Berbeda dengan Bumi yang langsung mencoba tidur malam itu, Asa justru tak bisa tidur. Kamar yang disediakan Bumi untuknya sangat bagus. Bahkan kamar mandinya terlihat seperti kamar mandi di hotel. Ia sudah pernah masuk ke hotel mewah ketika sedang melakukan studi wisata di luar kota.
"Ya ampun, keren banget!" Asa baru saja mengintip ke luar kamar lewat balkon. Ada taman kecil di bawah sana. "Ini sih surga namanya, bukan rumah biasa."
Asa yang baru saja mandi dan berganti pakaian langsung berbaring di duduk empuk. Ia menaik-turunkan pantatnya di sana hingga ia bisa merasakan betapa membalnya kasur itu. "Wah, enak banget, sumpah!"
Kini, Asa mengecek ponselnya. Ia membaca beberapa larik pesan dari Jimmy dan dalam hati ia berharap agar Jimmy tak pernah tahu ia diam-diam menikah. Namun, jika Jimmy tahu, ia yakin Jimmy akan mengerti. Jimmy tahu ia hidup kekurangan dengan utang yang banyak.
"Aku nggak bisa tidur. Mendingan aku tur keliling rumah ini," gumam Asa. Ia sedikit penasaran dengan apa yang dilakukan oleh Bumi. Seharusnya ini jadi malam pertama mereka, tetapi tidak, mereka tidak perlu menjalani ritual itu. Mereka hanya pura-pura menikah selama setahun.
Asa melihat ke lantai bawah. Lampu masih menyala hingga ia curiga Bumi ada di bawah. Namun, tak ada pergerakan ketika ia mengintip selama beberapa detik dari pagar. Jadi, ia segera menuruni anak tangga.
"Rumahnya bagus, barang-barangnya juga mewah," gumam Asa. Ia menyentuh hampir semua perabot dengan takjub. Ia juga membuka semua pintu ruangan yang ia temui.
"Wow! Ada perpus!" Asa membelalak melihat deretan buku di beberapa rak. Ia juga suka membaca, tetapi yang ia baca hanya komik dan n****+ remaja. Jadi, ia tak begitu tertarik dengan buku-buku bisnis Bumi. Ia menutup kembali pintu ruangan itu.
"Wah! Ini sih surga dunia!" Asa masuk dengan cepat ke ruangan yang memiliki beberapa monitor besar. "Mas Bumi pasti hobi main game."
Asa yang juga sangat menyukai game pun langsung menyalakan komputer. Ia sangat senang ketika menyadari koneksi internet di rumah ini sangat lancar. Ia mulai memainkan beberapa level permainan yang ada di sana. Sesekali, ia bersorak ketika menang.
"Ah, harusnya sambil ngemil," kata Asa yang sedang geregetan dengan permainannya. Ini benar-benar menyenangkan. Ketika ia sudah memenangkan permainan, ia langsung berdiri dan bersorak. Ia berlari memutari ruangan untuk melakukan selebrasi.
Tanpa Asa sadari, Bumi yang tak ternyata tak bisa tidur pun berniat mengambil air minum dari dapur. Namun, ketika ia menuruni anak tangga ia mendengar suara aneh dari ruang game-nya. Jadi, ia memutuskan untuk mengintip.
"Dia ngapain di sini?" Tadinya Bumi ingin menegur Asa yang lancang bermain di komputernya, tetapi ketika itu Asa telah selesai bermain dan memenangkan permainan. Mau tak mau Bumi menahan tawanya ketika melihat Asa menari-nari dengan senang. Rambut pendeknya dikuncir dua hingga membuat gadis itu terlihat semakin lucu.
"Ternyata dia bisa main game juga," batin Bumi.
Asa kembali duduk tanpa mengetahui Bumi masih mengintipnya. Ia masih ingin memainkan game, tetapi ia juga tak enak, jadi ia segera mematikan komputer tersebut.
"Aku mau lihat dapur, ah," gumam Asa.
Bumi yang sedang berada di balik pintu pun langsung gelagapan. Ia membalik badan lalu berpura-pura mengelap rak yang ada di dekat pintu.
"Ehm, Mas ngapain di sini?" tanya Asa kaget. Ia menggigit ujung jarinya karena takut akan dimarahi oleh Bumi.
"Aku ... ehm, aku mau minum, sih," kata Bumi. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Oh. Aku juga." Asa menoleh ke ruang game. "Aku cuma penasaran dan liat-liat. Maaf."
Bumi mengangguk. "Ehm, nggak masalah. Yang penting ... kamu suka main game?"
Asa mengangguk cepat. "Ya! Suka banget."
Bumi tersenyum tipis. Sebenarnya ia tak perlu bertanya karena ia bisa langsung menilai Asa setelah mengintipnya.
"Mas mau minum apa? Mau aku buatin sesuatu?" tanya Asa.
"Ehm ... teh mungkin," jawab Bumi canggung. "Kamu udah lihat dapurnya?"
"Belum." Asa memiringkan kepalanya untuk melihat ruangan lain. "Di sana, ya?"
"Ya. Ayo." Bumi melambaikan tangannya dan Asa mengikutinya.
"Ah, ini dapurnya? Besar juga." Bumi mendengar gumaman Asa. Gadis itu langsung mengeluyur untuk membuka setiap kabinet yang ada di dapur.
Bumi yakin Asa memiliki tingkat penasaran yang tinggi. Ia bisa melihat eskpresi yang berbeda setiap kali Ada melihat sesuatu di dapurnya.
"Ah! Teh!" Asa mengambil kotak teh celup lalu menatap toples demi toples yang ada di dapur untuk menemukan gula pasir. "Mas suka yang manis?"
"Jangan manis-manis," kata Bumi.
"Oke." Asa lalu mengambil dua gelas bersih. Ia menuangkan sedikit gula lalu meletakkan teh celup di sana. "Biasanya yang masak siapa, Mas?"
"Nggak ada." Bumi menjawab apa adanya. Ia membayar orang untuk bersih-bersih dua hari sekali. Ia hanya tinggal sendiri dan tak ada banyak barang yang perlu dibereskan kecuali cucian. Ia juga jarang sekali memasak.
"Oh, jadi semua yang ada di sini cuma pajangan?" tanya Asa seraya menunjuk ke beberapa alat masak.
"Ya, gitu deh. Mama yang beli sebagian. Kamu bisa masak?" tanya Bumi penasaran. Dulu, Tantri hampir tidak pernah memasak untuknya. Paling hanya mendadar telur. Jangankan memasak, membuat kopi atau teh saja Tantri malas.
"Bisa, dong! Besok aku masak buat Mas. Ini ... sekarang nggak laper, kan?" tanya Asa. Mereka sudah makan di acara resepsi tadi.
"Nggak, kok." Bumi melirik Asa yang tengah mengaduk teh di gelas. Gadis itu terlihat sangat segar dan jelas telah mandi. Meskipun memakai baju tidur panjang, tetap saja itu membuat Bumi sedikit gelisah. Ia tak pernah berduaan dengan wanita lagi di rumahnya. Apalagi ini sudah malam dan suasana sangat sepi.
"Ini tehnya, Mas."
Suara Asa membuat Bumi terkesiap. Bahkan suara Asa terdengar begitu lembut di telinganya. "Makasih. Kamu juga minum."
Asa mengangguk. Ia membawa gelasnya ke meja makan, begitu juga dengan Bumi. Keduanya duduk dengan jarak satu kursi. Asa minum sembari memainkan ponselnya dan itu tidak luput dari pandangan Bumi.
"Kamu mau beli ponsel baru?" celetuk Bumi yang entah bagaimana terus menatap setiap detail istrinya. Ia melihat ponsel Asa sudah ketinggalan mode dan terlihat buluk.
"Ah, nanti deh. Kalau ada uang," kata Asa mengangkat bahunya.
"Aku bisa beliin kamu ponsel baru," sahut Bumi cepat.
Kedua mata Asa sempat berbinar, tetapi kemudian gadis itu membuang napas panjang. "Nggak usah deh, Mas. Ini masih bisa dipakai."
"Tapi itu pasti udah lemot. Aku pernah punya ponsel kayak gitu dan kayaknya udah lama banget. Udah saatnya kamu upgrade," ujar Bumi dengan nada meyakinkan. "Besok aku nggak kerja, kita bisa cari ponsel baru sekalian ... yah, mungkin beli bahan makanan kalau kamu mau masak."
Bibir Asa membulat. "Nggak ada bahan makanan di sini?"
"Ya, aku jarang masak. Paling ada telur dan roti aja," kata Bumi. Ia tersenyum ketika Asa terlihat agak tertarik sekarang. "Jadi gimana? Kamu mau keluar besok? Sekalian aku beliin kamu ponsel baru."
Asa terlihat berpikir sejenak. Ia lalu mengangguk. Bumi adalah suaminya dan wajar jika ia mendapatkan ponsel baru.
"Bagus. Besok agak siang aja," kata Bumi.
"Oke. Tapi, aku nggak ngerepotin Mas, kan?"
"Hah?" Bumi membelalak.
"Ya ... maksud aku sebenarnya Mas nggak perlu beliin aku ponsel baru juga," kata Asa
Bumi tertawa kecil. "Nggak repot, tenang aja." Ia menggeleng pelan. Kenapa ia begitu senang bicara dengan Asa? Ataukah ia senang karena Asa mau berbelanja dengannya besok? Atau mungkin, ia sedang menikmati malamnya dengan Asa?
Dengan gelisah, Bumi segera meneguk tehnya cepat. Namun, teh itu masih panas. Jadi, ia justru terbatuk hingga memuncratkan teh panas itu dari mulutnya.
"Astaga, Mas!" pekik Asa seraya berdiri. Gadis itu mengambil tisu dari tengah meja lalu mengelap bibir Bumi yang basah dengan cairan teh. "Ini tuh panas banget orang dari termos airnya. Kenapa buru-buru banget?"
Bumi menelan keras ketika Asa mengusap bibirnya—dengan tisu. Ia tak berkedip dan mendongak ke wajah panik Asa hingga tiba-tiba mereka bertatapan. Suasana menjadi canggung. Asa menarik tangannya dari bibir Bumi lalu berdehem karena ia menyadari Bumi tidak apa-apa.
"Maaf, bikin kamu kaget," ujar Bumi.
"Mas nggak apa-apa?" tanya Asa.
"Nggak, kok." Bumi mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Sensasi aneh menjalari tubuh Bumi. Sudah lama sekali sejak bibirnya disentuh orang lain. "Aku lupa kalau ini panas."
"Ada-ada aja, Mas," kata Asa sambil tertawa. Ia mengambil tisu lagi untuk mengelap meja yang basah.
Bumi mencoba untuk tidak melirik Asa, tetapi gadis itu terlalu cantik untuk ia biarkan. Sungguh sialan, ia mengumpat dalam hati agar bisa mengendalikan dirinya sendiri.
"Kamu nggak bisa tidur di sini?" tanya Bumi.
"Belum biasa mungkin. Kamarnya besar dan bagus banget," jawab Asa. "Tapi ini sekarang udah agak ngantuk."
Bumi mengangguk. "Ya. Semoga kamu bisa tidur setelah ini."
"Ya."
Bumi kembali meneguk air tehnya dengan perlahan. Mereka tak banyak bicara lagi hingga isi gelas Bumi habis sementara Asa masih memainkan game tetris di ponselnya. Bumi memutar gelasnya dengan gelisah.
"Aku mau naik, kalau kamu mau tidur ... ehm, lekas naik aja. Udah malem," kata Bumi.
"Ya. Aku cuci gelas dan sendok dulu," ujar Asa.
"Nggak usah, besok aja."
"Cuma dua," sahut Asa.
"Oke. Aku duluan." Bumi melihat Asa mengangguk. Ia kembali memerhatikan Asa berjalan ke dapur lalu mencuci gelas mereka. Tak ingin kedapatan terus mencuri tatap, Bumi pun segera naik ke kamarnya.
"Ini pasti karena aku udah cukup lama sendiri," gumam Bumi ketika ia berbaring di ranjang. Ia melirik pintu, penasaran dengan apa yang dilakukan Asa sekarang. Dan memikirkan itu membuat Bumi tidak bisa lekas tidur.