Bab 5. Menikah

1412 Kata
Asa sangat gugup hari ini. Keluarga Bumi akan datang melamarnya. Ia sudah pernah bertemu dengan ibu Bumi yang ia tebak sangat galak. Ia juga sudah mendapatkan kiriman foto keluarga Bumi dan ia sudah tahu siapa saja yang akan datang ke sini. Asa berdandan secukupnya. Bagaimanapun, ia tidak ingin terlihat jelek di depan calon keluarga suaminya. Tidak, Asa sebenarnya tidak ingin menikah dengan Bumi. Ia hanya memanfaatkan situasi karena Bumi mau memberinya uang untuk melunasi utang. "Calon suami kamu datang!" Edo membuka pintu kamarnya secara tiba-tiba. Asa terkesiap. Ia mengangguk lalu merapikan rambutnya sedikit. "Aku cuma perlu menikah setahun. Itu nggak bakalan lama." Asa meyakinkan dirinya lalu segera keluar dari kamarnya. Ketika Asa tiba di ruang tamu, ia langsung bertemu tatap dengan Bumi. Pria itu terlihat tampan dan tersenyum padanya. Ia juga tersenyum. "Halo, Tante!" Desti mengangguk, tersenyum tipis pada Asa. "Halo, Sa. Kamu cantik banget malam ini." Asa menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia lalu merasakan tangan Bumi baru saja menyeberangi bahunya. "Salaman dulu!" "Ya." Karena terlalu gugup, Asa melupakan sopan santunnya. Ia lalu mengulurkan tangan pada Desti dan Joko. Tak lupa, ia menarik tangan mereka ke kening. Ia juga bersalaman dengan kakak Bumi dan istrinya yang terlihat sangat cantik. "Terima kasih Nak Bumi dan semuanya sudah datang ke gubuk kami," kata Edo. Kedua matanya berbinar-binar karena melihat aneka seserahan yang dibawa oleh keluarga Bumi. Ia semakin yakin Bumi memang berasal dari keluarga yang berada. Ia dan istrinya berharap akan mendapatkan keuntungan dari pernikahan Asa kelak. "Ya. Kami ke sini berniat melamar nak Asa untuk putra kami, Bumi," kata Joko. "Ya. Karena Asa sama nak Bumi udah sama-sama mau menikah, tentu saja kami akan menerima lamaran dari kalian," kata Edo. Asa semakin berdebar. Kini, ia dan Bumi melakukan prosesi tukas cincin. Ia tak bisa berkedip menatap cincin yang melingkar di jarinya. Ia juga mengambil beberapa foto bersama keluarga Bumi. "Nanti aku upload, Bum!" ujar kakak ipar Bumi yang namanya tidak Asa ketahui. Namun, ia menebak wanita itu sangat baik dan ramah. Acara lamaran itu dilanjutkan dengan makan malam bersama. Asa mencoba untuk bersikap senatural mungkin ketika duduk di sebelah Bumi. Ia tahu, Bumi pun melakukan hal yang sama. Sebelum acara itu diakhiri, telah disepakati bahwa pernikahan Asa dan Bumi akan dilangsungkan dua minggu lagi. Dan di tempat lain, Tantri baru saja menidurkan putranya yang bernama Aldo. Ia membuka ponsel dengan niat mencari hiburan. Menjadi ibu tunggal sama sekali tidak mudah, tetapi ia sudah bertahan selama hampir lima tahun ini. "Kak Cia unggah foto apa ini?" Tantri melotot sempurna ketika melihat unggahan terbaru kakak tirinya. Ia menggeser foto yang semua hanya menampilkan dua tangan yang memamerkan cincin di jari manis mereka. Di foto selanjutnya ia melihat foto Bumi bersama Asa. "Apa? Jadi beneran mas Bumi mau nikah?" d**a Tantri langsung naik-turun. Ia sangat tidak menyukai hal ini. Ia tidak ingin melihat Bumi menikah dengan wanita lain. "Kapan mereka akan menikah? Sial! Harusnya aku bisa godain mas Bumi biar mau balikan sama aku lagi," gerutu Tantri penuh amarah. "Aku nggak akan biarin mas Bumi bahagia sama cewek ini! Lagian, siapa sih Asa? Kapan mereka dekat? Bukannya mas Bumi nggak pernah pacaran sejak balik dari Inggris? Apa mereka pacaran di sana? Sial!" *** Pernikahan Asa dan Bumi pun digelar dua minggu kemudian. Asa sengaja meminta pernikahan itu diadakan sesederhana mungkin karena ia tak ingin ada banyak orang yang tahu. Ia beralasan bahwa ia malu menikah ketika ia masih kuliah dan beruntung, keluarga Bumi tidak mempersoalkan hal tersebut. Namun, sebenarnya Asa melakukan itu karena ia tak ingin pacarnya tahu bahwa ia menikah. Yah, Asa memiliki pacar bernama Jimmy dan sekarang mereka sedang menjalani LDR lantaran Jimmy kuliah di Semarang. Asa yakin ia hanya akan menikah selama setahun dan itu hanya pernikahan pura-pura, jadi Jimmy pasti akan mengerti suatu hari nanti. "Asa, senyum!" seru Desti padanya. Asa menarik ujung bibirnya membentuk senyuman lebar. Entah bagaimana, ia sangat berdebar berada di antara keluarga Bumi. Mereka terlihat baik, tetapi mereka sangat kaya. Dan kini, mereka tengah melakukan pengambilan foto pernikahan bersama. Bumi melirik Asa untuk ke sekian kalinya. "Ternyata Asa cantik juga. Walaupun dia masih kecil, tapi dia lumayan cantik." Bumi hanya bisa membatin dan nyengir setiap kali ia bertemu tatap dengan Asa. Mereka diminta mengambil foto romantis di depan semua orang dan itu agak mendebarkan bagi Bumi. Berbeda dengan Asa yang tak mau mengundang temannya, Bumi justru kedatangan banyak teman dan relasinya. Tentu saja, mereka senang Bumi akhirnya melepaskan predikat duda dan menikah dengan gadis seimut Asa. "Asa bakal tinggal sama aku setelah ini, Paman," kata Bumi pada Edo dan Lani—paman dan bibi Asa. "Ya. Baik-baik kamu di rumah suami kamu, Sa," tukas Edo. Ia menepuk bahu keponakannya dengan keras. Ia berpuas hati karena telah mendapatkan pelunasan uang dari Asa. Dan karena Asa tidak meminta pesta apa pun di rumahnya, ia mengambil uang mahar yang diberikan Bumi juga beberapa barang seserahan termasuk perhiasan mahal. "Besok atau lusa aku mampir buat ambil buku-buku aku, Paman," kata Asa. "Ya. Santai aja. Nikmati masa bulan madu kamu," kata Edo. Lani tersenyum miring. Ia senang Asa menikah dan tak tinggal lagi di rumahnya. "Kamu sekarang udah nikah, Sa. Jadi, jangan kayak anak kecil." Asa mengangguk saja. Ia tak menyukai paman dan bibinya andai boleh jujur. Mereka sangat tamak. "Makasih udah merawat aku selama hampir dua tahun ini, Paman, Bi." "Ya. Sama-sama," tukas Lani. Asa membuang napas panjang. Ia membiarkan mereka mengambil semua maharnya karena ia ingin bebas dari mereka. Bumi akan memberinya uang bulanan setelah menikah, ia yakin itu akan cukup baginya. Ia juga akan menabung, ia akan hidup sendiri setelah ia bercerai nanti. Imajinasi Asa meyakinkan dirinya bahwa semua akan mudah. "Ehm! Ayo pamitan sama mama dan papa," kata Bumi pada Asa. Dengan canggung ia menarik pergelangan tangan istrinya. "Kita mau bulan madu, Mas?" tanya Asa penasaran. Mendengar pamannya menyebut kata bulan madu membuatnya panas dingin sendiri. Ia yakin Bumi tak mau bulan madu, tetapi ada baiknya mengonfirmasi lebih dulu. "Nggak. Aku sibuk dan hal kayak gitu nggak bakal terjadi meskipun kita telah menikah," bisik Bumi di telinga Asa. Asa mengangguk. "Ya. Ini cuma nikah pura-pura." Ia senang Bumi tak akan menyentuhnya. Ia bertekad untuk tetap menjadi perawan meskipun ia telah menikah! Usai berpamitan dengan orang tua Bumi, Asa dibawa ke mobil. Ia masih memakai gaun pengantin putih dan itu agak membuatnya risih. Ia ingin sekali berganti pakaian secepatnya. Setibanya di rumah, Bumi langsung merasa sangat gugup. Sudah lama ia tak tinggal berdua bersama wanita. Ia sudah belajar untuk mengontrol dirinya selama beberapa tahun untuk tidak melakukan hal-hal terlarang, tetapi wanita yang berdiri di sebelahnya kini adalah istrinya. Itu membuatnya dua kali lebih gugup. "Ayo masuk! Rumahnya kecil, tapi ini rumah aku sendiri." Bumi membuka pintu depan lalu mengedikkan dagunya. "Oke." Asa melangkah masuk ke rumah Bumi lalu mengedarkan matanya. Walaupun rumah ini dibilang kecil, baginya ini cukup besar. "Ini ruang tamu dan di atas kamar kita." Bumi menatap Asa yang langsung membulatkan matanya. "Maksud aku, ada dua kamar di atas. Kita bakal pisah kamar sesuai kesepakatan. Tapi, kalau keluarga aku datang mau nggak mau kita harus pura-pura sekamar." "Oke. Aku ngerti," kata Asa. Ia membuang napas panjang. "Kamu mau minum atau mungkin langsung ke kamar?" tanya Bumi. "Ya, ke kamar aja. Apa ada kamar mandinya?" Asa balas bertanya begitu karena ia tak sabar ingin mandi dan tidur. "Ada. Baju kamu udah diantar paman kamu kemarin, ada di atas," kata Bumi. Asa mengangguk. Ia mengikuti langkah Bumi menaiki anak tangga. "Ini kamar kamu. Yang itu kamar aku," kata Bumi seraya menunjuk pintu kamar sebelah. "Ya. Aku boleh masuk?" "Tentu. Masuk aja dan ... ehm, yah, selamat istirahat." Bumi benar-benar gugup ketika Asa membuka pintu kamar itu lalu melangkah masuk. Ia tak percaya ia telah menikah dan kini ia justru pisah ranjang di malam pertama. Sungguh konyol! Bumi membalik badan. Ia segera melangkah ke kamarnya karena ia juga butuh waktu untuk sendirian. Ia membuka pintu kamar dan ketika ia menatap ke ranjang, ia langsung terkesiap. "Siapa yang udah ngelakuin ini?" Bumi menggeleng ketika menemukan banyak sekali kelopak bunga di atas ranjangnya. Bahkan ada lingerie merah yang begitu seksi. Bumi mengambil kain merah itu lalu mengacak kelopak bunga yang berbentuk hati itu. Dengan kasar, ia membanting tubuhnya ke atas ranjang. "Pasti ini ulah mama sama Cia," gumam Bumi. Ia mengangkat lengannya ke kening lalu menoleh ke arah pintu. "Asa ngapain, ya? Apa dia nyaman di sini?" Bumi bertanya-tanya dalam hati. Ia sangat penasaran dengan apa yang dilakukan oleh istri kecilnya, tetapi ia memutuskan untuk tidak mengecek dan langsung berniat tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN