Bab 9

1888 Kata
ERIN - Ada sesuatu yang mengganggu Erin tentang kota kecil itu: bahwa segalanya bergerak terlalu cepat disana. Terkadang ia lupa cara membedakan pagi dan petang karena langitnya akan selalu tampak berkabut. Ada banyak lahan kosong tak berpenghuni, bangunan-bangunan tua yang tak terawat dan rahasia yang terkubur dimana-mana. Rasanya Erin mampu mencium kebusukan di setiap sudut tempat: di bantaran sungai, di dekat tembing, di balik tembok yayasan, di tempat-tempat kosong atau bahkan jalanan-jalanan padat. Di dalam gang-gang sempit, atau bahkan di bawah atap rumahnya sendiri: persis di bawah kasurnya, tempat dimana Erin meletakkan semua barang-barang lama milik putranya, Bobby Darryl.                 Sejak dulu Erin punya harapan bahwa Bobby akan tumbuh dewasa seperti laki-laki lain seusianya. Namun ketika bayi itu berusia dua tahun, Erin menyadari sesuatu yang salah tentang cara kerja otaknya. Suster Lauren yang dikenalnya sejak ia bekerja di yayasan mengatakan Bobby tidak akan tumbuh besar seperti remaja laki-laki seusianya. Awalnya, Erin menolak untuk memercayai hal itu, namun ketika bayi laki-lakinya tumbuh, segalanya menjadi semakin jelas.                 Bobby menyukai hal-hal aneh seperti bau bangkai anjing dan bebatuan sungai. Terkadang Erin sering menemui putranya berkeliaran di anak sungai, mengais-ngais tanah menggunakan sekop kecilnya, dan pulang dengan membawa sekantong batu-batuan sungai di dalam tasnya. Bobby suka memajang batu-batuan itu di atas rak bukunya, di mejanya, bahkan di birai jendelanya. Bobby sanggup mengurung diri di dalam kamar hanya untuk mengamati batu-batuan itu selama berjam-jam.                 Sejak Bobby berusia lima tahun, bocah laki-laki itu suka menyendiri. Erin mendapatinya sering berdiri di bawah rumah pohon, kemudian menengadah dan menatap ke atas sana selama berjam-jam. Pernah suatu hari ia terbangun dari tidurnya dan mendapati Bobby tidak berada di dalam kamarnya. Erin berkeliaran mengelilingi halaman belakang rumahnya dan pergi ke anak sungai dengan kaki telanjang hanya untuk menemukan dimana putranya, kemudian pada pukul enam, ketika langitnya mulai cerah dan ia terpikir untuk menghubungi polisi, bocah laki-laki itu muncul di depan terasnya dengan membawa bangkai anjing di kedua tangannya.                 Erin mengingat hari itu, persis di pagi buta ketika untuk kali pertama ia berteriak di depan wajah putranya dan menjadi histeris setelah melihat bangkai anjing itu. Untuk menunjukkan protesnya atas sikap kasar Erin, Bobby mengurung diri di gudang selama hampir dua malam. Remaja itu tidak menelan apapun hingga Erin akhirnya berhasil membujuknya untuk keluar.                 Lauren pernah mengatakan padanya bahwa anak dengan kelainan seperti Bobby akan merasa terganggu pada suara-suara bising dan teriakkan seseorang. Sejak hari itu, setelah Erin menemukannya terbaring di atas lantai gudang dengan wajah pucat dan bau busuk yang menempel di sekujur tubuhnya, kondisi Bobby semakin parah. Selama satu pekan putranya menjalani pengobatan rawat di rumah sakit. Seorang dokter dari sana menyarankannya untuk menyerahkan Bobby ke panti anak dan membiarkan putranya berkumpul dengan anak-anak lain dengan kelainan khusus yang sama. Namun Erin menolaknya dengan tegas, mengeluarkan Bobby dari rumah sakit itu dan tidak pernah membiarkan Bobby kembali kesana.                 