Apakah Dia Mengganggu Prinsipku?

1565 Kata
“Nis, cowok itu kayaknya lihat ke arahku terus, deh.” “Mana?” sahut Nissa seraya menghentikan laju bola basketnya, lalu mencari sosok yang aku maksud tadi. “Oh, kakak kelas itu kayaknya. Fenomena yang biasa kalau kamu dilihatin cowok. Sejak SMP kamu juga sering diem-diem dilihatin cowok.” “Ish!” “Udah, jangan dipeduliin. Mending main basket,” ajaknya. Hari itu kelas kami—X IPS 2, sedang ada mata pelajaran olahraga. Karena ada dua guru yang mengajar mata pelajaran ini, jadi resikonya kami harus berbagi tempat dengan kelas lain yang di waktu yang sama sedang ada mata pelajaran tersebut. Dan sialnya, materi yang hari itu diajarkan oleh masing-masing guru itu adalah materi yang sama. Yaitu materi tentang permainan bola basket. Kalian merasa tidak, kalau dari zaman kita SD, SMP, sampai SMA, pelajaran yang paling monoton adalah mata pelajaran olahraga ini. Sebab klasifikasi materi yang diajarkan selalu sama. Toh, biarpun begitu, pelajaran ini adalah penyelamat semua pelajar berbagai kalangan dari kacaunya kurikulum pendidikan kita yang mencekam. Kalau saja tidak ada mata pelajaran olahraga, mungkin bakal diisi dengan matematika, geografi, atau ekonomi: salah satu dari beberapa hal yang menjadi penyebab pelajar ingin segera hengkang dari sekolah. “Mager, Nis.” “Ish! Sepuluh kesempatan, lemparan terbanyak traktir di Mas Arif, gimana?” “Gas!” Aku langsung beranjak begitu Nissa menawarkan taruhan siomay. Aku bukan tipe orang yang suka makan, tapi aku tipe orang yang suka ditraktir. Dan jangan salah paham kalau aku tidak sedang punya uang, tapi pertimbangan aja, kalau misalnya aku duduk saja, kakak kelas tadi semakin menjadi-jadi melihat aku. Dan aku paling risih kalau sedang dilihatin. “Pasti masuk!” seru Nissa sambil mengambil ancang-ancang hendak shoot. Aku sesekali sambil melihat kakak kelas yang tadi ngelihatin aku. Hanya untuk memastikan dia masih memperhatikanku atau tidak. “Dia masih ngelihatin aku tahu, Nis!” umpatku. “Biarin, ish!” Nissa menghindar, masih fokus membidik ring basket. Nissa bersiap melayangkan lemparan. Angin berhembus lembut, rambutnya tersibak dan lemparannya pun… “Aish! Kok Meleset?!” umpatnya hingga rahangnya terlihat begitu keras mencekat. Bola basket itu memantul mengarah ke arahku. “Begini cara menembak bola basket yang bener…” Bola basket tersebut direbut oleh seseorang dari belakang. Aku menengoknya dengan agak kesal karena mengganggu pertandinganku dengan Nissa. “Pertama, pastiin kalau penempatan tangan kalian di bola itu tepat dan kalian nyaman dengan posisi tersebut. Kalau aku sih, menempatkan tangan kiri di depan bola dan tangan kanan di posisi belakang bola. Tangan kanan berfungsi sebagai pendorong, dan tangan kiri pengontrol laju bola. Jadi begini contohnya…” Kata laki-laki itu sambil memperagakan caranya memegang bola basket sesuai instruksinya tadi. Hanya butuh sekitar lima detik untuk persiapan membidik, bola itu mendarat mulus dalam ring basket. “See?” “I see.” Nissa jatuhnya bukan malah terkagum-kagum, maah terlihat bingung. Terlihat dari ekspresi di wajhnya, seperti ingin mengatakan kalau laki-laki di depannya terlihat sok kenal dan sok asyik, pasti mau pamer, atau mungkin ada maunya. “Tio.” Laki-laki itu memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan padaku. Aku terkejut, karena dari tadi yang bereaksi hanya Nissa, tetapi dia lebih dahulu mengulurkan tangan padaku. Dengan sopan, aku menjabat tangannya, sekaligus memperkenalkan diri. Hal ini aku lakukan bukan semata-mata aku kagum dengan instruksinya memasukkan bola basket yang tidak sebatas omongan doang, tapi karena alasan sopan-santun saja. Nissa tampak tidak peduli dan memilih mengambil bola basket yang usai dilempar oleh laki-laki tadi. Kak Tio kembali ke teman-teman sekelasnya karena dia diajak untuk segera menuju ke kantin. Aku dan Nissa menghentikan taruhan dan kembali ke kelas untuk ganti baju. *** Bel pulang sekolah, aku bergegas untuk segera pulang dengan Nissa. Setelah membereskan peralatan sekolah, aku menuju parkiran. “Nggak mau bungkus apa-apa, Grace?” “Nggak. Mau makan masakan Bi Asih aja.” Hendak menaiki motor, ada suara motor yang seperti mendekat ke arah kami. Motor CB 150R, terlihat gagah jika ditunggangi oleh laki-laki yang berpostur tinggi. Dia mendekat dan mengeluarkan ponselnya. “Boleh minta nomor teleponmu?” Kami terdiam sejenak. Aku dan Nissa saling pandang bergantian. Hanya untuk memastikan siapa di antara kami yang dimintai nomor telepon oleh laki-laki itu. “Aku?” Nissa mencoba memastikan. “Emang ketika aku ngomong, aku ngelihat ke kamu?” tanya laki-laki itu. Tanpa menjawab, Nissa sudah mengerti kalau bukan dia yang laki-laki itu maksud. Kulihat ada raut kesal membekas di wajahnya. Sempat ingin kutertawakan, tapi aku urungkan. “Ada perlu apa ya, Kak? Kok minta nomorku segala?” tanyaku. “Buat ngobrol aja.” “Tapi aku nggak sedang ingin ngobrol tentang basket atau nyuruh kakak ngajarin aku ngelempar bola basket yang bener.” “Maksudku, ngobrolin yang lain.” Melihat obrolan basa-basi itu, Nissa sepertinya sudah cukup geram dan perutnya sudah sangat kelaparan. Akhirnya dia mengatakan; “Kak, aku kasih tahu, ya, kalau cewek dimintai nomor tapi banyak omong dan banyak alasan, atau malah balik nanya: buat apa, ada perlu apa, dan segala macemnya, itu tandanya dia nggak mau, tapi malu buat bilang. Aku kasih tahu juga yang terakhir. Daripada mas itu tahunya ditolak di akhir, lebih baik tahunya ditolak di awal. Sudah, ya, kami mau pulang!” Demi apapun, Nissa yang seperti inilah yang aku suka. Sering menerjemahkan sikapku saat aku merasa sungkan mengucapkan semacam penolakan terhadap laki-laki atau hal-hal lain yang terkadang nggak mampu aku lakukan. Dia kerap menjadi juru bicara keinginanku yang belum sempat menjadi keputusan. Ketika aku ingin menghindari seseorang, tapi aku belum berani melakukan itu karena rasa sungkan, dia lah yang menegaskan itu secara langsung. Seperti kejadian dengan Kak Tio ketika meminta nomor teleponku itu. Belum sempat mendapatkan respons dari Kak Tio, Nissa hendak menancapkan gas. “Eh, Nis! Bentar-bentar!” “Apa lagi, sih? Mau ngasih nomor ke dia?” “Ish, nggak! Mau ngewakilin kamu buat mintamaaf. Omonganmu tadi pedes parah.” Aku menyergah dengan nada sedikit berbisik. Aku semakin nggak enak ketika tersorot wajah Kak Tio yang flat banget. Kuingat beberapa menit sebelumnya dengan nada yang begitu antusias dengan ekspresi yang ceria dia menghampiriku. Keibaan ini hampir saja membuatku memberi apa yang dia mau. Sekaligus, sebagai bentuk upaya untuk membuat dia melupakan perkataan pedas dari Nissa tadi. “Grace! Ayo!” sergah Nissa. “Kak, maafin omongan Nissa barusan, ya. Dan maaf juga kalau aku belum bisa ngasih apa yang kakak mau,” ucapku lirih. Mencoba menyampaikan dengan artikulasi yang tidak menambahi kekesalannya karena dia tidak mendapatkan apa yang dia mau. “Aku nggak biasa ngasih nomor telepon ke laki-laki.” Dia berubah tersenyum seperti memaklumi. “Oh, nggak apa-apa kok. Hati-hati, ya.” “Makasih, Kak.” *** Esoknya di sekolah, ketika aku sedang di kantin buat makan siomay di Mas Arif, Kak Tio tiba-tiba datang menghampiriku. Aku terkejut dan tidak menyangka bahwa setelah penolakanku sebelumnya, dia masih mencoba mendekatiku. Hal ini bukan pemandangan yang biasa. Sebab, laki-laki lain sebelumnya ketika menerima penolakanku, setelahnya tidak ada yang berniat untuk berusaha mencuri perhatianku dengan cara lain. Fenomena ini bukan berarti aku membenarkan perkataan Nissa yang bilang, kalau sudah ditolak di awal, jangan harap di akhir mendapatkan jawaban yang berbeda. Menurutku, waktu itu Nissa hanya memberikan disclaimer atas konsekuensi sebuah penolakan terhadap Kak Tio. Kali ini, ada laki-laki yang setelah aku tolak, masih tetap gencar mendekatiku. Bahkan bisa dilihat dengan ketidakpedulian dari penolakan sebelumnya. “Temenmu yang kemarin di mana?” “Eh, Kak Tio. Nissa maksudnya? Dia lagi ngerjain tugas di kelas.” Hampir saja aku tersedak ketika aku hendak menelan siomay. “Kamu menolak permintaanku karena alasan tidak suka atau membatasi diri?” Pertanyaan yang dia ajukan benar-benar radikal. Aneh saja, selama ini tidak ada laki-laki yang sekritis itu ketika mendapatkan penolakan. Cenderung lebih menonjolkan egonya karena menganggap masih banyak perempuan lain di luar sana. “Em, bisa dibilang begitu, sih, Kak. Membatas diri,” terangku. Selera makanku jadi agak menurun ketika ada laki-laki asing mengobrol di sampingku. Hampir saja aku mau menghubungi Nissa untuk datang ke kantin agar mau membantu keluar dari situasi ini. Tapi aku ingat kembali kalau tempo hari; omongan Nissa benar-benar nylekit ke Kak Tio. Aku mengantisipasi supaya tidak terulang kejadian yang sama lagi. “Mas Arif! Satu piring siomay, ya. Nggak pakai kentang.” Wait! Aku makan sebangku dengan orang ini?Hem, tahu gitu tadi aku bungkus aja. Setelah Mas Arif datang dengan membawa pesanan Kak Tio, Kak Tio jadi lebih gencar bertanya padaku. “Jadi sebelumnya nggak pernah dekat dengan laki-laki?” Sudah aku duga akan dilayangkan pertanyaan semacam itu. “Em, bisa nggak, kak, kalau kita selesaiin dulu makannya baru ngobrol?” Jujur, aku tidak enak menasehati dia. Secara aku yang lebih muda. Hal ini bukan semata-mata aku enggan menjawab pertanyaan itu, tapi memang sangat mengganggu kalau makan sambil ngobrol. Dan sekali lagi, dia menanggapinya dengan tidak merasa tersinggung. Justru lagi-lagi dengan tersenyum. Aneh. “Gimana?” tanyanya kembali setelah makanan kami berdua habis. “Aku belum pernah dekat dengan laki-laki.” “Why? You’re so beautiful.” Reaksinya dengan mata sedikit berbinat-binar. Namun, aku menanggpinya dengan biasa saja. Tidak mengklasifikasikan itu sebagai pujian atau rasa syukur dia mengapresiasi ciptaan Tuhan. “Maybe, sampai saat ini tidak ada laki-laki yang paham denganku. Atau terlepas dari itu, aku tidak obses dekat dengan laki-laki karena kecenderunganku serius belajar dan tidak ingin rumit di usia muda untuk menjalin hubungan. Karena sepengetahuanku begitu. Banyak teman-teman di kelas yang sering curhat, menye-menye soal cowoknya.” Dia tersenyum. “Apakah aku sedang mengganggu prinsipmu?” “Enggak.” “Then?” “Ya, aku respons kakak karena ini hal yang wajar aja. Kakak bertanya, aku menjawab. Aku nggak menganggap itu sebagai upaya untuk mendekati aku atau cari perhatian, atau yang lain. I don’t f*****g care about that!” “Kalau begitu, aku tanyakan lagi di tahun terakhirku di sekolah ini. Tahun pertama di sekolah ini, kamu bisa fokus dengan belajarmu. Bye, Grace!” Aku tertinggal dengan senyum tipis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN