"Darren, apa kamu yakin mau berangkat ke kantor? Wajah kamu masih terlihat pucat," tanya Regina saat memasuki kamar anak bungsunya.
Darren yang sudah bangun segera meneguk segelas air hangat yang dia minta kepada salah satu art yang kebetulan sedang membersihkan lantai di lantai 2.
Pria itu terserang demam pada malam hari setelah terkena hujan Sabtu kemarin. Suhu tubuhnya bahkan mencapai 39 derajat yang membuat Giovani segera memanggil dokter keluarga Sanjaya. Setelah menerima sebotol infus yang telah dicampurkan oleh obat-obatan dan meminum penurun panas, esoknya keadaan Darren sudah membaik meskipun meninggalkan bekas nyeri dan lemas pada sekujur tubuhnya.
"Aku yakin, Bun, lagian tidak ada tugas keluar kantor. Nanti aku akan menyempatkan tidur setelah makan siang," ucap Darren menyakinkan sang bunda.
Cecilia datang tepat jam 07:00 disaat keempat anggota keluarga Sanjaya akan bersiap sarapan. Kali ini Giovani memerintah dengan tegas agar sekretarisnya itu ikut bergabung dengan mereka. Cecilia mengulas senyum canggung dan duduk disebelah kanan Darren yang memang kosong.
"Cecil, kalau bisa kamu jangan terlalu keras mengajari Darren. Dia terkena demam kemarin malam. Sebenarnya saya tidak tenang jika dia harus berangkat ke kantor pagi ini tapi Darren bersikeras," penjelasan Regina membuat Cecilia reflek menoleh ke arah Darren yang baru disadarinya memang berwajah pucat.
Gadis itu menghela nafas berkali-kali saat melihat anak dari sang atasan yang kuyu, bola matanya yang biasanya memancarkan raut angkuh dan garang kini redup. Darren jelas memaksakan diri untuk pergi ke kantor. Cecilia juga setuju dengan perkataan Regina, tapi apa hak dia untuk melarang Darren, jika sang ibu saja tidak dapat membujuk pria itu.
"Baik, Bu, saya tidak akan bertindak keras selama Pak Darren sakit," ucap Cecilia yang akhirnya memakan sarapannya.
Keadaan mobil yang hening juga memancing rasa penasaran Pak Ridho, pria itu mengamati keduanya lalu menyadari jika sang tuan muda sedang terserang sakit. Wajah tampan itu tidak dapat menyembunyikan raut pucat.
"Saya akan minta Irene untuk mengatur jadwal bapak sementara ini. Mungkin jika investor setuju kita akan melakukan meeting melalui zoom. Dan untuk sementara jangan minum kopi." ucap Cecilia dengan tegas, membuat Darren mendengkus kesal karena gadis itu mirip dengan Regina jika menyangkut kesehatan.
"Terserah," sahut Darren singkat lalu membuka mobil dan berjalan terlebih dahulu.
Baru saja Darren mendaratkan b****g di kursi, Irene memberitahukan jika ada panggilan dari Morgan. Pria itu mengernyit heran, karena tak biasanya sang sepupu menghubunginya melalui telepon seperti ini.
Karena penasaran, Darren akhirnya merogoh saku celana dan menghela nafas berkali-kali saat melihat ponsel pintar miliknya mati total.
"Ada apa kau meneleponku sepagi ini?" tanya Darren.
"Teleponmu mati jadi aku terpaksa menghubungi lewat telepon kantor," jelas Morgan dengan disertai tawa.
"Lalu apa keperluanmu menelepon pagi-pagi seperti ini?'' tanya Darren dengan rasa pusing yang kembali terasa.
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Regina jika dia harus beristirahat total di rumah. Hanya saja dia memaksakan diri karena merasa rindu dengan gadis yang sekarang sedang larut dalam pekerjaannya. Cecilia yang semakin lama semakin menguasai pikirannya dan membuat Darren seakan tak dapat bernapas jika tidak bertemu dengan gadis itu dalam kurun waktu yang lama.
"Aku hanya ingin membuat pesta penyambutan untukmu," tutur Morgan disela tawanya.
"Dalam rangka apa? Dan lagi sejak kapan kita sedekat ini sehingga kau mau repot-repot membuatkan pesta penyambutan untukku," sebuah tuduhan yang memang benar adanya.
"Jangan begitu, Bro. Aku hanya berniat tulus untuk sepupuku yang baru saja kembali ke tanah air," sahut Morgan dengan nada kecewa yang dibuat-buat.
"Lagipula ini juga sebagai perayaan ulang tahun Marcel juga yang memang pada akhir bulan ini," Darren menyunggingkan senyum tipis saat mendengarnya.
''Memangnya kita ini anak kecil yang harus dirayakan setiap ulang tahun tiba...."
"Pokoknya datang saja, acaranya hari Sabtu ini untuk tempatnya akan aku beritahukan nanti," potong Morgan yang lalu mematikan sambungan telepon.
Darren hanya dapat memandang gagang telepon dengan bingung, tidak mengerti dengan jalan pikiran Morgan. Cecilia yang yang tidak sengaja menoleh ke arah pria itu hanya menggelengkan kepala melihatnya.
Dua hari berlalu dari telepon Morgan yang mengatakan akan membuat sebuah pesta yang ternyata akan diadakan di sebuah hotel berbintang 5. Darren memandang ke arah dua orang sekretaris yang ternyata mendapatkan undangan melalui WAG sekertaris mengenai pesta yang sama.
