“Bunda mulai menjalin hubungan dengan Ayah itu waktu kapan?”
Bunda yang dari tadi sibuk memandangi laptop untuk mengecek tugas-tugas mahasiswanya, sontak kini menoleh tajam. Pasalnya, aku belum pernah mengajukan pertanyaan ini terang-terangan ke Bunda. Mungkin, kalau membahas tentang laki-laki, hanya sebagian kecil, tidak teralu mendalam.
“Bunda sama Ayah itu dekat sejak mulai kuliah,” tuturnya.
Bunda kembali memandang laptop.
“Kamu sedang dekat sama laki-laki di sekolah?”
Kaget mendengar pertanyaan itu, aku langsung menyangkalnya. Bunda manggut-manggut. Memang aku tidak sedang dekat dengan siapa-siapa.
“Selesai…”
Bunda mematikan laptopnya dan membereskan berkas-berkasnya. Setelah dari kamar, dia kembali duduk denganku di ruang tamu. Menyalakan televisi dan memanjakan punggungnya.
“Bunda pernah marah-marah sama kamu?”
“Em, enggak. Bunda baik banget!” Aku langsung bergeser lebih dekat ke arah bunda dan memeluknya. Dia membalas pelukanku. Mengetahui bunda yang memang baik itu bukan semata-mata karena orangnya nggak bisa marah. Melainkan aku juga bisa menjaga diri untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa bikin dia marah. Aku selalu pulang sekolah tepat waktu, selalu menyempatkan izin kalau mau keluar entah ke mana, tidak pernah telat makan, tidak pernah mendapatkan masalah di sekolah, tidak suka makan makanan yang pedas dan menghindari makanan yang mengandung banyak MSG, juga tidak pernah pacaran.
“Kalau bunda bilang dekat dengan laki-laki itu tidak apa-apa, apakah kamu menyimpulkan kalau bunda menyuruhmu dekat dengan laki-laki?”
“Em, tidak. Kalau menyuruh, bunda bakal bilang silakan. Tapi, karena bunda bilangnya itu tidak apa-apa, di situ aku memahami kalau bunda ada upaya memaklumi. Bukan menyuruh.”
Bunda tersenyum. Dan mengusap-usap kepalaku dengan lembut.
“Kalau memang sedang dekat dengan laki-laki, bisa cerita ke bunda. Bunda nggak akan marah.”
Di satu sisi aku bingung. Aku nggak sedang dekat dengan siapapun. Tapi, aku seperti merasa ada signal kalau aku sedang dekat dengan seseorang. Lantas, setelah kupikir-pikir, aku nggak pernah memfokuskan pikiranku untuk dekat dengan laki-laki. Toh, kalaupun aku terlibat dalam satu-dua kejadian, aku anggap itu hanya interaksi lumrah saja, sebab aku makhluk sosial.
***
Ketika paginya aku membuka mata, ada sesuatu yang berbeda.
Ada cahaya. Masih cahaya hijau kelabu khas hari mendung di rimbun pepohonan, tapi bagaimanapun juga lebih cerah. Aku menyadari tak ada kabut menyelubungi jendelaku. Aku melompat dari tempat tidur untuk melihat ke luar, lalu mengingat kembali tentang kenapa aku harus sekolah. Hujan yang turun semalam telah membeku—melapisi pepohonan membentuk jarum dalam pola sangat indah dan sepertinya menjadikan jalan setapak licin dan berbahaya.
Aku berangkat seperti biasa. Nissa sudah meringkup di ruang tamu rumah karena kedinginan. Aku sepertinya juga membutuhkan sweater.
Kami berangkat pukul 06.00. Di jalan, masih sedikit ngobrolin soal Malik yang sukses menipuku dan Nissa. Dilanjut dengan membicarakan sudut pandang Malik tentang sekolah, juga merevisi kembali latar belakang Malik melakukan tawuran. Selama dua puluh menit, kami membicarakan topik yang nggak penting. Sebentar lagi ada ujian harian ekonomi di sekolah.
“Boleh kubilang kalau Malik ini pinter anaknya."
Kami telah sampai di halaman parkiran sekolah.
Mentautkan helm di kaca spion kemudian berjalan tenang menuju kelas masing-masing.
“Pinter secara akademis?”
“Termasuk. Prestasinya sesuai dengan gaya ngomongnya yang nyablak ke mana-mana. Dari SMP hingga SMA di Bandung, dia nggak pernah absen mendapat ranking di lima besar.”
Aku bergeming. Menahan reaksi untuk ingin menyangkal ucapan Nissa itu. Dia itu kelewat b**o kalau pelajaran matematika. Bagaimana bisa orang yang lemah dalam pelajaran ilmu eksak seperti matematika, bisa mendapat ranking di lima besar. Karena setahuku, siapapun makhluk-nya, bila dia pintar dalam matematika, sekalipun dia lemah dalam pelajaran seni, bahasa, dan olahraga, dia tetap dianggap pintar. Tapi untuk ukuran seperti Malik, yang kalau waktunya pelajaran matematika malah melarikan diri dan berlindung ke aku, bagaimana bisa dibilang pintar?
“Kalau nggak percaya, bisa lihat sendiri waktu ujian. Entah itu ujian harian, ujian tengah semester, atau ujian akhir,” tuturnya. Seolah-olah tahu kalau memang aku sedang ingin menyangkalnya sebab nggak percaya.
Kami berpisah dan menuju kelas masing-masing. Pernyataan Nissa pagi ini mengunggah rasa penasaranku. Selama ini, aku melihat Malik hanya sebagai sosok yang tahu tempat. Maksudku, kalau saat pelajaran berlangsung, dia benar-benar jadi pendiam. Walaupun aku tahu si Edward—teman sebangkunya, bukan tipe yang pendiam. Tapi, dengan adanya Malik di sampingnya, mampu mempengaruhi kebiasaan Edward yang suka sibuk guyon sendiri waktu ada pelajaran. Tapi, secara kalkulasi nilai, aku belum tahu Malik seberapa tangguh.
Ya, walaupun aku akan mendapatkan alasan kalau nantinya dia bilang nilai itu tanda orang pernah sekolah, bukan tanda dia pernah berpikir.
Setelah aku masuk kelas, Malik sudah ada di dalam tengah duduk dengan Edward. Kelas pertama adalah kelasnya Pak Ridho—guru ekonomi. Karakteristik beliau cukup tegas, disiplin, dan kalau sistem ujian, aku nggak begitu tahu soal beliau. Tapi, aku dengar dari kakak kelas, beliau orangnya tidak terlalu ketat kalau menjadi pengawas ujian.
Setelah semuanya masuk, disusul dengan hadirnya Pak Ridho, suasana berubah menjadi senyap. Rada sudah masuk kelas hari ini. Senang rasanya kalau aku nggak duduk sendirian lagi.
Setelah Pak Ridho menyalakan laptop dan membuka soal ujian lewat LCD, anak-anak kelas mulai menyibukkan diri—mencatat soal di kertas dan beberapa ada yang sambil mengingat-ingat materi soal ujian. Baru lima menit berjalan, gelagat anak kelas yang terbiasa mencontek saat ujian, mulai melirik Pak Ridho sedang mengawasi atau tidak. Setelah memastikan bahwa Pak Ridho masih mengawasi dengan sorot matanya yang tajam, beberapa anak mulai bertingkah seolah-olah sedang mengerjakan. Fenomena ini sangat meresahkan. Karena berpotensi menimbulkan kegaduhan dan mengancam ketenangan anak yang mengerjakan dengan usaha sendiri.
Setengah jam waktu berjalan, suasana mulai berisik. Anak-anak yang duduk di bangku belakang mulai mengeluarkan bunyi dan kode-kode aneh. Sesekali aku memastikan hal ini karena aku sangat terganggu dengan perbuatan mereka. Dan tidak sengaja, aku menyorot Malik yang bangkunya berada di deret agak belakang. Ada lima deretan bangku, tempat duduk Malik berada di deret keempat. Tapi, dia mengerjakan ujian dengan tenang. Aku ulangi secara berkala untuk memastikan gerak-geriknya, bahwa dia memang serius mengerjakan sendiri. Tidak menoleh kanan-kiri. Karena sikap seriusnya itu, membuat teman-temannya yang lain termasuk Edward sedikit malu buat bertanya ke Malik dan lebih memilih mengerjakan sendiri walaupun itu asal-asalan.
Dalam hati, aku tertawa melihat Edward yang pusing sendiri. Gerak-geriknya yang seperti melirik lembar jawaban Malik, nahasnya dia tidak menemui hasil maksimal, sebab lembar jawaban Malik tertutupi lengannya.
Setelah Pak Ridho menyerukan bahwa waktu tinggal sepuluh menit lagi, suasana jadi semakin tidak kondusif. Yang duduk di depan terpaksa mulai menoleh ke belakang dan yang posisi bangkunya berada tepat di depan meja guru, lebih memilih fokus mengerjakan sendiri, sebab takut kalau ketahuan mencontek. Yang duduk di belakang mulai saling lempar-melempar sobekan kertas.
Aku menghela napas. Aku berpikir, kelonggaran pengawasan ujian semacam ini, akan menguntungkan mereka yang nantinya mendapatkan hasil bagus dengan hasil contek kanan-kiri. Kasihan pada mereka yang mengerjakan dengan usaha sendiri—termasuk aku.
Lembar jawaban dikumpulkan dari belakang ke depan. Ditukar dari deretan kiri dengan deretan sebelahnya.
Pak Ridho membuka jawaban di layar LCD, sekaligus menerangkan asal-usul jawaban dari konsep soal hitungan. Semuanya saling mengoreksi lembar jawaban yang dipegang. Setelah semuanya selesai mengoreksi, Pak Ridho mengabsen dengan memanggil nama murid satu per satu sambil memasukkan nilai ujian.
Pada detik ini, aku teringat ucapan Nissa tadi pagi.
“Kalau nggak percaya, bisa lihat sendiri waktu ujian. Entah itu ujian harian, ujian tengah semester, atau ujian akhir.”
“Malik Adnan Pratama?” Pak Ridho memanggil.
“Delapan pulih lima, Pak.” Seseorang menyahut.
Sontak yang lain melihat ke arah Malik, termasuk aku. Dari nama murid yang sebelumnya disebutkan, tidak ada yang mencapai nilai itu, kecuali aku dan Granada. Aku mendapat nilai yang sama dengan Malik. Tapi, masih kalah dengan Granada yang mendapatkan nilai 89.
Kemudian ada kakak kelas tiba-tiba mengetuk pintu kelasku dan memanggil, “Pak, mau memanggil Malik.”