“Eh, semua personil sudah datang?”
Semuanya bersemangat membereskan semuanya, termasuk aku. Aku sudah melihat Fyora yang tengah memastikan chord gitar sudah diatur tepat pada standar lagu yang dibawakan, aku sudah mendapati Dicky yang tengah duduk bersandar di kelas dengan stik drum-nya yang diputar-putar di jemarinya, Ica dan Edward yang sedang kolaborasi permainan musiknya di sudut kelas. Sepertinya semua sudah beres. Tinggal menunggu panggilan acara terakhir, yaitu dari kelas kami.
“Mega mana?!”
Datanglah Malik yang sedikit panik dengan sorot matanya yang menjelajah ke sana ke mari. Dan aku baru ngeh kalau aku belum menyebutkan Mega. Yang katanya pelantun lagu kereta malam itu.
Ica segera menghentikan permainan musiknya karena Malik menyuruhnya menghubungi Mega.
“Tidak aktif, Malik,” seru Ica.
Semula hanya Malik yang merasa panik sendiri, kini kecemasan itu menyambar ke anak-anak yang lain yang bahkan tidak ikut tampil. I mean, ini akan berimplikasi terhadap kredibilitas kelas kami, sekaligus menyia-nyiakan jerih payah kami mempersiapkan konsep acara ini kalau sampai Mega tidak datang dan tidak ada yang mampu menggantikannya.
“Oh, s**t!” Malik memaki.
Melihat Malik yang lalu-lalang ke sana ke mari sambil menggerutu, aku mencoba mencari sosok yang mungkin bisa membantu menginformasikan keberadaan Mega. Sementara, Ica masih tidak henti-hentinya menghubungi nomor telepon Mega.
“Sekiranya pembawa acara dari OSIS memanggil kelas kita, minta waktu sepuluh menit lagi. Kalaupun terpaksa, barangkali ada sukarelawan dari kelas ini yang mau menggantikan Mega, dipersilakan. Daripada konsep kita berantakan.” Aku menggertak.
Anak-anak yang lain saling menatap satu sama lain. Ada yang menyingkapi gertakanku tadi dengan tatapan yang seolah-olah menyampaikan sesuatu padaku seperti: kenapa nggak kamu aja, kan, kamu wakil ketua kelasnya.
“Mega pagi tadi harus pergi ke luar kota karena ada urusan keluarga. Dan meminta maaf buat rekan-rekan kelasnya karena nggak bisa hadir buat mengisi acara.”
Deg!
“Mampus aku.” Aku mengomel. Kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin, sih? Bisa berantakan konsep acaranya kalau tidak ada vokalisnya. Kalaupun hanya mempertunjukkan permainan musikal, hal ini tetap saja mempengaruhi ekspektasi kelas-kelas lain. Dan menurutku, sangat jarang atau bahkan tidak ada yang tertarik hanya dengan melihat konsep permainan musik tanpa vokalis yang berdendang di atas panggung.
Setelah menggerutu dan mengucapkan terimakasih pada temannya Mega tadi, aku buru-buru balik ke kelas untuk memberitahukan bahwa secepatnya dilakukan pergantian vokalis.
“Sepertinya kelas kita sudah dipanggil, ya, tadi?” tanyaku dengan nada panik juga sedikit ngos-ngosan.
“Sepuluh menit paling tidak,” sahut seseorang.
“Malik mana?!” Geramku makin ke mana-mana ketika tidak mendapati sosok Malik di kelas.
Bagaimana? Kelas Dua Belas IPS Satu, apakah bisa dimulai? Waktu semakin berjalan dan semakin lama kita tidak pulang-pulang.
Menyebalkan si pembawa acara itu! Bisa tidak, memilih kalimat yang tidak bersifat provokatif seperti itu?
“Grace! Malik bilang, personil yang akan tampil disuruh naik ke panggung secepatnya,” sahut Nissa yang tiba-tiba datang dengan informasi yang membuatku makin nggak karuan.
“Hah?! Lalu siapa vokalisnya? Dia belum tahu kalau Mega nggak bisa hadir.”
Tidak menghiraukan ucapanku, seluruh personil secara sigap membereskan amunisinya dan segera memenuhi panggilan Malik itu. Semua anak di kelas mengikuti, penasaran dan panik. Mereka semua menuju ke panggung, ada yang berlarian, bahkan sudah ada dari kelas lain yang terdengar memberikan tepuk tangan. Gemuruh tepuk tangan itu seolah-olah meminta kepada kelas kami supaya memberikan penampilan yang ciamik sesuai pengorbanan mereka sebab telah menunggu lama. Tapi, akan berjalan seperti apa? Siapa yang jadi vokalisnya? Atau tanpa vokalis? Jelas-jelas peraturan wajib acara ini adalah penampilnya harus anggota kelas yang bersangkutan, tidak boleh mengambil anggota kelas lain atau bahkan orang luar sekalipun, semeriah apapun konsep yang akan dibawakan. Karena tujuan acara ini selain memperingati hari ulang tahun berdirinya sekolah adalah untuk memacu kreativitas setiap siswa dalam menyelenggarakan konsep acara.
Pandanganku mengitari segala arah mencari sosok Malik yang tidak kunjung kutemukan. “Malik mana?!” umpatku pada seorang anak kelas yang ada di dekatku. Dia hanya menggeleng, tidak tahu. Seluruh personil sudah menaiki panggung. Masing-masing sedang mengecek sekali lagi alat musik yang akan mereka mainkan.
“Duh, main musik doang?” umpatku sekali lagi.
Sebelum pertunjukan benar-benar mulai, aku segera mencari Malik. Setidaknya, dia yang menyuruh anak-anak yang lain supaya datang ke panggung tanpa membicarakan dulu konsep penampilannya. Dan yang paling menjengkelkan adalah aku sebagai wakil ketua kelas malah planga-plongo sendiri saat ini.
Oh, s**t! Aku beranjak dari tempat dan mengumpat dengan segera mencari Malik.
“Cek… Satu dua… Cek.”
Terdengar suara yang nggak asing dan bikin aku kaget. Aku segera membalikkan badan dan melihat ke atas panggung.
“Maaf atas keterlambatannya kelas kami. Kami akan membawakan lagu Just The Way You Are milik Bruno Mars. Dan ini spesial buat perempuan di sana.”
Malik mulai memetik gitarnya. Sambutan orang-orang masih sangat antusias, terutama kaum perempuan. Baru kemudian, setelah Malik mulai bernyanyi, suasana menjadi hening. Semua orang begitu terhanyut dan menikmati suara merdu Malik, lengkap dengan pesonanya itu.
Hey eyes, her eyes
Make the stars look like they’re not shining
Her hair, her hair
Falls perfectly without her trying
She’s so beautiful
And I tell her everyday
Malik menyanyikan lagu “Just The Way You Are” milik Bruno Mars sambil menatap perempuan yang dia bilang spesial. Aku berkali-kali meyakinkan diriku sendiri bahwa tatapan mata Malik bukan mengarah padaku. Tapi, mengapa aku masih saja merasa Malik benar-benar sedang menatapku? Dan lagi, mengapa debaran jantungku jadi semakin hebat hanya dengan menatapnya di atas panggung?
When i see your face
There's not a thing that i would change
Cause you're amazing
Just The Way You Are
And when you smile
The whole world stops and stares for a while
'Cause girl you're amazing
Just The Way You Are
Nissa datang mendekat padaku. Dia tidak henti-hentinya menampar pipinya untuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak sedang bermimpi. “Seorang Malik, bisa bernyanyi?” gumamnya.
Aku terpaksa memaksa senyumku untuk mengembang. Tentu saja aku juga tidak menyangka kalau Malik bisa bernyanyi. Lagi pula, Malik telah menjadi penyelamat kelas dengan tetap membuat acara ini bisa berjalan sesuai harapan.
“Dia bentar lagi dikenal seantero sekolah,” seru Nissa dengan asal.
Aku juga memikirkan berulang-ulang kalau pesona Malik sangat cepat mewabah. Padahal statusnya adalah murid pindahan. Mulai dari mengorganisir kelas beserta acara-acara yang sebetulnya tidak bisa dianggap sepele, menjadi vokalis di hadapan seluruh warga sekolah.
Setahuku, tipe lelaki berandal itu ada dua: pertama, berandal yang hanya mengandalkan sifat berandalnya dalam situasi apapun. Kedua, seorang berandal yang mampu menempatkan diri, kapan dia harus profesional dengan berandalnya, kapan dia harus menahan ego berandalnya sejenak. Dan saat ini, Malik bukannya telah berubah untuk sepenuhnya menjadi seorang pelajar, melainkan dia tengah menempatkan diri sebagai orang yang konsisten memahami situasi.
Hal ini mengingatkan aku pada ucapannya tentang peristiwa Rendi tempo hari.
“Aku tidak sedang pencitraan dengan mengambil satu-dua jepret foto lalu aku pamerkan dengan kawan-kawan lama di Bandung, tapi ini masalah etis. Aku tidak bisa diam begitu.”
Dan sekarang, kedua kalinya dia tidak bisa diam. Sebagai ketua kelas, dia tengah melakukan tugasnya, jauh dari ekspektasiku sebelumnya.
Kesalnya Malik waktu bilang: “Masih nggak terima kalau aku yang terpilih jadi ketua kelas?”
“Iya, sekarang aku terima,” gumamku sambil menatapnya di atas panggung.
“Hah? Terima apa, Grace?”