Entah alasan apa yang digunakan Morgan sehingga para sekretaris yang bekerja untuk keluarga Sanjaya juga diikutsertakan dalam pesta itu. Tapi yang pasti Darren yakin jika ada sesuatu yang sedang direncanakan untuk oleh sang sepupu.
"Jadi kalian juga akan menghadiri pesta yang diadakan oleh Morgan pada Sabtu besok?" tanya Darren dengan mata memicing tajam.
"Kami sepertinya tidak punya pilihan lain, Pak. Ada desas desus yang berhembus jika siapapun yang tidak mengikuti pesta ini maka kerjaannya akan semakin dipersulit," ucap Irene dengan nada lirih.
Darren tersentak saat mendengar perkataan dari Irene. Lantas dia menoleh ke arah Cecilia yang seperti biasanya tidak bereaksi apapun. Matanya yang coklat lalu memperhatikan Cecilia dengan seksama, mencoba mencari tahu apa yang sedang gadis itu pikirkan.
"Yang Pak Morgan incar di pesta itu sudah pasti saya. Mungkin memang jalan terbaik adalah menghadiri pesta itu." ujar Cecilia.
"Tapi bagaimana kalau Pak Morgan sudah merencanakan niat buruk sama Mbak Cecilia?" tanya Irene dengan nada khawatir. Meskipun terkesan jutek, tapi Cecilia mengajarkan dirinya dengan cara yang tepat sehingga dia dapat menguasai pekerjaan ini dalam waktu singkat.
"Kamu meragukan kemampuan saya rupanya," bantahan Cecilia membuat Irene hanya menunduk serta berdoa semoga sang senior tidak terkena jebakan Morgan.
Sementara Darren hanya dapat menahan kekesalannya di dalam hati karena sikap keras kepala dari gadis yang sudah memiliki hatinya itu.
"Ckckck, saya harap kamu akan dapat menjaga diri di pesta nanti," ucap Darren dengan sinis yang hanya di tanggapi diam oleh Cecilia.
***
Darren menatap tampilannya di cermin berulang kali untuk memastikan tidak ada yang salah dengannya saat ini. Setelan jas berwarna hitam dengan dasi maroon itu melekat dengan sempurna pada tubuhnya.
Pesta akan di mulai tepat jam 7 malam, tersisa waktu 1 jam lagi. Karena itu, Darren segera keluar dari kamar untuk berpamitan dengan kedua orangtuanya yang sedang bersantai di ruang TV.
"Hati-hati ya pulangnya, jangan minum terlalu banyak. Ingat kamu nyetir sendiri bukan disupiri pak Ridho," Darren mengangguk saat mendengar saran dari Regina yang entah kenapa malam ini begitu cerewet.
"Bunda, Darren ini sudah dewasa tahu mana yang baik dan buruk jadi Bunda jangan terlalu cemas," nyatanya ucapan Giovani tidak dapat menghilangkan perasaan cemasnya. Regina merasakan firasat buruk saat melihat Darren.
"Aku akan hati-hati, Bunda," sahut Darren sambil menahan senyum gelinya.
"Bunda, jangan dilihatin terus, Darren tidak akan kenapa-kenapa," teguran Giovani membuat Regina terkesiap lalu menatap sang suami dengan bingung. Bahkan dia juga tidak menyadari jika anak bungsunya sudah meninggalkan rumah bermenit-menit lalu.
"Ayah, Bunda bukannya tidak percaya dengan Darren, hanya saja feeling Bunda tidak enak saat melihat anak itu," Regina bersikukuh mengatakan apa yang dia rasakan.
"Bunda, mungkin hanya kecapekan karena harus ngurusin Ayah beberapa bulan terakhir ini dan juga stress mendengar jika Melvin Adinata mau melamar Intan. Ayah rasa Bunda butuh istirahat sejenak," ujar Giovani disertai helaan nafas panjang.
"Ayah! Ini bukan hanya sebatas firasat saja! Ayah apa tidak ingat saat Bunda gelisah memikirkan Darren saat di Bali, ternyata anak itu dan Cecilia mendapatkan luka-luka karena terkena amukan massa. Sayang sekali waktu itu kita tidak bisa ke sana untuk memastikan keadaan Darren karena...."
"Bunda, sudahlah jangan diingat lagi yang sudah berlalu, Ayah tidak mau Bunda jatuh sakit karena banyak pikiran dan kelelahan. Sekarang kita hanya dapat berdoa semoga Darren dalam keadaan baik-baik saja," Giovani yang tidak ingin sang istri bertambah beban pikiran terpaksa harus memotong wanita yang sudah membersamainya selama 33 tahun itu.
Regina akhirnya mengusap wajahnya kasar dan berharap semoga apa yang dikhawatirkannya tidak akan pernah terjadi. Mungkin benar yang dikatakan oleh Giovani jika dia terlalu lelah sehingga membuat dirinya terkena stress.
"Baiklah, mungkin saja Bunda terlalu lelah selama beberapa bulan ini jadi badan Bunda protes. Sekarang mungkin lebih baik kita makan malam saja baru Bunda akan tidur," ucap Regina yang berlalu ke dapur.
Sepeninggal sang isteri, raut wajah Giovani berubah gusar dan cemas. Sebenarnya dia juga merasakan firasat buruk saat melihat Darren tadi, namun pria itu tidak ingin menambah beban pikiran sang istri karenanya Giovani berusaha sekuat tenaga untuk bersikap tenang di depan Regina.
'Tuhan, semoga saja firasat kami berdua terhadap Darren tidak akan menjadi kenyataan,' doa Giovani dalam hati.