemarin habis keluar sama aku dia. Bungkus tiga potong, satu buat ibunya, dua lagi buat kamu, sama buat Bi Asih.”
“Ada aja tuh, anak. Sebelumnya juga gitu, tiba-tiba ke rumahku dan teriak-teriak kepedesan, minta minum. Nissa-Nissa, ambilin air sebotol!!!” terang Nissa sambil mempraktekkan gaya Malik ketika kepedesan.
Semakin hari bertambah, semakin bertambah pula keakuran kami. Seperti keluarga sendiri, begitu pun Malik. Dia semakin tidak sungkan untuk datang ke rumah. Ya, walaupun dari awal dia memang sudah tidak ada sungkan-sungkannya sama sekali.
Nissa pulang ke rumahnya setelah mencoba mencicipi resep terbaru dari Bi Asih. Aku lekas mengerjakan tugas sekolah sembari menunggu Malik ke sini untuk berdiskusi lagi nanti malam. Kemungkinan juga akan dibantu bunda. Sebab kekuatan sejarah bunda sangat kuat sekali. Juga kemampuan Malik dalam sejarah bisa mengimbangi bunda dalam segala aspek khususnya tentang feminisme, Hal ini membuat keduanya semakin dekat. Aku agak canggung ketika memikirkan, aku dan Malik seperti bukan sekadar teman biasa. Apalagi ketika dia tanya tentang “mengapa dia selalu membuntutiku”, yang masih menjadi pertanyaan hinggar sekarang.