Erin memiliki ketakutan bahwa suatu saat ia akan menyesali keputusannya. Namun itu sudah berlangsung selama tiga puluh dua tahun dan sejauh itu Erin tetap bertahan dalam situasi sulit mereka. Tanpa seorang suami atau sanak saudara yang bahkan tidak dimilikinya, Erin berhasil merawat Bobby sebagaimana seharusnya. Dan kini putranya bahkan telah berusia tiga puluh dua tahun. Bobby tumbuh begitu cepat hingga Erin nyaris tidak dapat memercayainya. Sepanjang hari ketika ia mengamati Bobby duduk di beranda rumahnya, atau ketika laki-laki itu duduk menyendiri di atas ayunan besi di halaman rumahnya, Erin merasakan hatinya terenyuh.                 Erin menginginkan Bobby mendapatkan apa yang seharusnya ia dapatkan. Selama bertahun-tahun Erin membiarkan putranya berkeliaran di setiap sudut kota untuk menemukan apapun yang diinginkannya, dan selama itu juga Erin meyakinkan dirinya bahwa melepaskan Bobby adalah satu-satunya cara untuk memberi putranya kehidupan yang normal. Kemudian suatu hari Bobby pulang dengan pakaian bersimbah darah dan noda bekas lumpur yang mengering. Erin merasa ketakutan. Keesokan harinya seorang petugas polisi mengetuk pintu rumah Erin dan mengatakan bahwa putranya bertanggungjawab atas tewasnya anjing milik pasangan Lawrence. Polisi mengatakan bahwa Bobby telah menikam binatang itu dengan pecahan keramik dan menguburnya secara asal di bantaran sungai.                 Pasangan Lawrence marah besar, namun Erin berusaha keras meyakinkan polisi bahwa anaknya memiliki kelainan khusus dan ia tidak dapat mencegah apa yang telah terjadi. Sejak hari itu, Erin selalu mengawasi kemana Bobby pergi. Ia menolak setiap kali seorang petugas keamanan lokal memberinya tawaran untuk menyerahkan putranya ke rumah sakit jiwa, dan sampai sejauh itu Erin baik-baik saja.                 Dulu ketika Erin masih bekerja di yayasan anak, ia terbiasa hidup sendirian di dalam rumahnya. Kemudian suatu malam Sylvia Marlene mengetuk pintu rumahnya, dengan wajah yang dipenuhi memar dan luka-luka di sekujur tubuhnya wanita itu menyerahkan bayi laki-lakinya dan meminta Erin untuk memasukkannya ke yayasan. Saat itu Erin tidak mengenal Sylvia kecuali karena profesinya sebagai penghibur. Sylvia menceritakannya banyak hal mulai dari kejadian ketika ia melahirkan bayi laki-lakinya di pinggir jalan, kekerasan yang dilakukan oleh beberapa pria yang terlibat dengannya, hingga insiden kecelakaan yang dialaminya hingga nyaris menewaskannya dan bayi itu. Sylvia mengatakan bahwa ia tidak akan mengurus bayinya dengan baik dan pekerjaannya terlalu berisiko sehingga ia harus menyerahkan bayinya kepada Erin, salah satu pengurus yayasan yang dipercayainya. Sylvia juga menyebutkan kata ‘tewas’ berkali-kali, ia menyakinkan Erin bahwa jika ia membiarkan bayi itu tinggal bersamanya, maka bayi itu bisa saja celaka. Suatu saat Sylvia mengakui bahwa tidak ada pilihan untuk melihat bayinya tetap hidup dan untuk alasan yang sama Erin menjaga bayi itu bersamanya.                 Sejak awal Erin telah menyukai Bobby. Ia memberinya nama Bobby Darryl karena warna mata birunya yang mengingatkan Erin pada kembar bersaudara Darryl dalam sebuah kisah yang sering dibacanya. Namun terlepas dari semua itu, Erin memiliki harapan besar atas bayi itu. Ia telah membayangkan banyak hal yang akan mereka lakukan ketika Bobby tumbuh menjadi anak-anak. Dan seiring berjalannya waktu, Bobby telah menjadi anaknya. Alih-alih menyerahkan bayi itu kepada yayasan, Erin memilih untuk merawatnya sendiri.                 