Bab 7. Berbelanja Bersama

1520 Kata
Keesokan harinya, Bumi bangun dengan cepat. Ia langsung mengerjap ketika ia ingat ia baru saja mengikat janji suci dengan gadis belia bernama Asa. Mereka bahkan minum teh bersama tadi malam. "Apa Asa udah bangun?" Bumi bertanya-tanya karena Asa tidak tidur di kamarnya. Ia tentu tak ingin mengecek Asa sekarang. Ia memutuskan untuk mandi terlebih dulu lalu. Tatkala Bumi keluar dari kamar, ia melirik pintu kamar Asa. Biasanya ia akan berolahraga pagi dengan berlari sejenak atau melakukan skipping di halaman belakang. Namun, pagi ini ia tak mau melakukannya. Ia lebih penasaran dengan apa yang dilakukan oleh istrinya. Bumi baru mencapai setengah jalan menuruni anak tangga ketika ia mencium aroma sedap dari lantai bawah. Bumi cepat-cepat mengecek meja makan. Rupanya sudah ada roti bakar dan telur ceplok di meja. Juga ada s**u segar di gelas. Memang hanya itu yang ada di dapurnya, tetapi ia agak terkejut karena Asa benar-benar menyiapkan sarapan. "Mana dia?" Bumi bergumam seraya mengecek ke pintu belakang dapur yang sedikit terbuka. Bumi menyandarkan tubuhnya di kusen pintu ketika ia mendapati Asa sedang melakukan skipping di belakang. Berbeda dengan semalam, Asa kini memakai setelan yang minim. Bra sport hitam menempel di tubuh atasnya sementara legging melekat di kakinya yang ramping. Pemandangan itu tentu saja terlihat sangat indah di mata Bumi. Ia tak berkedip melihat tubuh Asa yang bergerak-gerak dengan lincah. Hingga tiba-tiba Asa mengakhiri gerakannya lalu menoleh. Ia bertemu tatap dengan Bumi. "Hai, Mas." Tentu saja, Asa tidak menyadari bahwa Bumi baru saja menikmati keindahan tubuhnya selama beberapa detik. "Ehm, ya. Aku kira kamu di mana," kata Bumi gugup. "Kamu udah masak sarapan juga." "Ya. Aku nggak tahu Mas suka minum kopi atau s**u di pagi hari, jadi aku siapin s**u. Kalau mau kopi biar aku buatin," kata Asa. "Nggak usah. Aku suka s**u, kok," jawab Bumi dengan segenap usaha untuk tidak menatap d**a Asa yang membusung. Asa mengangguk. "Ya udah, Mas sarapan aja dulu. Aku mau mandi bentar. Mas boleh makan duluan kalau udah laper." Gadis itu meletakkan gulungan skipping rope kembali di meja lalu berlari masuk ke rumah. Bumi tersenyum konyol. Ia benar-benar tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa semua hal yang dilakukan oleh Asa selalu mencuri perhatiannya? Bumi segera kembali ke dapur. Ia mengunci pintu belakang lalu mengedarkan matanya. Dapur ini baru saja dipakai memasak oleh Asa, tetapi keadaannya sangat bersih. Sepertinya Asa memang pandai mengurus rumah. Ia jadi menggaruk kepalanya sendiri karena entah bagaimana ia merasa senang. Bumi segera duduk di meja makan sembari membuka ponselnya. Ia mendapatkan banyak sekali pesan dari teman-teman yang menggodanya karena mengira ia baru saja menjalani ritual malam pertama. "Ada-ada aja," gumam Bumi. "Lho, Mas, kok nggak di makan?" tanya Asa. Ia baru saja muncul kembali. Bumi menoleh. Matanya mengikuti gerakan Asa dari berdiri hingga duduk di sebelahnya. Jika tadi Asa memakai setelan minim, kini Asa mengenakan celana panjang jins dan kaos oversize. Rambutnya dibiarkan tanpa kuncir dan masih basah usai mandi. "Aku nungguin kamu, kita makan bareng," kata Bumi. Aroma segar dari tubuh Asa mengusik penciuman Bumi. Jadi, ia lekas menyeruput s**u segarnya. "Oh, ya udah. Ayo makan," kata Asa. Ia menggigit roti bakarnya dengan lahap. "Cuma ada ini di dapur, jadi aku masak ini." "Ya. Kamu juga udah beres-beres dapur, kamu bangun jam berapa?" tanya Bumi. Asa tampak berpikir. "Nggak tahu. Pagi banget mungkin. Kayaknya aku nggak bisa tidur nyenyak, jadi kebangunan super pagi." Kedua mata Bumi membola. "Apa ada yang membuat kamu nggak nyaman di kamar kamu?" Asa menggeleng. Rumah Bumi sangat bagus dan nyaman. "Belum terbiasa aja mungkin, Mas." "Bilang sama aku kalau kamu nggak nyaman, ya." Bumi bicara cepat. "Ehm, nggak kok. Aku emang susah tidur kalau di tempat baru. Tapi lama-lama pasti biasa," jawab Asa. Bumi mengangguk lega. Mungkin Asa tidak tenang karena tinggal berdua saja dengan pria dewasa seperti dirinya. Mungkin Asa takut ia tiba-tiba akan masuk ke kamarnya. Namun, ia tak akan melakukan itu. Dan ia juga tidak bertanya pada Asa apakah Asa takut padanya. Usai sarapan, Asa langsung mencuci semua piring dan gelas mereka sementara Bumi membuat kopi. "Aku bisa buatin kopi, Mas," kata Asa sambil membilas piring di wastafel. Bumi hanya nyengir. "Aku bisa buat sendiri, kok. Kamu tenang aja." Sebenarnya Bumi hanya ingin menonton Asa mencuci piring. Semakin ia memperhatikan Asa, gadis itu terlihat semakin manis saja. "Abis ini kita ngapain, Mas?" tanya Asa. "Ehm, kamu mau main game lagi?" tanya Bumi menawarkan. "Sampai siang, nanti kita baru belanja." Asa mengangguk senang. Menghabiskan hari libur dengan main game sepuasnya adalah pilihan yang terbaik. Jadi, setelah itu, keduanya masuk ke ruang game. Mereka bertanding dalam sebuah permainan dan Bumi harus mengakui bahwa Asa sangat andal dalam bermain. Beberapa kali ia kalah. Mungkin, ia tidak berkonsentrasi ketika bermain dan terus melirik Asa yang begitu antusias berteriak atau tertawa di sebelahnya. "Yes! Aku menang lagi!" Asa menjulurkan lidahnya pada Bumi yang hanya tersenyum. Ia begitu senang. Dulu ia dan Jimmy juga sering bermain game bersama seperti ini. Dan memainkan game bersama Bumi membuat ia rindu dengan Jimmy. Ia tidak mengatakan itu pada Bumi karena tak ingin Bumi tersinggung. "Yah. Kamu hebat juga ternyata. Jangan-jangan kamu keseringan main game dibandingkan belajar," kata Bumi. "Ngawur, ah," bantah Asa. "Jadi, aku kadang kerja paruh waktu jaga konter game gitu, Mas." "Oh, gitu. Kamu kayaknya pernah kerja macam-macam," tukas Bumi. "Ya. Yang penting bisa menghasilkan dan bisa dilakukan di luar waktu sekolah dan kuliah," kata Asa. Ia lalu menoleh ke jam dinding. "Udah jam sepuluh, Mas, nggak kerasa." "Iya. Kita ke mall sekarang aja," ajak Bumi. "Oke. Aku siap-siap dulu, Mas," kata Asa seraya berdiri. Bumi mengangguk. Ia menatap Asa yang berjalan meninggalkan ruang game. Ia membuang napas panjang. Ini gila, ia sudah berduaan dengan Asa sejak pagi tadi. *** Bumi membawa Asa ke gerai ponsel terbaik di mall Ciputra. Asa menolak beberapa tawaran ponsel mahal yang hendak dibeli oleh Bumi untuknya. Ia berpikir lebih baik menyimpan uang itu untuk hal lain dibandingkan membeli ponsel mahal. "Yang pink ini aja," kata Bumi. "Eh, ini mahal, Mas. Beli yang android biasa aja yuk," ajak Asa merengut. "Jangan, biar sama kayak punya aku. Aku hitam, kamu pink," kata Bumi menunjuk ponselnya. "Aku udah pakai ini dan enak banget, nggak lemot. Pasti awet." "Tapi ini mahal," tolak Asa. "Nggak, kok." Bumi mengetuk boks ponsel itu. "Kami ambil yang ini, Mbak. Tolong, ya." Asa membuang napas panjang lewat mulutnya. Yang benar saja, bahkan tanpa bertanya dua kali, Bumi langsung membayarnya. Ia jadi semakin tidak enak. "Ponsel udah, kamu mau beli apa-apa, nggak? Baju atau tas? Biar sekalian," kata Bumi. Asa menggeleng cepat. Ia sudah mendapatkan ponsel mahal dan ia tak ingin Bumi membelikannya barang mahal lainnya. "Kita belanja bahan makanan aja, Mas. Nanti aku beli jajanan aja." "Oke. Yuk, di bawah," kata Bumi. Berjalan bersama Asa terasa agak canggung. Terkadang tangan mereka yang ada di sisi tubuh tak sengaja bersenggolan dan Asa langsung menarik tangan itu ke depan d**a. Bumi melirik bagaimana Asa memainkan jemarinya atau memutar cincin pernikahan mereka untuk menyibukkan diri. Bumi kini mendorong troli dan membiarkan Asa mengambil apa saja dari rak. Beras, sayuran, buah dan juga daging. Bumi tersenyum setiap kali Asa membandingkan harga satu barang dengan yang lainnya lalu gadis itu akan mengambil yang jauh lebih murah. Ketika ia menikah dengan Tantri, ia tak pernah berbelanja begini karena Tantri tak suka memasak. "Mas sabun cuci sama yang lain masih ada nggak?" tanya Asa. "Ehm ... mungkin. Biasanya bibi tukang cuci yang beli," kata Bumi. "Oh, jadi kita belanja bahan makanan aja, nih?" "Ya, sama jajanan. Tadi katanya kamu mau beli. Buat stok aja, ambil yang banyak kalau kamu suka ngemil," kata Bumi seraya mendorong trolinya ke arah rak makanan ringan. Ia berhenti karena ponselnya mendadak bergetar. "Kamu duluan aja, ini masalah kerjaan." "Oke." Asa berjalan dengan antusias menuju rak makanan ringan. "Wah, semuanya enak!" Asa mulai mengambil satu persatu apa yang ia sukai. Bumi bisa membelikannya ponsel mahal, Bumi pasti tak keberatan ia memilih jajanan sebanyak ini, pikir Asa yang kini telah memeluk beberapa kemasan makanan. Ia tak tahu di mana Bumi karena ia telah berkeliling di balik rak. Asa hendak mencari Bumi untuk menaruh barang belanjaannya, tetapi tiba-tiba ia melihat anak kecil menarik sesuatu dari rak. "Hei, itu bahaya!" teriak Asa yang sadar anak itu sedang berusaha menarik kaleng s**u kental manis dari tumpukan tinggi. Bisa gawat jika tumpukan itu ambruk mengenai tubuh mungilnya. Asa mempercepat langkah. Ia membiarkan jajanan yang ia peluk berjatuhan karena anak itu lebih dulu mengambil satu kaleng dari tumpukan terbawah dan benar saja tumpukan itu mulai oleng. Asa memeluk cepat tubuh kecil si anak lalu mendorongnya. Gerakan itu membuat mereka terjatuh ke lantai. "Aah! Aduh!" Asa memekik ketika punggung dan kepalanya terkena kaleng-kaleng s**u kental manis yang ambruk dari tumpukan. Tangis kencang membahana di bawah tubuh Asa. Buru-buru, Asa bangun untuk memeriksa kondisi si anak. Ia terkesiap karena kening anak itu berdarah sedikit. Mungkin kejatuhan kaleng juga. "Hei, kamu nggak apa-apa?" tanya Asa. Anak itu tak menjawab dan hanya menangis. "Maamaaa!" Kerumunan mulai terbentuk di sekitar mereka. Bumi yang melihat kejadian itu pun langsung panik. Ia hampir mendekati Asa, tetapi seseorang lebih dulu berseru. "Aldo! Apa yang kamu lakukan sama anak aku?" teriak wanita cantik yang tak lain adalah Tantri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN