Berulang kali aku mengingatkan diriku kalau menjadi manusia adalah impianku setiap hari. Kebanyakan orang masih mengklasifikasikan laki-laki dan perempuan dalam satu entitas. Yang sebetulnya di antara entitas itu muncul satu celah untuk menonjolkan yang mana yang lebih unggul. Padahal keduanya hidup dalam satu kesimpulan, yakni manusia.
Ketika ayahku pulang beberapa bulan lalu dan mengajariku cara menjaga hati, aku mulai mampu membedakan antara mengaktifkan pikiran dan perasaan dalam suatu kondisi. Saat aku berupaya untuk menemukan pengetahuan yang benar, di situlah aku memakai konsep berpikir. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama, oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini adalah landasan atau prinsip bagi proses penemuan kebeneran tersebut. Bila proses berpikir ini sudah diaktifkan, maka seseorang secara tidak sadar akan masuk ke dalam konsep bernalar, suatu proses kerohanian yang lebih substansial.
Bernalar adalah suatu rangkaian proses berpikir. Sebagai suatu kegiatan berpikir, maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas disebut logika. Dalam hal ini, maka bisa dikatakan bahwa tiap bentuk penalaran punya logikanya sendri. Atau bisa disebut juga bahwa penalaran merupakan suatu proses berpikir yang logis. Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikir.
Sesuai yang dicamkan oleh mayoritas orang bahwa perempuan lebih mengandalkan perasaan daripada logika, apakah hal tersebut benar? Tidak.
Kamu boleh setuju boleh tidak. Tapi hakikatnya, porsi berpikir perempuan itu tidak dibedakan dengan laki-laki. Hanya kalkulasi pribadi yang menentukan apakah pikiran itu diaktifkan dalam suatu kondisi atau tidak.
Sedangkan kata ayahku lagi, perasaan itu suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Itulah kenapa kebanyakan perempuan disebut secara aklamasi sebagai makhluk yang perasa karena didiagnosa penggunaan pikiran dan perasaan yang tidak seimbang. Bisa ditemui di banyak kondisi bahwa perempuan lebih sering menangis daripada lelaki. Padahal bukan karena dia adalah perasa, melainkan mungkin benar kodratnya bahwa ketika perempuan menangis, agar lelaki melupakan tangisnya sendiri. Padahal sebetulnya proporsi kemauan untuk menangis itu sama saja di antara keduanya.
Ayah juga mengajariku soal jatuh cinta. Pernah dia bilang bahwa cinta adalah energi yang paling purba yang ada di dunia. Apalagi di zaman sekarang, di mana sikap individualistik menyebar di setiap orang. Adanya klasifikasi manusia terdiri dari lelaki dan perempuan, konsep patriarkis dan feminis, hal ini menyebabkan kita cemas bahwa akankah kedua entitas itu bisa menjalin cinta sejati seperti yang digambarkan William Shakespeare dalam Romeo dan Julietnya. Dan lagi-lagi aku selalu ingat bahwa perasaan itu adalah suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Siapapun bisa jatuh cinta, tapi jatuh cinta tidak banyak dirasakan oleh siapa saja.
“Kalau suatu saat berdebar jantungmu, teduh dan sayu pandanganmu melihat lelaki di depanmu, jangan terburu mengucapkan dalil aku sayang padamu. Menyayangi bukan hanya tentang debaran jantung, bukan hanya tentang hingar-bingar cerminan mata, tapi soal perjalanan jauh sebelum-sebelumnya yang dibangun. Dan menyayangi bukan tentang karena. Karena tampan-rupawan, karena kaya, karena sederhana, karena pintar, karena sabar, atau karena-karena yang lain. Menyayangi tidak bisa ditemukan jawabannya. Menyayangi adalah kerohanian luar biasa yang terpatri jauh dalam jiwa seseorang. Kalau saja ada sedikit karena, berhentilah membayangkan kehidupan ke depan dengan orang tersebut, karena bisa dipastikan perasaanmu akan musnah.”
Ayah bukan sastrawan, bukan seniman ataupun budayawan. Ayah hanya seorang yang berpengalaman, dan aku sedang belajar dan percaya pada pengalaman Ayah, dan bukan Ayah yang aku percaya. Setiap edukasi etika, moral, agama, sosial dan lain-lain aku pelajari pada Ayah bukan semata-mata aku percaya pada teori dari Ayah, melainkan Ayah punya pengalaman autentik mengenai sejarah hidup yang telah dia lewati. Dan aku hanya diberikan intisari oleh Ayah tentang semua yang telah dia lewati itu. Dalam konsep itu, aku sudah mampu membenarkan bahwa Ayah adalah hero karena pengalaman dan pengetahuan yang telah dia mampu wariskan padaku. Hingga pada usia sekarang, aku bisa mampu menjaga diriku untuk tidak segera mencintai kekasih. Dan aku tidak pernah bisa membayangkan kalau aku bisa mencintai.
***
“Ish, bisa nyanyi juga?” Nissa menggertak begitu Malik begitu turun dari panggung dan menuju ke arah kami.
Malik tersenyum nyengir. “Biasa aja. Ya, begitulah kalau keadaan orang lagi kepepet. Tiba-tiba kesaktiannya muncul.”
“Gayamu, Lik.”
Teman-teman yang lain, termasuk personil yang sudah tampil tadi ikut berkumpul. Edward, Ica, dan Dicky melayangkan pujian yang serupa seperti Nissa tadi, sama seperti halnya aku dan Nissa yang tidak menyangka bahwa dia yang menjadi vokalisnya.
“Tahu gitu aku ajak tanggapan, Lik. Lumayan dapet receh. Hahaha.” Edward menggelitik. Mereka salimh bercanda satu sama lain. Merayakan tugas mereka yang hampir saja mengalami kekacauan.
Tanggapan yang dimaksud Edward itu semacam konser. Istilah yang biasa dipakai oleh orang Jawa Timuran. Edward memang aktif dalam dunia permusikan di luar sekolah. Karena juga difasilitasi oleh Ayahnya yang juga pemusik dan pemilik suatu grup orkes musik.
Nissa menyikutku. “Diem aja, Grace.”
Spontan, teman-teman yang lain melihatku. Yang nggak tahu harus ngapain selain melihat tawa penuh kelegaan teman-teman.
Duh, canggung banget.
“Nggak mau ngasih selamat?” Malik mendekat dan tiba-tiba mengulurkan tangan.
“Selamat?” sahutku dengan sedikit bingung.
“Ya, selamat. Selamat karena sudah berhasil memenuhi tanggungjawabku sebagai ketua kelas.” Dilanjutkannya sambil nyengir dengan kedua alis terangkat sedikit.
Mau tidak mau, dan entah mungkin karena nggak sadar, aku membalas uluran tangannya. Tuhan, I’m so bashful.
Seperti yang diketahui Nissa dan teman-teman yang lain, aku dianggap tidak begitu dekat dengan Malik. Bermula dari kejadian pemilihan pengurus kelas, dan nada ucapanku ke Malik yang sering kurang enak didengar, sikapku yang dingin ke Malik, pokoknya banyak, deh. Refleksi yang selalu kurang enak dari aku ke Malik. Mungkin sampai detik ini pun, hubunganku dengan Malik masih belum dianggap baik-baik saja karena dianggap aku masih belum terima Malik sebagai ketua kelas.
Biarpun begitu, kejadian di Kedai Mbak Devi kemarin sedikit mengaburkan sudut pandang Nissa tentang kekakraban yang mulai sedikit terbangun antara aku dengan Malik akhir-akhir ini. Bahkan pagi tadi sebelum kegiatan dimulai, aku dengan Malik menghampiri Wali Kelas buat membicarakan kesiapan konsep acara kelas, membicarakan pembagian team; siapa yang menjadi seller produk media sponsor, dan siapa yang menjadi sie konsumsinya. Dan saat sharing itu, aku dan Malik ya, lancar-lancar saja, ngomong santai, dan seperti telah melupakan keributan sebelum-sebelumnya.
“Udah baikan nih, kalian?” Fyora menegur sambil memberikan kode mata yang menggelikan. Ya, kamu tahu lah seperti apa gambarannya.
Aku sangat canggung ingin menjawabnya. Keramaian candaan tadi berubah menjadi obrolan yang berat. Mungkin ringan bagi mereka, tapi bagiku yang merasakan sendiri adanya pergantian siklus ekspresi dari sebelumnya ke Malik, menjawab pertanyaan tadi menjadi sangat mendebarkan. Terlepas dari itu, saat ini tidak hanya satu-dua orang yang sepertinya menunggu jawabanku, tapi mereka semua yang ada di situ.
Dan yang paling mengesalkan juga, terlihat Malik juga menunggu aku menjawab. Hal yang seharusnya tidak ingin aku beritahukan, khususnya pada dia. Karena bila aku menjawab kalau memang aku sama dia sudah baik-baik saja, maka bisa saja olehnya jawabanku diplesetkan menjadi makna yang lain.
Sekali lagi aku teringat pesan Ayah, kalau jangan asal mengucapkan sesuatu yang berhubungan dengan lelaki, sebab agresivitas lelaki lebih tidak terkontrol dalam menghalusinasikan sesuatu daripada perempuan. Bisa saja aku bilang kalau kami sudah baik-baik saja atau sudah akur, Malik atau yang lain menyambar; “Oh, berarti lagi deket?” Hal ini sangat berbahaya.
“Sebentar lagi bel pulang!” jerit seseorang lantas membuyarkan kerumunan termasuk anak-anak kelas kami.
“Penobatan kelas dengan konsep acara terbaik jadinya kapan?” seru Edward.
“Besok, Edi!” timpal Dicky, yang terbiasa memanggil nama Edward dengan panggilan Edi karena menganggap lidahnya sebagai orang Jawa kesulitan mengucapkan nama Edward. Dan selalu saja ketika Dicky memanggilnya dengan nama itu, wajah Edward langsung berubah menjad muram.
Bel pulang sekolah selalu mempersatukan seluruh murid. Hal ini menguntungkanku saat terjebak dalam situasi yang mencekam seperti tadi. Setelah merapikan alat musik masing-masing dan usai membereskan urusan dengan media sponsor, kami bergegas pulang.
Siang ini aku pulang sendiri karena Nissa ada kerja kelompok bersama teman kelasnya. Dia mengantisipasi dengan membawa kendaraan sendiri dari rumah kalau misalnya aku enggan ikut dengannya.
“Grace!”
Ketika aku hendak keluar kelas dan ingin mengambil motor di parkiran, tiba-tiba ada seseorang yang teriak memanggil namaku. Aku cari sumber suara itu dan aku mendapati sosok yang begitu membuatku terkejut.
“Aku mau ngomong sebentar,” ujarnya begitu mendekat.
“Mau ngomong apa, Kak?” tanyaku gugup.
“Masih mempertimbangkanku?”
Aku termenung. Duh, aku merasa hari ini adalah hari yang benar-benar mencekam. Selalu ada situasi yang tidak terduga menekan kondisi psikisku tiba-tiba.
“Em, maaf…”
“Grace!” teriak lagi-lagi seseorang menghentikan ucapanku. Aku mencari sumber suara itu.
“Anter aku pulang, ya? Aku nggak bawa motor.” Terlihat sorot kepanikan dari wajah Malik yang membuatku ingin tertawa di tempat, tapi masih bisa kutahan. Tidak biasanya dia merengek panik seperti itu.
Dan sepertinya aku mulai menemukan raut muka sebal dari Kak Tio karena merasa ketepatan suasana ngobrol denganku telah diganggu oleh murid baru. Dengan segera aku menggubris Malik sembari mencuatkan reaksi yang sedikit jengkel karena teriakannya barusan yang betul-betul mengganggu. Ya, meskipun adanya dia yang secara tiba-tiba itu memang sangat menguntungkanku dari situasi mencekam dengan Kak Tio tadi.
“Kak, maaf, ya. Ngobrolnya ditunda dulu. Aku harus nganterin dia pulang, takut dicariin emaknya.” Ujarku dengan sedikit nggak enak.
Dengan sedikit ragu-ragu juga, Kak Tio mempersilakanku pergi walaupun aku sedikit yakin kalau dia begitu karena ingin mempertahankan sekaligus menjaga wibawanya di hadapanku.
Aku menuju parkiran motor dengan Malik yang sedang memegang kunci motorku. Aku berjalan mengekor.
“Sebentar, ya. Mau ke satpam dulu.”
“Mau ngapain?”
Tidak menjawabku dan Malik langsung menyusur ke Pak Ridho—satpam sekolah.
“Motor saya bakal di sini semalaman. Aman, kan, Pak?”
“Aman.”
Setelah meninggalkan Pak Ridho dan menuju ke parkiran motor, aku bilang ke Malik; “Katamu nggak bawa motor?”
“Daripada kamu digangguin cowok tadi. Aku tahu kamu nggak suka.”
“Dih, sok tahu! Terus kalau aku nggak suka, kamu harus ikut campur gitu?” Tensi pembicaraan agak sedikit naik.
“Sudah jadi tugas laki-laki menjaga perempuan dari gangguan,” balasnya ringan sambil memakai helm-nya. “Udah ayo pulang. Kalau nggak mau nganterin aku ke rumah, aku bisa turun di Kedai Mbak Devi aja.”
Aku menurut dan segera menyusuri jalan yang dipadati anak-anak sekolahan dengannya.
“Kamu tahu kenapa aku begitu?”
“Kenapa?” tanyaku dengan nada yang terkesan tidak peduli. Setiap diboncengnya, aku selalu berusaha menjaga jarak agar sehelai bulu kulitku tidak bersentuhan dengannya.
“Karena aku tahu kalau kamu nggak suka sama dia.”
“Tahu?”
“Tempe!”
“Ish, Malik!”
“Aku tahu dari isu yang beredar sejak aku masuk di sekolah ini. Sebagai perempuan yang tidak terlalu mengekspos diri di hadapan laki-laki, kamu cukup populer juga ya, ternyata.”
“Nggak juga. Ngomongin orang udah jadi tradisi, kan? Jadi, ya, biasa aja. Jangankan aku yang diomongin, artis luar negeri aja dighibahin. Sampai nggak jarang banyak anak yang ribut gara-gara idolanya disebut kalah ganteng.”
Malik cekikikan. “Bener-bener.”
Pada momentum ini aku ingin mengatakan padanya bahwa hanya dia lelaki sebaya yang mampu memboncengku naik motor sepulang sekolah dan ke kios bunga.
“Tapi, maksud pertanyaanku tadi, kenapa harus ikut campur urusanku? Kan aku bisa saja langsung bilang nggak suka dan selesai urusanku dengannya.”
“Apaa?!” tanyanya keras-keras. Klakson mobil dan motor saling bersautan.
Aku mengulangi perkataanku. “Tapi, maksud pertanyaanku tadi, kenapa harus ikut campur urusanku?! Kan aku bisa saja langsung bilang nggak suka dan selesai urusanku dengannya.” Aku mengucapkan dengan nada sedikit keras dengan penuh rasa kesal.
“Apa-apaaa?!” balasnya lagi.
Sekarang aku mencubitnya. Dia menggeliat dan memperlambat laju motornya.
“Aku bertanya apa, bukan karena aku nggak denger. Tapi aku nggak percaya. Pertama, kamu bilang, kan aku bisa saja. Bisa saja itu berarti tadi kamu belum punya niat, atau kamu masih ragu dan takut buat nolak dia. Kedua, aku lihat di depan kelas tadi, kamu begitu gugup buat ngobrol sama dia. Ya sudah, aku turun tangan saja. Bodo amat, deh, aku jadi figuran.”
Aku diam.
“Sudah sampai. Kamu langsung pulang habis ini.”
“Kenapa di sini?”
Kita berhenti di Kedai Mbak Devi yang sudah dikunjungi oleh beberapa anak sekolah yang tidak langsung pulang ke rumah masig-masing.
“Mau jadi kayak mereka? Waktunya pulang nggak langsung pulang?” tanyaku.
Dia tersenyum kecil, dan seperti biasa mencuatkan lesung pipinya. Melihat senyum itu, tanpa sadar aku sudah ikut campur.
“Sejak kapan berani peduli begitu?” balasnya dengan nada sedikit bercanda. “Nggak, aku turun di sini karena aku mau nunggu Rendi. Sekalian nanti biar aku nggak jauh-jauh buat ambil motor,” tegasnya.
“Mau kamu pulang atau nggak, bukan urusanku,” ketusku. Aku masih harus menjaga wibawaku sebagai perempuan yang tidak terlalu menye-menye di hadapan lelaki termasuk dia. Dan mematahkan kesimpulan Malik kalau aku peduli dengannya, padahal ucapanku tadi hanya reaksi spontan sebab aku memang nggak suka berhubungan dengan orang yang suka kelayapan kecuali kalau memang ada urusan yang penting.
Dia membalasnya dengan senyum kecil yang manis. Mengimplisitkan sesuatu yang menegaskan kalau dia sudah terbiasa melihat sikapku yang berubah ketus tiba-tiba.
Dia mengeluarkan iPod dari dalam tasnya.
“Kamu pasti suka referensi lagu dari iPod ini.”
“Tapi, bagaimana cara mengembalikannya?”
“Nanti kalau ketemu lagi.”
“Jadi, kalau kita ketemu lagi, aku harus balikin?”
“Iya, aku juga nggak mau kamu megang iPod lama-lama.”
“Kenapa?”
“Ya, aku tahu kalau kamu nggak pernah berpegangan dengan laki-laki. Tapi… Ah, sudahlah,” tuturnya dengan cengengesan.
Keputusan yang salah memang kalau harus menolak, prinsipnya terlalu kuat. Setelah dia mengucapkan hati-hati, aku segera pulang. Dan segera ingin mendengar referensi lagu dari iPod-nya yang dia ramal kalau aku akan suka.