Sejauh ini Erin berhasil mengabaikan omongan orang-orang di sekitarnya yang mengolok-olok kewarasan Bobby. Setiap minggu pagi, Erin membawanya ke gereja untuk mengikuti misa dan selama bertahun-tahun, mereka bertahan dengan rutinitas yang sama.                 Sore itu, dengan awannya yang sedikit mendung, Bobby belum kembali. Laki-laki itu telah menghilang sejak pagi tadi sehingga Erin bergerak mondar-mandir dengan gelisah di beranda. Matanya menatap lurus ke kejauhan, menyusuri bukit-bukit rendah yang melandai menuju rumahnya, pohon-pohon tinggi dan jalan kosong yang tampak berkabut.                 Sekilas Erin melihat bayangan melintas di kejauhan sana, persis di antara kabut tebal yang menutupinya. Angin bertiup kencang dan ranting pohon di samping rumahnya bergerak mengetuk kaca jendela. Sementara itu birai jendela di lantai atas, tepat di kamar Bobby terbuka. Angin menyapu kencang dan mengayunkannya hingga membentur permukaan dinding. Suara arus deras air di anak sungai mengaburkan suara-suara lain yang muncul, kemudian disusul oleh suara gemuruh mesin truk yang baru saja melintas dari arah hutan.                 Erin masih menatap di kejauhan, melihat ke balik kabut tebalnya dan berusaha menemukan bayangan seseorang yang dilihatnya disana.                 “Bobby!” serunya ketika ia berjalan keluar meninggalkan beranda. Namun semakin dekat, Erin mendapati kabut itu menghilang perlahan, menyisakan jalanan kosong di depannya.                 Saat itu Erin memutuskan untuk menyusuri jalur setapak menuju yayasan anak. Sebelas tahun yang lalu, ketika Erin masih bekerja disana, ia sering menyusuri jalur setapak yang sama. Tanahnya yang selalu lembab dipenuhi oleh bebatuan licin dan kerikil. Rumput tubuh liar disana, daun-daun kering berguguran di bawah pohon-pohon besar. Ada banyak pohon-pohon besar sehingga siapapun yang melewati jalur itu akan mengalami kesulitan untuk melihat ke balik tembok yayasan.                 Namun setelah melewati pohon dan semak-semak di sekitarnya, Erin dapat melihat yayasan anak dibalik pagar setinggi dua meter yang membatasinya. Bangunan tua itu telah berusia dua ratus tahun, namun tembok-temboknya yang tersusun dari bata masih berdiri dengan kokoh. Birai-birai jendela kayunya tertutup rapat, lampu di pekarangan mulai berkarat dan menghitam seolah-olah tidak pernah di besihkan. Kaca-kaca dibalik dinding itu juga tampak kusam, sementara itu pintu depannya tertutup rapat. Terdapat banyak pilar yang menyangga bangunannya, Erin masih mengingat letak kamar di sayap kanan, tempat dimana ia sering menghabiskan waktunya. Kaca jendelanya sedikit terbuka sehingga ia dapat mengintip ke dalam sana. Erin mendapati rak-rak kayu yang sama masih mengisi setiap sudut tempatnya. Karena tidak ada lampu di dalam sana, mereka menggunakan pemanas. Namun tidak ada suster yang berkerja saat malam. Petugas keamanan akan memastikan semua ruangan telah kosong dan seluruh anak di dalam bangsal itu telah berada di ruangan mereka. Para perawat akan pulang sebelum pukul tujuh dan pintu gerbang itu akan dikunci sekitar pukul sebelas.                 Saat itu hampir pukul enam ketika Erin berjalan menyusuri bagian belakang bangunan. Ia mengingat sebuah pintu kecil – lebih mirip lubang dari tembok yang hancur – yang dapat menjadi akses bagi siapapun yang hendak memasuki yayasan. Hanya sedikit orang yang tahu tentang pintu rahasia itu. Diam-diam Erin suka melewatinya. Namun penjaga yang mengenalnya tidak akan terkejut, bahkan beberapa di antara mereka yang mengenalnya cukup dekat mempersilakannya untuk singgah di posko.                 Sayangnya, kabut di sekitar sana cukup tebal sehingga Erin tidak dapat melihat dengan jelas bayangan yang muncul di kejauhan. Namun ia masih dapat mendengar suara langkah kaki yang bergerak mendekatinya. Suara itu semakin jelas, hingga persis ketika seseorang menyentuh bahunya, Erin terlonjak kaget. Ia berbalik dengan cepat untuk menatap wajah Suster Helen, wanita berusia akhir tiga puluhan yang telah bekerja disana selama belasan tahun.                 “Erin?” tanyanya, tampak begitu terkejut saat melihatnya. “Apa yang kau lakukan disini?”                 “Aku mencari Bobby.”                 “Bobby Darryl? Putramu?”                 “Ya.”                 Suster Helen menatap ke sekitarnya dan menjawab, “dia tidak disini.”                 “Kau yakin? Dia suka berkeliaran, dia bisa berada dimana saja, aku hanya perlu memastikannya.”                 “Semua ruangan sudah diperiksa. Petugas keamanan sudah memeriksanya. Semua pintu sudah ditutup. Kau sebaiknya menunggunya di rumah, sekarang sudah hampir malam. Jika dia tidak kembali juga, sebaliknya hubungi polisi.”                 “Tidak, tidak.. mereka akan menahannya.”                 “Apa?”                 “Mereka pernah menahan Bobby, aku tidak ingin itu terjadi lagi.”                 “Ya, tapi kau tidak bisa mencarinya sendirian.”                 Erin menunduk menatap kakinya. Dahinya membentuk kerutan yang dalam sedang kedua matanya menyipit selagi Suster Helen berbicara,                 “Aku akan mengantarmu,” katanya sembari meraih lengan Erin.                 Erin kemudian menghindar dengan cepat. Kakinya sudah bergerak mundur saat ia berkata, “tidak, aku bisa pulang sendiri. Terima kasih.”                 “Ya, berhati-hatilah, Erin. Kapanpun kau membutuhkan bantuan, kau bisa menghubungiku.”                 “Terima kasih, Helen.”                 Erin telah berbalik pergi saat mengatakannya. Ia kembali melewati lubang di tembok itu dan kali ini pergi menyusuri anak sungai. Ketika langitnya mulai gelap, Erin baru kembali ke rumah. Ia mendapati pintu depan terbuka lebar dan seseorang sedang berjalan di dekat lorong. Erin mengenali pria itu sehingga ia langsung berlari untuk masuk ke dalam rumah. Persis di ujung lorong, Bobby berdiri memegangi mainannya. Wajahnya memerah ketakutan ketika Erin mendekat untuk memeluknya. Menggunakan telapak tangannya yang kering, Erin menyeka keringat di dahi laki-laki itu, diam-diam merasakan hatinya tersayat saat melihat ketakutan yang muncul di wajah Bobby.                 Erin membimbing putranya untuk pergi tidur, sementara itu radio di ruang tengah menyala. Sebuah saluran lokal yang sedang diputar baru saja memberitakan kabar kematian seorang penghibur bernama Jessie Sue. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu ditemukan tewas di rumahnya. Sejauh ini polisi belum dapat memastikan penyebab kematiannya, namun beberapa pihak menduga bahwa Jessie Sue telah melakukan aksi bunuh diri.                 Setelah suara dari radio itu menghilang, Erin merasakan darahnya berdesir cepat dan ketakutan yang sama yang pernah dialaminya belasan tahun silam kini terulang kembali.                 Oh Tuhan.. bisik suara di kepalanya. Jangan lagi.. - Beritahu saya tanggapan kalian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN