JUDITH
-
Setiap sabtu malam sebelum pukul enam sore Judy akan duduk belakang meja makan, menyiapkan hidangan di atas piring-piring kosong, membuka sebotol wine dan menuangkannya ke dalam dua gelas kaca kemudian menyalakan lilin lavender kesukaan Mike. Mike akan pulang sebelum langit gelap, kemudian pada pukul tujuh mereka akan duduk bersama-sama, menikmati hidangan makan malam dan sebotol wine pertama mereka dalam seminggu juga mendengarkan musik favorit mereka. Mike menyukai musik jazz, Judy lebih menyukai jenis musik pop dan biasanya mereka akan bergantian memutar dua jenis musik itu dalam rutinitas akhir pekan mereka. Setelah sibuk selama satu pekan, mereka membuat kegiatan itu untuk berada lebih dekat dengan satu sama lain.
Minggu paginya, mereka akan pergi bersama-sama untuk memancing. Sesekali mereka menghadiri misa dan ketika cuacanya sedang tidak mendukung, mereka memilih untuk menghabiskan waktu di rumah, bercinta semalaman seperti pasangan muda yang sedang kasmaran. Sore sebelum hari itu berakhir, Mike akan memutar film untuk mereka saksikan bersama, biasanya pria itu memesan sekotak pizza ukuran besar dan dua kaleng coke untuk mereka habiskan bersama. Dan malam sebelum akhir pekan itu berakhir, mereka bisa menghabiskan berjam-jam untuk duduk dan mengobrol di atas kasur. Terkadang mereka membicarakan hal-hal remeh seperti warna favorit masing-masing, terkadang mereka juga membicarakan rencana untuk mengubah warna cat dinding kamar mereka, atau rencana berlibur pada akhir pekan berikutnya dan tidak memberi celah sedikitpun untuk membicarakan masalah pekerjaan.
Dulu, mereka akan melakukan semua rutinitas itu dan setelah belasan tahun lamanya, ketika hal-hal romantis yang mereka lakukan bersama-sama mulai memudar, segalanya tidak pernah lagi terasa sama. Mike adalah pasangan yang hebat di atas kasur, teman bicara yang menyenangan, laki-laki yang hangat dan seorang yang memiliki selera humor tinggi di atas meja makan. Namun sekarang segalanya berubah menjadi sangat asing, dan Mike tiba-tiba menjadi seorang pria yang tidak dikenalinya: pria yang hanya akan berbicara ketika diminta, pria yang tiba-tiba tidak pernah menatapnya di atas meja makan sekaligus orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama dengannya.
Judy merasakan perubahan itu terjadi dengan cepat. Tiba-tiba rutinitas yang mereka jalani di tahun-tahun awal pernikahan mereka terdengar begitu mengerikan untuk dilakukan sekarang. Hubungan keduanya telah canggung sejak beberapa tahun terakhir dan mereka lebih seringnya membicarakan masalah pekerjaan ketimbang hubungan pribadi mereka. Puncaknya terjadi sekitar satu tahun yang lalu ketika Mike nyaris tidak pulang semalaman dan membatalkan janji makan malam sebagai bentuk perayaan hari pernikahan mereka yang ke dua belas. Sejak hari itu, pagi ketika mereka bertatap muka di atas meja makan, Judy menolak untuk berbicara atau sekadar menyapanya. Mike merasakan perubahan itu karena malamnya, Judy mengingat hari itu persis pada awal musim dingin, ketika salju turun dan menutupi jalanan di halaman depan rumah mereka, Mike memilih untuk tidur di atas sofa alih-alih menerima kehangatan yang ditawarkan di atas ranjang mereka.
Sejak malam itu dan seterusnya, mereka tidak pernah lagi tidur bersama. Judy jarang melihat Mike pulang sebelum pukul sepuluh, laki-laki itu akan menghabiskan lebih banyak waktu di luar dan mengambil kesempatan itu untuk menjauhi Judy sebisa mungkin. Awalnya hal itu menyakiti Judy, namun Judy tidak pernah menunjukkan emosinya di hadapan Mike, Judy hanya akan diam seolah tidak ada sesuatu hal yang terjadi karena ia telah dilatih untuk itu dan diam terasa lebih mudah ketimbang berbicara. Jadi segalanya menjadi semakin buruk dan setelah hampir satu tahun berlalu, Judy mulai terbiasa.
Sekarang Judy meragukan perasaannya terhadap Mike. Pernikahan itu jelas bukan sesuatu yang sehat lagi untuk mereka. Tidak ada percakapan di atas meja makan, setiap malam terasa lebih dingin dari biasanya dan tidak ada hubungan fisik selama itu. Terkadang Judy merindukan cara Mike menyentuhnya, atau bagaimana laki-laki itu menggodanya dan membisikkan sesuatu yang menenangkan ketika mereka terlibat secara fisik. Judy suka mendengar suara Mike yang lembut membisikkan sesuatu ke telinganya sebelum ia tertidur, atau lengan Mike yang kuat merangkulnya dengan erat. Namun seiring berjalannya waktu, perasaan rindu itu berubah menjadi kebencian dan setiap detik ketika ia berada di dalam rumahnya dan bertatap muka dengan Mike, Judy hanya ingin pergi secepatnya dari sana.
Hari itu tidak jauh berbeda dari biasanya. Itu adalah sore di hari sabtu, saat dimana seharusnya mereka mengambil waktu bersama-sama untuk menghabiskan akhir pekan, namun Mike pergi lebih cepat pagi tadi dan hingga sore itu, mobilnya tidak terparkir di garasi.
Judy menerima beberapa panggilan telepon dari teman lamanya di New York. Terkadang ia merindukan kota itu. Pernah sekali ia berpikir untuk kembali ke sana, ke rumah keluarga lamanya dan meninggalkan pekerjaannya di kota terpencil ini. Judy merasa segala sesuatunya aneh disana. Kali pertama ia mengendarai mobilnya melewati perbatasan untuk sampai di kota ini, Judy telah melihat gambaran tentang kota yang sakit.
Langitnya nyaris tidak pernah terlihat cerah. Pohon-pohon tinggi telah mengisi setiap sudut jalan sehingga sinar matahari tidak pernah menyentuh aspal. Ada lebih banyak kawasan kosong tak berpenghuni ketimbang kawasan yang dihuni. Bangunan-bangunan tua berusia ratusan tahun telah hancur dan puing-puingnya dibiarkan selama puluhan tahun lamanya. Tanahnya selalu basah, hujan salju turun di akhir tahun dan musim kemaraunya benar-benar mengacaukan jalanan. Tidak banyak penduduk yang menghuni tempat itu sehingga sangat mudah untuk mengenali mereka. Namun, rahasia tersembunyi dimana-mana. Rasanya Judy melihat rahasia yang tersembunyi dalam setiap pasang mata yang ditatapnya, bahkan Mike – satu-satunya orang terdekatnya.
Sistem keamanan disana tidak begitu ketat. Judy menyadari sejumlah protokol yang tidak berlaku ketika kali pertama ia bergabung dengan anggota kepolisian di bawah pimpinan Mike. Mike pernah menjelaskan bahwa kota terpencil itu jauh dari jangkauan pemerintah pusat dan mereka bahkan tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk melengkapi struktur di kantor.
Judy menyadari semua itu segera setelah ia memutuskan untuk tinggal disana, namun kehadiran Mike saat itu membuat segalanya tidak tampak terlalu buruk. Sekarang, Judy hanya ingin pergi dari tempat itu.
Setelah langitnya gelap, Judy memutuskan untuk duduk di belakang meja kerja sembari menatap layar laptopnya dan menjawab sejumlah e-mail yang masuk. Diam-diam Judy masuk ke akun e-mail Mike dan memeriksa riwayat beberapa surel yang telah dihapus. Judy suka melakukan itu sesekali. Selama beberapa bulan terakhir, kecurigaannya pada Mike meningkat, terutama karena Mike nyaris tidak pernah lagi pulang tepat waktu.
Terkadang ketika Mike sudah tertidur, Judy memeriksa ponselnya dan membaca sejumlah pesan dan panggilan yang masuk atau keluar, namun sejauh itu kecurigaannya tidak terbukti meski jauh di lubuk hatinya, Judy berharap hal itu benar-benar terjadi. Judy membutuhkan alasan – sama seperti Mike membutuhkan alasan untuk menjauhinya. Namun laki-laki itu bahkan tidak pernah mengungkapkan alasannya, dan Judy bisa saja melakukan hal yang sama.
Selama dua pekan terakhir, Judy telah terpikir untuk mendiskusikan masalah perceraian. Ia menunggu momen yang pas untuk itu, namun Mike nyaris tidak pernah menyisakan sedikit waktu luang bagi mereka untuk saling berbicara, atau ketika waktu hadir di depan mereka, Judy mendapati dirinya membisu. Ada banyak hal dipikirannya yang membuyarkan fokus Judy akhir-akhir ini, bukan hanya masalah hubungan rumah tangganya dengan Mike yang kian terasa hambar, namun juga keinginan untuk meninggalkan kota itu secepatnya dan kembali ke New York. Di samping itu, Judy masih memiliki banyak pekerjaan untuk diselesaikan. Kasus terakhirnya adalah tindak kekerasan yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya. Hingga saat ini kasus itu belum terselesaikan, namun segera setelah kasus itu usai, Judy berniat untuk mulai mendiskusikannya dengan Mike.
Setidaknya niat itu sudah lurus sebelum siaran berita yang ditayangkan di televisi memberitahunya kabar kematian seorang penghibur bernama Jessie Sue. Judy sedang mempelajari kasus itu dari laptopnya ketika ia mendengar suara gemuruh mesin mobil dari halaman depan. Melalui jendela di ruang kerja pribadi mereka, Judy melihat Mike baru saja keluar dari sedannya, dan kini bergerak masuk ke dalam rumah.
Laki-laki itu sedang menikmati sekaleng coke dari lemari pendingin ketika Judy menuruni tangga dan menghampirinya. Secara bersamaan Mike berbalik dan menatapnya sebelum menyandarkan tubuhnya di dekat konter dan mengalihkan tatapannya ke permukaan meja.
“Aku mendengar kabar itu,” ucap Judy untuk mengawali perkacakapan. Ia berjalan mendekati konter, berdiri dalam jarak satu meter jauhnya dari Mike, kemudian menyaksikan pria itu membuka lemari pendingin dan mengambil kaleng coke lain untuknya.
Judy menolaknya dengan cepat jauh sebelum Mike meraih alat kecil untuk membuka penutup kaleng.
“Tidak, aku sudah minum kopi. Terima kasih.”
Mike menatapnya sekilas namun tidak mengatakan apa-apa saat ia mengembalikan kaleng coke itu ke dalam lemari pendingin. Kali ini pria itu berdiri sembari meneguk minumannya. Kedua bahunya merosot dan ekspresi wajahnya tampak kosong saat menatap lurus ke arah jendela.
“Apa benar itu kasus bunuh diri?”
Mike menggeleng, “tidak, belum ada yang dapat memastikannya. Aku mengusahakan autopsi. Aku telah meminta Gilbert untuk membuat surat perintah dam aku akan mencoba berbicara pada Todd untuk mengajukan autopsi secepatnya.”
“Kenapa kau menginginkan autopsi?”
“Karena aku yakin itu bukan bunuh diri. Dan jika korban benar-benar berniat untuk bunuh diri, kenapa memilih cara yang menyiksa? Kenapa korban tidak langsung saja melakukan aksi nekat untuk menghilangkan nyawanya? Tapi yang terjadi korban menelan obat-obatan yang menyebabkan pembusukan dalam tubuhnya. Mudah sekali untuk berpikir bahwa itu adalah kasus bunuh diri, tapi aku pernah melihat tanda-tanda yang sama.”
Sembari mengernyitkan dahinya, Judy bertanya, “kapan?”
“Dua belas tahun yang lalu. Ketika aku menangani kasus kematian Sylvia Marlene. Dia juga salah satu penghibur, jasadnya ditemukan di dalam bathup. Aku berbicara pada Nelson dan mengajukan autopsi saat itu, namun dia menolak untuk mengajukannya pada pusat dan kasus itu ditutup sebagai kasus bunuh diri. Tidak ada penyelidikan lebih lanjut tentang kematian Sylvia – tidak ada seorangpun yang peduli. Aku tahu ada sesuatu yang salah tentang hal itu..”
“Maksudmu ada seseorang yang bertanggungjawab atas kematian mereka?”
“Ya. Aku cukup yakin dia orang yang sama.”
“Aku tidak mengerti, mengapa dia menunggu berlasan tahun untuk melakukan aksinya lagi?”
Mike tertegun sebelum menatapnya dan menjawab, “aku tidak tahu.”
“Kau bisa menyerahkan kasus ini padaku, aku akan menanganinya untukmu.”
“Tidak, bagaimana dengan kasusmu?”
“Aku sudah membuat laporan dan aku akan menyelesaikannya minggu ini. Aku bisa mengurus yang ini jika kau mau. Aku mengenal seorang relasi dari kantor pusat yang mungkin bisa membantu kita melakukan autopsi. Dan temanku Randy, dia seorang ahli forensik. Kita bisa melakukan autopsi secara sepihak jika memang pengajuan itu tidak disetujui.”
Mike mengangguk dan menyetujuinya dengan cepat. Laki-laki itu kemudian pergi untuk mandi dan kembali ke sofa di ruang tengah yang selama beberapa bulan terakhir telah menjadi pilihan tempat tidur favoritnya.
