Asa melotot sempurna ketika seseorang menarik tubuhnya lalu mendorongnya menjauh dari si anak yang masih menangis meraung-raung memanggil ibunya. Yah, Asa yakin wanita itu adalah ibu dari si anak. Namun, tampaknya wanita itu tak asing.
"Kamu pasti sengaja bikin Aldo terluka!" teriak Tantri.
Asa menyipitkan keningnya. Ia akhirnya mengenali wanita itu sebagai Tantri, mantan istri Bumi. Ia beringsut untuk berdiri, ketika itu Bumi mendekat.
"Kamu nggak apa-apa, Sa?" tanya Bumi.
Asa menggeleng. Ia agak cemas jika Bumi juga mencurigainya telah mencelakai Aldo. Ia memperhatikan Aldo mungkin berusia empat atau lima tahun, jadi ia menduga anak itu adalah anak Bumi, tetapi entah bagaimana Bumi tidak terlihat terlalu mencemaskan Aldo.
Sementara Bumi membantu Asa berdiri, Tantri terisak-isak sambil mengusap pipi Aldo. Ada darah di kening Aldo yang membuat ia sangat cemas.
"Sakit, Mama," isak Aldo.
Tantri ikut menangis sedih sekaligus marah. Ia memeluk Aldo lalu menoleh sengit ke arah Asa. "Pasti kamu sengaja menjatuhkan semua kaleng itu ke arah Aldo!"
"Jangan ngawur, Mbak!" sergah Asa.
Bumi berdecak. Ia tahu Tantri sangat doyan membuat drama. "Kamu jangan asal menuduh!"
Tantri yang masih duduk di lantai dengan memeluk Aldo pun mencebik. Bumi membela Asa, sungguh menyebalkan. "Buktinya anak aku terluka pas bareng dia!"
"Bukan berarti Asa sengaja," sahut Bumi.
Para pengunjung supermarket pun semakin berdesakan untuk melihat apa yang terjadi. Mereka tak melihat bagaimana insiden itu dan hanya bergumam penasaran dengan pertengkaran itu. Tiba-tiba kerumunan terbelah. Seorang pria yang tak lain adalah manajer di supermarket itu langsung membungkuk pada Tantri.
"Maaf atas ketidaknyamanan ini," kata si manajer. "Tapi ... putra Anda terluka. Sebaiknya diobati dulu. Silakan ikut saya."
"Saya mau menuntut wanita itu! Dia yang bikin anak saya terluka dan menangis!" gertak Tantri tak terima. Ia berdiri dengan menggendong Aldo yang masih meraung kesakitan.
"Sebaiknya kamu obati dulu anak kamu," kata Bumi menyarankan.
Anak kamu. Asa menoleh sedikit pada Bumi dan agak heran karena Bumi tidak menyebut Aldo sebagai anak mereka.
"Bukan aku yang bikin anak Mbak sakit," kata Asa. Ia memang mendorong tubuh Aldo, tetapi kalau tidak, Aldo justru akan tertimpa puluhan kaleng s**u kental manis. Entah di mana Tantri ketika anak kecil itu berlarian di sekitar sini.
"Bohong kamu!" teriak Tantri.
"Tenang, Bu," ujar si manajer. "Ada CCTV di sini, jadi kita bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi." Pria itu lalu menoleh ke semua orang yang menonton. "Saya minta maaf untuk kekacauan ini, tapi silakan kembali berbelanja."
Kerumunan mulai pecah. Asa senang ada rekaman CCTV. Ia yakin Tantri akan malu sendiri.
"Ayo, Bu. Silakan ikut saya ke ruang istirahat karyawan. Ada obat di sana dan kita bisa lihat rekaman CCTV," kata si manajer lagi.
Tantri mengusap kepala Aldo. Ia masih menatap sengit Asa yang berdiri di sebelah Bumi. Tak lama, Bumi mengangkat tangannya dan merangkul bahu Asa. Ia membenci gadis muda itu.
"Udah, kita buktikan siapa yang salah di sini," kata Bumi seraya merangkul Asa lebih erat.
Asa meringis tiba-tiba. "Ah, sakit, Mas."
"Kamu juga terluka?" tanya Bumi. Ia menatap Asa lalu melepaskan bahunya.
"Mungkin kejatuhan kaleng itu," jawab Asa. Kejadiannya terlalu cepat. Kepalanya juga nyeri, begitu juga punggungnya. "Aku beneran nggak jahatin anak itu, Mas. Dia mau ambil kaleng, tapi itu bahaya dan aku dorong dia biar nggak ketimpa. Tapi, yah kayaknya aku kurang jauh dorong itu anak."
Bumi mengangguk. Ia percaya pada Asa. Jadi, ia menggandeng tangan Asa lalu mengikuti Tantri dan si pria menuju ruang karyawan.
"Udah, jangan nangis lagi," kata Tantri pada Aldo. "Sini, Mama obati luka kamu."
"Sakiiit, Mama. Takut," kata Aldo terisak-isak.
"Mama tiup lukanya. Kalau parah kita ke rumah sakit," kata Tantri.
Aldo menggeleng keras. "Nggak mau! Nggak mau, takuuuuut!"
"Ya udah, tenang!" gertak Tantri. Ia mengoleskan salep di luka Aldo yang sebenarnya hanya kecil. Ia lalu menempelkan plester luka bergambar superhero di sana. "Nah, udah. Mana lagi yang sakit?"
Aldo menggeleng. Ia memeluk ibunya erat-erat dan mulai tenang. "Mimik, Ma."
Tantri mengangguk. Ia mengambil botol air minum dari tasnya lalu membantu Aldo minum. Setelahnya, Aldo terlihat jauh lebih tenang.
"Kalau terbukti kamu menyakiti anak aku, aku nggak bakal terima! Aku bakal tuntut kamu!" gerutu Tantri pada Asa.
Asa menarik ujung bibir kanannya lalu mendesis penuh kekesalan. "Mbak yang nggak bisa jaga anak sendiri. Anak itu lari ke tumpukan kaleng dan Mbak bahkan nggak tahu!"
"Apa kata kamu?" tanya Tantri seraya berdiri.
"Stop!" Bumi menatap Asa dan Tantri bergantian. "Ada anak kecil, lebih baik kita nggak berantem. Dan kita lihat aja rekaman Cctv-nya."
Tepat di saat itu, si manajer kembali masuk dan membawa sebuah laptop besar. Ia berdehem pada semua orang. "Udah ada rekamannya. Kita bisa lihat dan ... ini buat di adek."
Aldo tampak tersenyum melihat es krim besar yang disodorkan oleh di manajer. "Boleh, Ma?" Ia bertanya pada Tantri.
Tantri mengangguk pelan. "Kamu makan es krim dulu. Duduk di sini. Mama mau lihat ini sama om itu."
Aldo mengangguk senang. Ia semakin antusias ketika si manajer membuka plastik es krim. Ia mulai duduk lalu menjilati es krim. Namun, tak lama ia berdiri dan sambil berjalan melihat-lihat apa yang ada di ruangan.
Asa sudah tak sabar, ia berdiri melotot ke arah monitor laptop untuk melihat adegan runtuhnya tumpukan kaleng itu. Dan benar saja, dari rekaman jelas terlihat Aldo sendirian, tampak penasaran lalu mulai mengambil satu kaleng. Asa terlihat dengan cepat mendorong bahu Aldo bersamaan dengan ambruknya tumpukan.
Sontak, hujan kaleng pun tak terelakkan dan menimpa keduanya—menimpa punggung dan kepala Asa lebih banyak karena Asa melindungi tubuh mungil Aldo di bawahnya.
"Bukan Asa yang salah," kata Bumi geram. Setelah melihat bagaimana Asa tertimpa banyak kaleng s**u kental manis, ia yakin tubuh gadis ini tidak baik-baik saja. Asa bahkan kesakitan ketika ia merangkul bahunya. "Kamu harusnya minta maaf dan berterima kasih karena Asa udah melindungi anak kamu."
Tantri tampak memucat dan malu sekali. Apalagi ketika di rekaman ia kedapatan tengah berhenti di depan rak yang cukup jauh dari lokasi insiden. Ia justru dengan santai menjawab telepon dari seseorang sementara Aldo berkeliaran sendiri.
"Ya, seperti yang ada di rekaman, ini bukan salah nona ini," kata si manajer. "Anda harus minta maaf."
Tantri mendengkus. "Ini karena pihak supermarket yang nggak becus majang barang jualan! Udah tahu bahaya, kenapa dibuat piramid setinggi itu?"
Si manajer berdehem pelan. "Ya, saya mewakili pihak supermarket tentu sangat menyesalkan kejadian ini, Bu. Tapi kami sudah memasang pagar pita merah di sini. Bahkan ada tulisan anak-anak dilarang melewati pembatas apalagi mengambil kaleng tanpa dampingan orang tua."
Tantri mendengkus kesal. Ia paling tidak suka dianggap salah dan harus meminta maaf. Apalagi kini Asa tampak tersenyum miring penuh kemenangan.
"Buruan minta maaf sama istri aku!" pinta Bumi.
Tantri begitu enggan mengulurkan tangannya, tetapi akhirnya ia pun melakukan itu. "Maaf, aku nggak tahu kejadiannya. Dan ... makasih udah nolongin Aldo."
Asa mengangguk puas. "Ya. Lain kali dijaga anaknya, jangan cuma ditinggal telepon."
Tantri mencebik. Ia merasakan tatapan tak enak dari Bumi. "Ya. Aku udah minta maaf." Ia lalu menoleh pada si manajer. "Apa ada yang harus saya ganti?"
"Nggak usah, Bu. Terima kasih. Yang penting semuanya udah jelas siapa yang salah. Tolong lain kali diperhatikan lagi kalau membawa anak di tempat umum," ujar si manajer. Ia lalu berdehem. "Mbak ini gimana? Kena kaleng banyak banget pasti sakit."
Asa menggeleng meskipun kini tubuhnya terasa nyeri di mana-mana. "Nggak, kok, Pak. Saya nggak apa-apa."
"Kamu yakin nggak sakit?" tanya Bumi sangsi. "Kita bisa ke rumah sakit kalau kam—"
"Nggak perlu, Mas. Kita belanja aja lagi," potong Asa.
Bumi mengangguk cemas. "Ya udah, karena semua udah kelar, saya sama istri saya mau lanjut belanja."
Manajer itu mengangguk sementara Tantri hanya bisa menahan rasa kesalnya ketika ia melihat betapa manis sikap Bumi pada Asa. Bahkan, Bumi begitu mencemaskan Asa. Ia mengepalkan tangannya lalu mencari Aldo.
"Ih, kamu kenapa nggak bisa duduk, sih?" Tantri menarik lengan Aldo hingga membuat es krim semakin menetes di tangannya.
"Mama, aku balu makan ekim," kata Aldo dengan suara cadel khas anak kecil.
Tantri membuang napas panjang. Ia mengusap pipi Aldo dengan tisu karena belepotan di mana-mana. "Harusnya kamu tadi kenalan sama om yang tadi."
"Emangnya om itu siapa, Ma?" tanya Aldo bingung.
Tantri mengangkat bahunya. Ia bingung menjelaskan semuanya pada Aldo. Andai saja ia tidak bercerai dengan Bumi, pasti Aldo sudah diakui sebagai anak dari pria itu. Sayang sekali Aldo memang bukan darah daging Bumi, tetapi anak dari hasil hubungan gelapnya.
Sementara itu, Bumi tak bisa tenang karena Asa terlihat sedikit lebih pendiam dibandingkan tadi. Padahal, tadi Asa begitu bersemangat untuk membeli jajanan. "Sa, kalau kamu sakit, kita bisa ke rumah sakit sekarang. Ini udah belanjanya. Tinggal bayar."
"Nggak usah, Mas. Aku cuma nyeri aja," kata Asa meyakinkan.
Bumi membuang napas panjang. "Ya udah, tapi kamu harus bilang sama aku kalau kamu sakit."
Asa mengangguk. Tadinya, Bumi ingin mengajak Asa makan siang sekalian di mall itu, tetapi karena Asa terlihat sakit, maka Bumi langsung membawa Asa pulang.
"Mas, aku ke kamar aja, ya. Itu ditaruh di dapur aja. Nanti aku masak kalau udah ganti baju," ujar Asa ketika mereka tiba di rumah.
"Ya." Bumi menata semua barang di dapur. Namun, ia tidak bisa tenang. Apalagi Asa tidak lekas turun. "Apa dia beneran sakit?"
Bumi dengan cepat berlari menaiki anak tangga lalu mendekati pintu kamar Asa. "Sa! Kamu baik-baik aja?"
Karena Asa tak menjawab, Bumi memutuskan untuk membuka daun pintu. Ketika ia melongokkan kepalanya ke dalam kamar, terlihat Asa baru keluar dari toilet hanya dengan tank top. Keduanya sama-sama kaget dan Asa bahkan langsung menyilangkan tangannya di depan d**a.
"Maaf, aku khawatir dengan kamu. Aku cuma mau ngecek kondisi kamu, Sa," kata Bumi dengan nada tak enak.
"Ehm, ya ...." Asa mengusap bahunya yang nyeri. "Cuma agak nyeri, kok, Mas."
Bumi berdecak. Ia melebarkan daun pintu lalu masuk ke kamar Asa. "Biar aku lihat. Aku nggak mau kamu sakit."
"Hah? Tapi ...."