Brandal Sekarang Belum Tentu Brandal Masa Depan

1961 Kata
“Rada belum pulang?” Aku terkejut mendapati Rada yang masih berkeliaran di dalam sekolah. “Eh, Grace… Belum, nih. Kamu ngapain di sini?” “Ponselku ketinggalan di Mas Arif tadi. Kamu?” “Ini aku mau beli siomay-nya Mas Arif.” “Oh, ya sudah, kalau gitu. Aku duluan, ya…” Setelah itu, aku segera mencari Malik di lapangan basket. Beberapa anggota ekskul basket sudah berkumpul di lapangan. Tapi, aku tidak mendapati Malik di sana. Di tribun pun tidak ada. Kemudian aku mengitari seisi sekolah. “Malik!” tegurku ketika aku menemukannya sedang memakai sepatu di dalam kelas. Dan dia hanya tersenyum. “Mana ponselku?” sambungku agak ketus. Dia tidak bereaksi dan masih serius mengkaitkan tali pada sepatunya. Sementara, ponselku ada di atas meja, dan segeralah aku mengambilnya. “Eh! Nggak bilang makasih?” Dia menegurku begitu aku sudah mau keluar dari dalam kelas dengan ponsel yang sudah aku ambil alih kembali darinya. “Terima kasih, Malik Adnan Pratama.” Aku menuju tempat parkiran sepeda motor dengan langkah tergesa. Anggota lama ekskul basket sudah mulai berbaris melingkar di tengah-tengah lapangan. Aku mengingat Malik yang baru selesai memakai sebelah sepatunya. Sementara, mengingat dia yang termasuk anggota baru, dia sudah berani terlambat di hadapan pada anggota lama. Di saat tengah fokus menghitung-hitung jumlah anggota ekskul basket, aku menemukan sosok yang familiar berdiri gagah di sana. Dia tersenyum padaku. Anggota basket yang sudah berkumpul melingkar tadi, membubarkan diri dan mulai pemanasan secara individu. Bola basket dibiarkan, dan belum boleh disentuh sebelum pemanasan usai. Kak Tio yang melihatku tadi, tiba-tiba mengarah padaku. Ketika dia tengah berlari ke arahku, aku melihat teman-teman ekskul basketnya yang lain juga melihat ke arahku. “Ikut ekskul apa?” tanyanya. “Eh, nggak kok, Kak Aku nggak ikut ekskul apa-apa.” “Terus ngapain di sini?” Wajahnya terlihat sumringah. Lesung pipinya terlihat setiap dia bicara. “Ponselku tadi ketinggalan.” “Hah? Sudah ketemu?” dibalasnya dengan nada sedikit panik. “Sudah kok, Kak. Ini…” jawabku sambil menunjukkan ponsel yang masih aku pegang. Tengah mengobrol basa-basi dengan Kak Tio, aku melihat ke arah kelasku—si Malik belum juga keluar. “Kenapa?” tanya Kak Tio yang seolah-olah tahu aku sedang memastikan ada orang lain di kelasku. Sedikit bingung dan ragu mencari alasan apa, aku mencoba mencari alibi yang membuatnya melupakan gelagatku barusan. “Temen-temen kakak kayaknya mikir kalau kita ada hubungan, deh?” Aku sambil melihat ke arah lapangan basket yang sejak tadi ada beberapa anak seperti memperhatikan aku dan Kak Tio. Kak Tio melengos. Aku tahu senyumannya tengah dia sembunyikan. Aku sedikit lega kalau alibiku sukses. “Akan,” katanya. Dih, batinku. Sementara aku mengingat kalau Malik belum keluar kelas dan sekarang aku sedang ketemu dan ngobrol dengan Kak Tio, aku cepat-cepat mencari solusi agar obrolan basa-basi dengan Kak Tio ini bisa segera berakhir. Cukup berisiko kalau begitu Malik keluar kelas dan melihat aku ketemu dengan Kak Tio. Masalah apa yang akan dia buat. Bisa-bisa dia nggak jadi ikut ekskul basket, dan kemungkinan parahnya kalau dia sampai berantem dengan Kak Tio—mengingat Malik juga punya sifat keras dan pernah berantem bahkan tawuran, bisa saja dia terancam di-blacklist di sekolah ini. Ya, aku bisa saja bodoh amat dengan mereka berdua. Tapi, Malik dan Kak Tio ini keduanya sama-sama temanku. Aku nggak mau ada kemungkinan buruk terjadi pada mereka. “Em, aku pulang duluan ya, Kak. Takut dicariin bunda,” ngeles-ku. Seperti memaklumi dan tak ingin mencegahku, Kak Tio membiarkan aku pergi. Aku segera menuju halaman parkir di mana aku meletakkan motorku. Begitu aku naik motor dan akan mentautkan helm-ku, Malik datang dari arah kelas. Dia menghampiri dengan langkah tergesa. Kemudian diraihnya pengkait yang ada di helm-ku dan ditautkan olehnya. “Sudah, Bos! Kepala anda sudah terlindungi. Anda sudah bisa berkendara dengan aman.” Aku cukup kaget dengan tangannya yang langsung meraih pengkait di helm-ku. “Ish, apaan, sih, Malik?!” ketusku. Secara tidak sadar aku mengucapkan kalimat ketus itu, senyumku mengembang dengan sendirinya. “Kenapa malah ke sini? Anggota basket yang lain sudah mulai, loh.” “Aku belum bilang hati-hati sama kamu.” “Kamu nggak bilang pun, aku tetep hati-hati, kok.” “Em, tepatnya…. Aku pengin kalau aku adalah sosok yang kamu lihat, dan suaraku adalah suara yang kamu dengar, sebelum kamu keluar dari sekolah ini.” Aku terpaku. “Hati-hati… Aku gabung sama yang lain dulu, ya?” Beberapa detik kemudian dia menghilang dari hadapanku. Aku masih terpaku. Maksud kalimatnya tadi apa? Berarti dia sempat lihat aku ketemu dengan Kak Tio tadi? Batinku. Dan tidak tahu kenapa, ada perasaan nggak enak ketika mengetahui kalau isi batinku itu benar. *** Aku sedang minum kopi di persimpangan jalan menuju Surabaya. Aku habis ikut menemani Bunda di Konferensi Dosen Biologi se-Jawa Timur dalam rangka Perencanaan Metode Pembelajaraan Baru dalam menghadapi era 4.0. Kami naik mobil dari Surabaya menuju Jember. Aku tidak tidur sepanjang perjalanan karena iba melihat bunda sebab harus menyetir mobil sendirian. Aku menahan rasa kantuk sepanjang di perjalanan agar bunda tidak merasa kesepian dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sesekali aku juga video call dengan ayah untuk menemani kami mengobrol sepanjang perjalanan. Sebenarnya, ayah menyarankan untuk bunda menyewa sopir untuk satu hari ini, sebab perjalanan dari Surabaya ke Jember juga termasuk jauh. Terlihat cemasnya ayah sampai-sampai menyarankan bunda untuk menyewa sopir. “Sejak dulu, ayah nggak pernah mau bunda dibonceng laki-laki lain. Siapapun dia, apapun profesinya. Dalam beberapa sudut pandang perempuan lain, mungkin menjengkelkan menghadapi sosok suami yang overprotektif seperti itu.” “Tapi, ayah khawatir sama bunda.” “Bunda hanya menjaga keinginan ayah. Sebenarnya ayah meminta bunda menyewa sopir bukan semata-mata karena khawatir, tapi juga terpaksa karena keadaan.” “Keadaan?” “Ya, bunda anggap itu sisi lain keromantisan ayah. Bunda bersyukur sebab ayah masih punya kekhawatiran.” “Tapi, bagaimana cara bunda menjaga hubungan dengan ayah, meski harus terhalang karena jarak?” “Bunda nggak tahu. Mencintai itu tidak ada tekniknya, tidak harus begini dan begitu. Cinta itu juga sebenarnya tidak bisa dibungkus dengan pernikahan yang statusnya adalah mengikat hubungan. Kalau orang sudah cinta, dia akan mengikat seluruh nafsu yang tidak dibutuhkan. Cinta akan membutakan seseorang dari orang lain yang tidak dicintainya. Cinta akan selalu menjaga nafsu seseorang untuk disalurkan hanya kepada satu orang yang dicintainya. Meskipun tanpa menikah, meskipun jaraknya setinggi dan sejauh bulan. Entitas cinta tetap absolut. Kalau ada perasaan yang berubah, mustinya tidak boleh menyalahkan keadaan. Memang sejatinya itu bukanlah cinta. Kalau cinta, kestabilan itu tidak bisa diubah.” “Jadi, maksud dari cinta itu buta adalah membutakan dua orang yang saling mencintai dari faktor-faktor luar ya, Bun?” “Ya, Sima. Bukan laki-laki ketika mencintai akan buta terhadap perempuan yang dicintainya, atau sebaliknya. Melainkan laki-laki dan perempuan yang saling mencintai, akan buta melihat orang lain yang potensial merusak hubungan mereka.” Pukul 07.00 malam, aku dan bunda telah sampai di rumah. Bunda membawakan beberapa bahan buat diolah Bi Asih untuk disajikan sebagai makan malam. Aku lekas ganti baju dan segera membuka ponsel. Aku kirim pesan grup di line untuk menanyakan hari ini di sekolah ada tugas atau tidak. Sekiranya tidak, aku bisa istirahat segera. Perjalanan di Jember, sekalipun aku hanya duduk selama sekitar 7 jam, itu sudah membuatku pegal. Setelah mendapatkan balasan dari beberapa anak kelas bahwa tidak ada tugas buat pelajaran besoknya, aku menghampiri bunda yang tengah berbaring di kursi panjang ruang tamu sambil menonton televisi. “Bunda… Dulu waktu masih muda, ayah orangnya kayak gimana?” Bunda langsung bangkit dari tidurnya dan duduk tegak sembari mengecilkan volume televisi. “Ayah itu dulu orangnya nakal. Sejak SMP, sukanya ngerokok, kumpul sama anak-anak berandal, tampilannya kayak anak punk. Tapi, ayah bukan pemakai. Dia jalani kehidupan SMP-nya dengan berantakan. Tapi, hebatnya ayah, dia nggak pernah dikeluarin dari sekolah. Ada aja kesempatan buat ngeles.” Bunda mengingat-ingat sambil tersenyum. Seolah-olah di dalam kepalanya, ada ilustrasi betapa nggak keruannya ayah waktu itu. “Jika saja, ayah sering dikeluarin dari sekolah, mungkin ayah sudah tua.” “Bukannya sudah tua ya, sekarang, Bun? He he.” Bunda nyekikik. “Mungkin karena ayah sebenarnya orangnya pintar. Jadi pihak sekolah merasa sayang kalau ayah dibuang di sekolah lain.” “Tapi, kenapa ayah sampai bisa kuliah di ITB dan pernikahan ayah sama bunda bisa berjalan awet sampai sekarang?” “Semua itu terjadi, bermula ketika ayah ingin mendaftar ke SMA.” Ayahku, Ferdi Wandanaya—yang pernah kubilang kalau dia adalah pahlawanku. Beberapa orang segan terhadap kepintarannya, tapi di satu sisi, orang lain nggak bisa menerima attitude-nya yang dianggap brandal. Kenapa kedua karakteristik itu seolah-olah bisa berjalan beriringan? Di satu sisi dia di-cap sebagai brandal, di sisi lain juga dianggap pintar. Bukannya itu seperti tidak bisa dikorelasikan? Maksudku, seseorang bisa pintar, sebab menjauhi kenakalan. Tapi, ayah? Puncak kekagumanku terhadap ayah adalah di hari ketika bunda menceritakan sosok ayah yang sebenarnya. Sejak SMP, ayah memang perokok, suka pulang malam, berantem, dan suka genre musik rock yang ketika ada konser, penontonnya menikmati sambil seperti orang sedang tawuran. Aku lupa istilahnya. Ya, ada saling tendang, dorong-dorongan. Kebiasaan itu dilakukan sampai dia lulus SMP. Setelah kelulusan dan orang tua ayah mengharuskan dirinya untuk melanjutkan ke SMA, ayah seperti nggak punya hasrat. Padahal dulu kakek dan nenek—orang tua ayah, ingin sekali anaknya menjadi Taruna. Tapi, melihat kebiasaan ayah yang merokok, tidak suka olahraga, bahkan sekolah pun nggak terlalu serius, sepertinya faktor itu tidak bisa mendukung keinginan orang tua ayah waktu itu. Hingga suatu saat ayah mampu mencemaskan masa depannya sendiri. Lantas, ayah mendaftar di berbagai SMA Negeri di Samarinda. Nahasnya, kebanyakan SMA di Samarinda menolak pelajar lulusan SMP dengan attitude yang kebanyakan C. Bingunglah ayah di situ. Ketakutan semakin ke mana-mana, sebab SMA di Samarinda yang sudah dia datangi, menolak semua. Karena Ironis melihat ayah, lalu kakek turun tangan memberikan saran. Ayah diterbangkan ke Yogya dan ikut Om—abangnya ayah— di sana. Dicarikan oleh Om, sekolah tingkat SMA yang mau nerima ayah, sekalipun itu swasta. Karena Om kenal cukup dekat salah seorang kepala sekolah di salah satu sekolah swasta di Yogya, dimasukkannya ayah di sekolah tersebut. Tapi ayah tidak memilih SMA, melainkan SMK. Semakin pupuslah keinginan kakek dan nenek untuk menjadikan ayah seorang Taruna. Sebab syarat Taruna adalah harus lulusan SMA. Melihat kebiasaan masyarakat Yogya yang cenderung kalem, lembut, dan bahasa-bahasanya yang santun, ayah menemui perubahan dalam dirinya. Sifat berandal masa SMP-nya di Samarinda tidak bisa terlampiaskan dengan baik di Yogya. Lagipula, dia juga tinggal dengan abangnya. Maka, sedikit banyak, ayah juga berada dalam kendali abangnya. Dan puncak perubahan ayah adalah ketika nenek meninggal. Di situlah perenungan ayah dimulai besar-besaran. Kebiasan seperti pulang telat, ngomong kasar, mendengarkan dan menonton konser musik rock, mulai dia tinggalkan. Dan semakin seriuslah dia belajar. Ketika ayah sedang mengalami masa-masa tahun terakhirnya di SMK, dia bilang ke kakek bahwa dia ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Ayah adalah salah satu dari segelintir murid SMK yang punya inisiatif buat kuliah. Sampai pada saat pendaftaran, ayah memilih perguruan tinggi di Bandung yang jelas membuat Om dan Kakek terkaget-kaget karena pilihannya. Hingga dia terpilih di Institut Teknologi Bandung jurusan teknik pertambangan, sesuai dengan keinginannya! “Dengan sifat ayah yang seperti itu, bagaimana dia mampu menjaga hubungan pernikahan dengan bunda?” Aku mengangguk lugu. “Samarinda dan Yogya adalah kota paling berkesan buat ayah dengan segala evolusinya. Dia memang suka berantem, bergaul, pulang larut malam dengan teman-temannya, tapi satu hal yang jadi prinsip ayah adalah dia boleh berkeliaran dan bermain ke mana pun dan kapan pun dengan teman laki-lakinya, tapi dia seumur hidup nggak akan memainkan perempuan. Karena dia selalu mampu merasakan dan mengingat betapa berharganya jiwa dan raga satu perempuan… Dan ayah sama bunda memilih Surabaya sebagai satu kota yang menjadi penengah antara Samarinda dan Yogya.” Kedua mata bunda berkaca-kaca. Aku sudah tersungkur di paha bunda dan dielusnya rambutku dengan penuh kasih sayang. Memang, keistimewaan tidak langsung jatuh dari langit ke kepala manusia, tapi keistimewaan itu juga dibentuk dengan kerja keras, kesabaran, dan keuletan. Ketika aku lihat ke langit-langit rumah setelah mendengarkan cerita tentang ayah, aku melihat satu manusia lain terlintas di kepalaku. Bi Asih datang dengan kabar baik. “Makan malam sudah siap!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN