Kalau aku ditanya mengenai kriteria laki-laki seperti apa yang aku inginkan, aku tidak bisa menjelaskannya. Atau lebih tepatnya, aku tidak punya jawabannya. Apakah kalau aku punya standaritas pergaulan berarti itu tidak mencakup seperti apa lelaki yang bisa dekat denganku? Beda ceritanya.
Karena untuk tahu bedanya, maka harus paham perbedaannya antara teman dengan kekasih. Kunci untuk membedakan keduanya adalah: kita boleh pilih-pilih teman, tapi tidak dengan pilih-pilih kekasih. Sebab menurutku, seseorang tidak tahu pada siapa dan kapan seorang akan jatuh pada pujaan hati. Seolah-olah semestalah yang memilih, manusia yang menerima.
Aku kasih ilustrasi sedikit agar bisa memahami deskripsi di atas. Sampai sekarang—aku kelas 2 SMA, aku tidak punya teman laki-laki. Hal ini bukan berarti aku memandang bahwa tidak ada perpaduan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pertemanan. Melainkan aku menganggap bila aku sudah punya teman perempuan yang bisa melindungiku, kenapa harus mengemis perlindungan laki-laki dengan berkedok sebagai teman? Lagi-lagi jawabannya selalu sama, ini adalah keputusan.
Tapi, pada kesempatan yang lain, aku tidak bisa memprediksi apakah mencintai lelaki itu perlu jawaban iya atau tidak. Hal ini menurutku terjadi secara esensial. Kalau aku mencintai seseorang, aku tidak perlu ditanya kenapa. Dan seseorang yang menunggu jawabannya, tidak akan pernah menemukan jawaban: karena ini dan karena itu, atau karena yang lain. Sebab mencintai bukan dengan karena, kalau mencintai dengan karena itu bukan mencintai, melainkan kalkulasi. Untaian “karena” itu bisa ditambah-kurangkan. Aku tahu pasti kalau dengan memberikan alasan, kebanyakan orang sudah muak. Kalau sedang kasmaran, ya cengengesan saja. Tidak perlu pakai pembuktian dengan alasan-alasan yang mana oranglain sudah bisa menduga.
Nissa sebetulnya punya banyak alasan menerima David yang jelas-jelas menyukainya sejak kelas 10. Sesuai yang diketahui banyak orang, pun aku juga agak setuju dengan penilaian itu, David termasuk orang yang baik, kapten tim futsal yang mampu memimpin timnya menjuarai banyak kompetisi nasional antar sekolah, dan nilai tambah: “berduit”. David adalah putra dari seorang DPR. Tidak jarang dia suka disindir oleh teman-teman seangkatan tentang reputasi DPR yang lagi berantakan dan semakin ngawur dalam membuat kebijakan.
Terlepas dari kesan-kesan itu, Nissa tetap tidak mau menerima David. Bukan karena tadi tidak kusebutkan kalau dia tampan atau tidak, tapi Nissa tidak mengklasifikasikan semua itu sebagai syarat mencintai seseorang. Memang perasaannya sedang tidak merasakan apa-apa ke David.
Bagi orang yang belum pernah mencintai, kekasih itu misteri. Bagi yang sedang mencintai, kekasih itu anugerah. Sudah tahu bedanya?
***
Sore itu aku dengan Nissa sedang mencari tempat media sponsor yang sebelumnya sudah aku dapatkan dari informasi kakak kelas. Kami menuju sebuah kantor yang menjual produk kartu perdana yang sudah marak dijual di pasaran. Awalnya kukira sangat rumit untuk memperoleh izin dari pihak perusahaan. Ternyata hanya butuh kesepakatan formal dan kerja sama mutualisme antara kami dan pihak perusahaan.
Mekanismenya adalah kami turut memasarkan produk mereka pada waktu acara. Pihak perusahaan akan membantu dengan memberi dan memasangkan pamflet-pamflet tentang produk sebagai strategi marketing mereka.
Setelah satu media sponsor sudah bisa diajak kerja sama, tinggal satu lagi tugasku: menemui Malik untuk bilang bahwa tugasku telah selesai.
“Di sini?”
“Setelah tahu kalau ini tempat nongkrongmu, aku jadi ke sini.”
“Kenapa?”
“Biar kamu mudah nyarinya. Kan, kamu nggak punya email-ku”
Aku terkejut ketika aku mendapatkan sosok Malik dengan earphone yang menempel di telinganya tengah asyik menggelengkan kepala di Kedai Mbak Devi. Bukankah seharusnya dia menyusun rencana yang lain?
“Setelah ini lalu apa?” tanyaku.
“Sudah selesai ke pihak sponsor?”
“Sudah.”
“Sekarang ikut aku.”
Dia beralih dari bangku dan menyuruhku mengikutinya. Nissa tidak ikut karena perutnya sudah tidak bisa nahan lapar. Akhirnya kami berdua meluncur ke jalan dan entah mau ke mana.
“Mau ke mana?”
“Beli sesuatu yang harus dibeli buat besok.”
“Apa?”
Motornya berhenti di sebuah kios bunga. Di persimpangan yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Kemudian dia masuk dan aku ikut keliling-keliing. Banyak macam bunga; ada mawar, anyelir, tulip dan lily. “Toko bunga?”
“Kamu suka bunga?”
“Bunga?” tanyaku lagi karena masih belum mengerti kenapa dia membawaku ke sini.
Tidak lama setelah itu, Malik menghampiriku dengan membawa tiga tangkai bunga lily yang dibungkus rapi nan cantik. “Ini untuk membayar keringatmu mencari sponsor barusan.”
“Bunga lily?”
“Bunga yang sangat menggambarkan kamu.”
“Masa? Sejak kapan wajahku mirip tumbuhan?”
“Harusnya kamu tahu kenapa, Grace.”
“Kenapa wajahku mirip tumbuhan?”
Dia tersenyum, mengajakku duduk di bangku depan kios. “Bunga lily itu bunga musim panas. Kamu nggak bisa nemuin dia kalau musim hujan atau musim salju. Itu kenapa aku bilang bunga lily itu bunga yang ceria, seperti kamu.”
Baiklah, perkataannya mulai membuatku geer.
“Itu yang pertama, kedua, bunga lily punya bentuk yang menarik. Makanya, orang akan betah memandangnya bahkan dalam waktu yang lama.”
Baiklah, aku geer. “Sudah?”
“Yang ketiga, bunga lily sering dilambangkan sebagai simbol ketulusan, persis sepertimu.”
Kalau sekarang aku lihat di cermin, pasti pipiku sudah berubah merah. “Aku nggak tahu kalau aku seperti yang kamu bilang.”
“Itu sebabnya kamu ketemu aku.”
Dia tersenyum. Harus, ya, Tuhan menitipkannya senyuman semacam itu? Apa ada senyuman lain yang lebih indah dari punyanya di dunia ini? Ah, tidak ada sepertinya. Kalau dia sedang tersenyum, lesung pipinya pasti kelihatan.
“Kamu bisa, ya, kelihatan misterius dan menyenangkan dalam satu waktu,” kataku.
Aku nggak habis pikir, kejadian sepuluh menit barusan, membuyarkan kesan negatifku ke dia. Memang sih, bukan karena kejadian-kejadian sebelumnya yang membuatku sedikit respect padanya, melainkan sore itu kalimatnya tentang bunga lily terlalu lembut untuk diucapkan oleh seorang lelaki. Dan seperti apa yang kubilang di akhir padanya, justru dia bisa terlihat misterius dan menyenangkan dalam satu waktu. Hanya aku tidak mau membuka mataku untuk melihat itu.
“Hanya aku?”
“Hem?”
“Kan, Nissa juga ikut mengantarku.”
“Dia sudah dapat apa yang dia mau.”
“Makanan?”
Dia langsung berdiri dan memakai helm-nya. Dan aku masih saja nggak percaya tengah duduk di atas motor dan diboncengnya, sekaligus dengan menenteng tiga tangkai bunga lily yang batangnya mengayun ke sana ke mari tertiup angin. Seriuskah? Aku yang kemarin terkesan tidak peduli dengannya, lalu sekarang menerima bunga lily beserta filosofi pemberiannya?
Setelah dari kios bunga dan mampi ke kios lain untuk membeli keperluan dekorasi, aku dan Malik kembali ke Kedai Mbak Devi.
“Lamanya…” Nissa mengeluh. Kulihat piring dan gelasnya sudah tidak menyisakan apapun.
“Beli ini buat dekorasi.” Kutunjukkan ke arah tas plastik yang dibawah Malik: isinya beberapa kertas origami, pita, dan beberapa kembang api.”
“Gila, niat banget kalian.”
“Tahu deh, kayak mau perpisahan saja,” ujarku.
“Permulaan, biar pada tahu ketua kelasnya,” sahut Malik. “Habis ini aku ke rumah Edward, kalian pulanglah.”
“Bunga lily juga?” Nissa bingung melihat bunga lily yang aku sandarkan di kursi.
“Iya, khususnya buat Grace biar setiap pagi nggak ngajak kamu mengomel soal aku.” Malik menyeru.
Aku menyahut sambil memukul lengannya. “Ish! Don’t mess with me like that!”
“Mess with you? Mana mungkin aku berani main-main sama kamu.”