Judy sedang berjalan di sekitar lorong ketika ia melihat Mike duduk disana. Laki-laki itu sedang menumpuk kayu bakar di perapian dan menyulut apinya hingga membesar persis ketika Judy berjalan menghampirinya. Mike segera menyadari kehadirannya karena sebelum Judy sampai di dekatnya, laki-laki itu menolehkan wajahnya dan menatapnya dari atas bahu.
“Kesulitan tidur?” tanya Mike sembari menumpuk kayu-kayu di dalam lubang kecil beberntuk persegi yang memperlihatkan cahaya api di dalamnya.
“Tidak aku hanya ingin minum. Bisakah kita berbicara sebentar?”
Mike mengentikan aksinya untuk menumpuk lebih banyak kayu disana, kemudian berbalik dan berjalan ke arah sofa. Ia mengempaskan tubuhnya di atas sofa sebelum melambai dan meminta Judy untuk duduk disana.
“Bicaralah!”
Judy menatap permukaan sofa dengan ragu-ragu kemudian berkata, “aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya..”
“Katakan saja!”
Keheningan sejenak merayap di sekitar mereka. Yang terdengar hanyalah suara desisan lidah api yang menjilat kayu bakar di perapian. Kayu yang terbakar itu kemudian menghitam dan menyisakan seonggok debu di atas lantai. Sebelum Judy melanjutkan ucapannya, ia mengambil tempat dan duduk di samping Mike. Wajahnya menatap laki-laki itu untuk waktu yang lama, dan itu adalah kali pertama sejak bertahun-tahun mereka mendapatkan waktu untuk duduk dan saling bertatapan.
“Aku pikir ini masalah serius,” mulai Judy. “Kita tidak bisa seperti ini selamanya dan tidak melakukan apapun.”
“Apa maksudmu? Kau tidak spesifik..”
“Aku berbicara tentang kita, aku merbicarakan perikahan kita.”
Laki-laki itu kemudian mengangguk. Judy menunggu Mike bereaksi atau mengatakan sesuatu untuk menanggapi ucapannya. Namun laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa hingga Judy bertanya, “apa kau akan mengatakan sesuatu?”
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Mike balik bertanya, “kenapa tidak kau mulai saja?”
Judy tertegun. Ia berusah payah untuk menelan liurnya, terutama ketika Mike mendesak Judy melalui tatapannya. Mereka kehilangan kata-kata hingga keheningan yang hadir disana rasanya mampu membawa kebisingan kecil dari luar.
“Kurasa kau tidak ingin membahasnya,” Judy hendak bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu sebelum Mike menahannya. Mike mencengkram pergelangan tangannya dan memaksa Judy untuk tetap berada di sana. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar dingin. Judy mampu merasakan hal itu hanya dengan melihat ekspresi Mike.
“Kau bilang kita harus membahasnya,” ucap Mike. “Aku disini, Judith, kau bisa memberitahuku apapun. Apa yang ingin kau sampaikan?”
“Aku melupakannya.”
“Mengapa kau mengecek e-mail-ku?” tanya Mike dengan terus terang. Tatapannya terarah lurus ke perapian.
Selama beberapa saat Judy hanya mengamati rahang pria itu berkedut. Tiba-tiba hawa panas menjalar naik ke atas wajahnya. Seisi ruangan menyempit dan udara di paru-parunya seakan dipompa habis. Judy kesulitan untuk menemukan penjelasan yang tepat, namun ia telah mengenal Mike selama belasan tahun. Laki-laki itu tidak membutuhkan penjelasan untuk sesuatu yang sudah diketahuinya dan biasanya Mike tidak menolerir kesalahan apapun. Namun Judy bukannya melakukan kesalahan. Yang ia lakukan hanyalah memastikan segalanya baik-baik saja. Jika Mike berpikir bahwa Judy telah melanggar privasinya, maka itu berada di luar kendali.
“Aku hanya ingin tahu dengan siapa kau berbicara.”
“Kau juga memeriksa ponselku, surat-suratku. Dulu kau tidak pernah melanggar privasiku.”
“Begitukah kau menyebutnya? Privasimu?”
Rahang Mike mengeras, wajahnya memerah dan jari-jarinya mengepal. Laki-laki itu masih menatap ke arah perapian, suaranya begitu tenang di tengah keheningan, bahkan dengan emosinya yang berkecamuk Mike tetap mampu menjaga semua itu berada di bawah kendalinya.
“Bagaimana perasaanmu jika aku mencurigaimu?” pria itu bertanya. “Bagaimana perasaanmu jika aku memeriksa barang-barang pribadimu, masuk ke akun media sosialmu hanya untuk memastikan kau tidak bersama pria lain?”
“Aku tidak mengatakan begitu.”
“Lalu apa lagi?” Tatapan Mike terangkat, kini terarah lurus ke wajah Judy dan menuntut jawaban. “Kau mencurigaiku.”
“Ya, karena kau lebih sering berada di luar sana. Kau lebih memilih untuk berada di luar sana, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, kau tidak bicara padaku.”
“Aku bekerja..”
“Tidak, kau hanya menghindariku,” potong Judy dengan cepat.
“Kalau begitu sekarang aku ada disini. Mari kita bicara! Apa yang ingin kau katakan?”
Judy menarik nafas dalam-dalam. Ia memejamkan mata saat melakukannya. Di sampingnya, Mike masih bergeming, menatapnya sambil menunggu jawaban.
“Aku berpikir untuk kembali ke New York, ke rumah keluargaku. Tinggal disana bersama mereka..” Judy menatap Mike, berusaha menilai reaksinya. Kemudian pria itu mengangguk-anggukan kepalanya dan berkata,
“Aku mengerti.”
“Tidak, kurasa kau tidak mengerti. Aku berusaha mengajakmu. Aku ingin kau ikut bersamaku..”
“Aku tidak bisa meninggalkan kota ini. Mereka membutuhkanku.”
“Dan aku tidak?”
“Kau tidak membutuhkanku, Judith.. kau tidak membutuhkanku lagi sejak satu tahun yang lalu. Kau hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja, karena kau tidak suka jika sesuatu tidak berjalan sesuai rencamu. Kau tidak ingin melahirkan anakku, kurasa kau juga menyesali pernikahan ini sejak satu tahun terakhir – jadi tidak,” Mike menatapnya kemudian menggeleng dan menegaskan kalimat terakhirnya, “kau tidak membutuhkanku.”
Kedua mata Judy terasa menyengat, jantungnya mencelos, namun ia tidak membiarkan emosi itu tampak di permukaan. Sebagai gantinya, Judy mengerjapkan mata berkali-kali kemudian menjaga agar suaranya tidak bergetar saat bertanya, “bagaimana denganmu? Apa kau membutuhkanku?”
“Kita telah sepakat sebelum hari pernikahan dan kau setuju untuk tetap berada disini – di kota ini. Kita sudah menyepakati banyak hal yang tampaknya tidak kau ingat lagi. Tapi percuma saja aku mengingatkanmu, sudah terlambat untuk itu.. terutama setelah kau berpikir untuk pindah ke New York.”
Judy mengembuskan nafasnya dengan tenang, dengan tatapan kosong yang terarah ke permukaan meja, ia menegaskan pertanyaan terakhirnya.
“Kau tidak spesifik,” ucap Judy dengan cara yang sama seperti ketika laki-laki itu mengucapkannya. “Aku bertanya apa kau membutuhkanku?”
Mike bergeming untuk waktu yang lama, namun tatapannya yang kosong mengartikan banyak hal sehingga Judy menolak untuk memperpanjang masalah itu, alih-alih bangkit berdiri untuk meninggalkan ruang tengah. Namun, ketika Judy baru mengambil tiga langkah menjauh, ia berbalik dan mengatakan, “setidaknya tidurlah di kamar tamu. Ada kasur, selimut yang hangat, atau jika kau menginginkan kamar itu aku tidak keberatan untuk pindah ke kamar tamu.”
“Tidak,” sahut Mike. “Aku merasa nyaman disini. Selamat malam, Judith.”
Mike mengucapkan namanya dengan dingin. Setelah bertahun-tahun untuk kali pertama Judy merasakan namanya terdengar asing di mulut pria itu. Tapi Mike tidak mengatakan apapun lagi untuk memperbaikinya dan Judy tidak berlama-lama disana untuk menatap pria itu dari tempatnya. Ia telah berbalik menuju kamar dan meninggalkan ruang tengah itu dengan cepat. Tiba-tiba perjalanan menuju kamarnya terasa panjang dan menyiksa. Judy tidak dapat mencegah air matanya jatuh ketika ia mencapai lorong. Sejak dulu, ia sudah dapat menebak pernikahan itu tidak akan bertahan cukup lama. Judy terkejut ketika mereka masih bertahan setelah sebelas tahun, namun setiap hari, setiap menit, setiap detiknya ia tidak berhenti bertanya kapan bom waktu itu akan meledak. Judy pikir, malam itu adalah waktunya.
-
Beritahu saya tanggapan kalian.