“Aku kemarin sore diajak dia main basket di sekolah kalian. Dan permainan dia lumayan juga. Tembakan lay up dia masuk terus di field goal area.”
“Terus?”
“Katanya, dia mau masuk ekstrakulikuler basket. Latihannya kan, setiap sore hari senin, rabu, sama sabtu, ya?”
“Besok sore berarti.”
Kami—aku, Nissa, dan Rendy sedang berbincang di Kedai Mbak Devi. Tak sengaja batang hidungnya aku jumpai di sini. Rendy masih memakai seragam kerjanya, dia bilang sedang istirahat makan siang. Rendy memulai menanyakan Malik ada di mana. Mengetahui sejak absen mata pelajaran terakhir, batang hidungnya tidak aku temui lagi di sekolah. Bahkan motornya yang setiap sekolah dia letakkan di tempat yang sama di dekat pohon halaman parkir sekolah, sudah nggak ada.
“Sialan tuh anak. Belum genap setahun sekolah di sini, pamornya udah melejit. Ditawar-tawarin masuk ekskul musik, tapi jatuhnya malah masuk ke basket.” Nissa menggerutu.
“Bisa main musik juga dia?” Rendy menyahut.
“Main musik sih, enggak. Tapi suaranya… Em, lumayan lah.”
Rendy menggelengkan kepalanya, seolah nggak percaya. Dia belum tahu saja kalau Malik juga lumayan nilai akademiknya. Tidak hanya naik daun di kalangan pelajar saja, tapi perlahan-lahan, dia menunjukkan tajinya di hadapan guru.
“Tapi, kalau di Bandung dulu dia sering tawuran, modifikasi motor, ugal-ugalan di jalan, kenapa sekarang nggak, ya?” Aku mulai memberikan konfrontasi.
Nissa akhirnya menjelaskan. Bahwa memang sekolah ini tidak mentolerir sama sekali terhadap aksi tawuran, juga mewajibkan setiap kendaraan yang dibawa pelajar harus dalam standar. Tidak diperkenankan adanya modifikasi. Kecuali, kalau pihak sekolah mengadakan event modifikasi. Pada saat itu, diperbolehkan para pelajar menunjukkan aksinya memodifikasi motornya masing-masing. Boleh dibawa ke sekolah hanya pada saat event itu berlangsung. Setelah event itu selesai, para pelajar kembali seperti sedia kala. Rambut rapi, sepatu hitam, baju dimasukkan (untuk laki-laki), celana agak sedikit kedodoran, dan alat transportasi standar.
Semua itu bisa terealisasi, sebab rutinitas pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak sekolah selalu berjalan. Juga sanksi yang diperingatkan oleh pihak sekolah mampu membuat para pelajar merasa ngeri bila melanggarnya. Pihak sekolah tidak segan-segan mem-blacklist pelajar yang melakukan tindakan kekerasan, dan tindakan lain yang tergolong tidak bisa ditolerir. Ya, ini memang sesuai reputasi sekolah kami. Untuk mencetak kedisplinan yang stabil, tidak ada toleransi terhadap pelanggaran.
“Benar juga. Mungkin itu termasuk faktornya. Lagian, seseorang bisa berubah juga karena faktor lingkungan di sekitarnya.”
“Tapi, ngomong-ngomong, akhir-akhir ini Malik sering cerita ke aku soal kamu.”
***
Malik menggandengku, kami terus berjalan menanjak untuk menyongsong awan tebal di pucuk Semeru itu. Aku sudah terengah-engah. Malik membiarkan aku berjalan lebih dulu. Kemudian silih berganti, dia yang berjalan di depanku. Ketika langkah kakiku sudah sangat berat, dan jantungku memompa semakin cepat, Malik memutuskan berhenti istirahat sejenak.
Dia tersenyum ke arahku. Melepas topi rajut di kepalaku dan mengusap rambutku dengan penuh lembut. Sejurus kemudian, dia menatap puncak semeru itu. Menandakan wajah tidak sabar untuk segera menghempaskan teriakannya dan menghilangkan letihnya di puncak. Para pendaki lain di bawah masih tetap meneruskan perjalanannya. Mulut mereka tidak berhenti komat-kamit menyerukan doa.
Kami meneruskan perjalanan. Tinggal sedikit lagi kami berhasil meraih puncak.
“Grace, kamu mau ke kampus mana?”
“Targetku ke UI.”
“Menurutmu, aku bisa juga ke sana?”
“Ya, of course! You can do it, Malik.”
“Bagaimana Darwin waktu itu mencetuskan teori evolusinya, yang sampai sekarang teori itu masih diyakini walaupun hanya beberapa persen populasi manusia di dunia?”
“Entahlah, semua berawal dari keresahan Darwin sendiri. Dia mengkaji sesuatu, karena dia nggak mau terus-menerus resah dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum ada jawaban objektifnya.”
Kami sudah berpijak di ketinggian 3676 MDPL. Malik merebahkan dirinya, kemudian aku menyusul. Para pendaki lain yang baru datang bersorak-sorai merayakan keberhasilannya menuju puncak paling tinggi Pulau Jawa.
Malik berdiri dan melihat pemandangan di bawah dari atas. Kemudian aku menghampiri dirinya. Matanya berbinar-binar.
“Menurutmu, kenapa orang-orang takut terhadap ketinggian?”
Sejurus kemudian setelah membuka matanya, Malik menjawab, “Orang-orang tidak takut ketinggian, Grace. Mereka hanya takut akan jatuh.”
Aku memandangnya. Mengkaitkan tangan kemudian bersandar di sampingnya.
“Sama seperti bilang aku mencintaimu. Seseorang sebenarnya nggak takut bilang i love you, mereka hanya takut dengan jawabannya.”
“Are you scare?”
“I mean, aku tahu kamu nggak menganggapku lebih dari sekadar temen. Juga aku tahu itu karena kamu termasuk orang yang bisa bedain temenan tanpa melibatkan perasan.” Malik menutup matanya. Menghembuskan napas kuat-kuat.
“Are you scare?”
“I am so scare.”
“Penolakan adalah penyebab suatu alasan dari timbulnya rasa takut…”
“Iya…”
“Menurutku, kenapa harus takut? Bukankah kamu selayaknya menghadapi rasa takutmu itu?”
Malik membuka mata perlahan. Menghadap ke arahku. Memegang daguku dan wajahnya kini mendekat. Sejengkal deru napasnya bisa kurasakan.
“I love you.”
Aku membuka mata, cahaya matahari masuk melalui fentilasi jendela kamar. Aku masih membuka mata, setengah melamun, sambil memingat. Badanku terkujur kaku. Hanya napasku yang masih terengah-engah.
Tenang, Grace. Itu hanya mimpi.
***
Pagi hari ini langit sedikit mendung. Beberapa wajah pelajar lain masih terlihat kusut dan mengantuk. Memang, cuaca mendung dengan suhu yang dingin, tempat tidur di rumah seolah-olah nggak mau jauh dari kami. Nissa sudah selesai menggerutu. Hari ini di kelasnya ada dua mata pelajaran yang mengadakan ujian harian.
Setelah mengucapkan semangat dengan sedikit ejekan, kami berpisah di ujung koridor untuk menuju kelas masing-masing.
“Grace!”
Aku menoleh.
“Mimpi apa semalam?”
Malik baru saja datang dari arah belakang. Melayangkan pertanyaan yang nggak ingin aku jelaskan jawabannya. Tentu lebih baik aku diam daripada berbohong.
“Mimpi aku?” sambungnya dengan nada sedikit selengekan.
“Oh, jangan-jangan kamu yang ada di balik mimpi…” Aku menahan kalimatku. Aku sedikit kesal, mengapa momentumnya tepat sekali. Setelah semalam aku memang mimpi sesuatu yang berhubungan dengan dia. Lalu paginya di sekolah dengan sangat tepat dia mengajukan pertanyaan itu. Aku kira memberikan guna-guna atau semacamnya. Atau mungkin dia menempelkan sesuatu di tubuhku?
Aku menggeleng.
“Aku? Aku kenapa?”
Demikian aku diselamatkan oleh Rada yang juga menyusul dengan teriakan dari arah belakang. Keburuntungan ini berhasil mendistorsi pertanyaan Malik yang tidak mendapatkan jawaban.
“Aku lihat-lihat, akhir-akhir ini kamu dekat dengan Malik.”
“Eh, enggak kok. Aku sedikit terlibat urusan dengan dia karena posisinya sebagai ketua kelas, sementara aku wakilnya.”
Pertanyaan kedua yang sangat mengejutkanku pagi ini digencarkan oleh Rada. Tidak biasanya dia langsung to the point.
“Lagi pula, dia juga sepupunya Nissa. Aku sahabatan dengan Nissa sejak kecil. Ya, mungkin karena itu juga, aku jadi terlihat dekat dengan Malik. Padahal ya, biasa saja. Seperti temen biasa.”
Rada menganggukkan kepala. Kami sudah duduk di bangku. Pak Bagus sudah masuk kelas dengan perut buncitnya dan selesai menyapa.
Duh, hidupku kok terlihat menjadi sibuk begini ya, sejak ada Malik.
“Malik, setelah pelajaran saya, silakan menemui saya di ruang guru.”
Pak Bagus memulai kelas dengan sapaan yang tidak biasa.
Malik? What happen?