Ada teori yang mengatakan bahwa pasivitas perempuan akan mulai terlihat menginjak umur 13 tahun. Sepanjang masa kanak-kanaknya, seorang gadis kecil mengalami penderitaan dilecehkan dan dibatasi kegiatannya. Walaupun begitu, gadis kecil tersebut merupakan individu yang otonom. Dalam hubungan dengan keluarga, teman-teman, dalam hal pekerjaan sekolah dan permain-permainannya, saat itu dia terlihat sebagai makhluk yang transenden: pasivitas masa depannya hanyalah sebuah impian.
Dengan pubertas, menegaskan bahwa masa depan tak hanya didekati. Namun juga menempel pada tubuhnya sendiri. Masa depan menjaga kualitas paling penting yang selalu dimilikinya. Hal ini menunjukkan suatu evolusi yang paling konkret. Sementara, seorang remaja laki-laki untuk menuju kedewasaan, dia mampu mempertahankan sikap reaktifnya. Si gadis menantikan periode baru yang tidak bisa diramalkan: sesuatu yang dimungkinkan akan menjadi beban. Masa remaja adalah masa transisi. Dari kekanak-kanakan, menuju pada perubahan mental kedewasaan—masa ini diharuskan seseorang mempunyai cita-cita yang valid. Sedangkan, masa remaja seorang gadis hanya dihabiskan dalam penantian, yang kurang lebih samar-samar. Dia tengah menantikan seorang laki-laki.
Si laki-laki remaja, tidak diragukan lagi bahwa dia juga menantikan hal yang sama—memimpikan perempuan. Dia merindukannya, namun perempuan yang diimpikannya dianggap tidak lebih sekadar sebuah unsur yang nggak mampu merubah atau mempengaruhi nasibnya. Sementara, si gadis semenjak masa kanak-kanak dia tetap tinggal dalam kehendaknya pada batas-batas feminitas, mencari seorang laki-laki sebagai pemenuhan dan pembebasan diri. Dia mengenakan wajah bercahaya milik Freya, Dewi Cinta dan kesuburan dalam mitologi nordik. Dia berharap menemukan Odur yang hilang secara misterius. Si gadis berpikir, di bawah pelukannya, dia akan merasakan dirinya terlahir kembali bersama dengan arus luas kehidupan, sebagaimana dia pertama kali muncul di muka bumi dan terbaring di d**a ibunya. Menyerahkan dirinya kepada kekuasaan laki-laki, dia akan menemukan rasa aman yang sama seperti saat dalam rengkuhan ayahnya. Keajaiban pelukan dan tatapan akan membuatnya membatu sekali lagi dalam sebuah patung pujaan. Prestise maskulin bukan sebuah khayalan gadis-gadis pada umumnya. Dia menganggap bahwa laki-laki adalah majikan dalam fundamen ekonomi dan sosial.
Memang benar, pubertas mengubah tubuh si gadis secara besar-besaran. Lebih rapuh ketimbang sebelumnya: organ-organ feminin mudah diserang dan lembek dalam fungsinya, bentuk p******a yang aneh dan mengganggu adalah beban, organ itu mengingatkan si gadis dengan getaran yang menyakitkan selama melakukan latihan atau kegiatan yang berat. Di masa mendatang, kekuatan otot, daya tahan dan kecekatannya dalam melakukan sesuatu akan menurun ketimbang yang dimiliki laki-laki. Timbulnya menstruasi yang sangat menyakitkan: pusing, kelelahan yang sangat, rasa nyeri di perut, membuat aktivitas sehari-hari berkurang, bahkan tidak memungkinkan untuk dilakukan. Hambatan-hambatan fisik kerap muncul: gugup dan mudah marah. Kesukaran-kesukaran seperti ketidakseimbangan hormon yang sehingga menyebabkan ketidakstabilan saraf dan vasomotor membuat tubuh si gadis menjadi kelihatan seperti sebuah tabir yang terletak antara perempuan dan dunia, sebuah kabut tebal yang menghinggapi, melumpuhkan dan memenggalnya. Freya berkelana, mencari Odur untuk mengubahnya hingga mempertahankan kembali batas-batas feminitasnya yang paripurna.
Begitulah kisah seorang gadis yang memotivasiku dalam tantangan kedewasaan. Mempersiapkan mental dan konsep kritis menyingkapi evolusi pubertas. Perempuan menjadi suatu entitas yang terlihat sangat minor ketika bersanding dengan laki-laki. Tidakkah hubungan yang terjalin antara keduanya hanya dijembatani transaksi nafsu belaka?
Aku selalu mengamati gelagat laki-laki ketika memperlakukan seorang perempuan di sekitarnya. Perempuan jelas-jelas lebih sibuk menata rambut dan menutupi dadanya agar tidak dijadikan objek kepuasan semata-mata oleh laki-laki. Sementara laki-laki sibuk mencari celah.
Peradaban saat ini perlahan-lahan merubah kesantunan manusia. Sejak para ilmuwan sibuk menelaah hakikat alam semesta sehingga lupa akan nafsunya. Sampai pada kecenderungan meneliti tentang manusia sampai tidak berdaya mempelajari konsep semesta. Era filsuf Thales hingga Demokritus, semuanya habis-habisan mengkaji konsep dasar alam semesta ini bekerja. Hingga munculnya kemerosotan, mulai dari era Socrates yang lebih mengutamakan ajaran etikanya, kemudian Plato yang ajarannya mengkonsepsikan penolakan inderawi dan lebih menekankan kepada pemikiran murni dari setiap manusia. Lalu Aristoteles yang mengajarkan tujuan adalah dasar memperoleh ilmu pengetahuan.
Aku membatasi diriku untuk tidak terlalu terkait dengan laki-laki, sebab fanatisme terhadap kebahagiaanku sendiri. Menurutku, kebahagiaan tidak perlu jauh-jauh mendapatkannya dari orang lain, hanya berfokus pada pemenuhan intelektual jasmani dan rohani pada diri sendiri.
Namun, akhir-akhir ini aku nggak bisa menjamin kalau aku bisa tetap idealis.
***
“Malik jadi ikut latihan basket nanti?” tanya Nissa.
“Nggak tahu dan nggak mau tahu. Udah ah, ayo pulang.”
Kami bergegas pulang karena langit sudah mulai menghitam. Sesampainya di rumah, aku langsun makan siang. Setelahnya, aku beranjak ke kamar dan merebahkan punggungku di ranjang. Sejurus kemudian, baru saja terlelap, aku teringat belum mengeluarkan ponsel di tas begitu sampai rumah. Aku langsung bangkit dari tempat tidur, meskipun mataku terasa berat dan mengajak kembali tidur. Aku cari-cari di dalam tas, dan menggerayangi buku yang mungkin saja terselip. Hasilnya nihil. Setelah lelah mencari, aku merebahkan diriku kembali. Sambil mengingat-ingat kutaruh di mana ponselku.
Ah, iya, Sepertinya ketika aku makan di Mas Arif tadi, tertinggal di meja. Ya, aku merasa nggak membawa kembali ponselku ke kelas.
Aish! Cerobohnya aku!
Sementara, Nissa sudah pulang dan kemungkinan sedang tidur siang di rumahnya. Inginku mengajaknya, tapi aku nggak mau ganggu istirahatnya. Sebab hari ini dia ada dua ujian harian, aku tahu kondisi kepalanya yang nggak kuat-kuat banget. Dan aku berani memastikan kalau itu mempengaruhi kondisi tubuhnya.
Kemungkinan Mas Arif juga masih di sekolah, karena hari ini merupakan jadwal anak ekskul basket latihan. Aku kemudian bergegas. Bunda masih belum pulang dari kampus. Aku ditanya Bi Asih dan aku jawab kalau aku mau ke sekolah ada sesuatu yang ketinggalan.
Di perjalanan, aku lumayan panik. Pasalnya, selain ponsel itu adalah pemberian Ayah, di dalamnya juga ada beberapa dokumen, foto, dan catatan-catatan yang penting. Toh, kalaupun ponsel itu dijual, harganya masih lumayan. Bisa kubuat beli buku bekas sekardus. Aku nggak mau pasrah gitu saja.
Begitu sampai di sekolah, aku langsung menuju kantin. Suasana sekolah masih cukup ramai, ada anggota OSIS, dan anak-anak yang mengikuti ekskul lain. Dan ternyata Mas Arif memang betul masih di sekolah. Sibuk mencuci piring dan mengelap meja.
“Mas Arif!” Aku menghampirinya sambil terengah-engah.
“Iya? Eh, Cah Ayu!”
“Mas Arif lihat ponselku yang ketinggalan di sini nggak?”
Mas Arif mengingat sebentar, sejurus kemudian memberitahu kalau ponsel itu sudah tidak ada di tangannya.
“Lalu di mana, Mas?”
“Tadi mau tak titipin ke satpam, tapi ada temennya sampean yang katanya mau ngasih ke sampean langsung.”
“Siapa, Mas?”
“Siapa, ya? Mikail… Michael…”
“Malik?”
“Nah, iya. Malik.”
Oh, s**t!