Terjebak

1495 Kata
Suasana ballroom hotel yang sudah disulap menjadi ruangan pesta langsung menyapa mata Darren saat pria itu melangkahkan kaki. Padahal pesta akan dimulai 10 menit lagi tapi tempat ini sudah dipadati oleh banyaknya orang. Seketika Darren mengernyit heran melihat banyaknya orang yang tidak dia kenali di antara para sepupu yang memandang kehadirannya dengan senyuman yang tidak dia ketahui apakah murni ataukah penuh dengan kepura-puraan. Darren seketika mencurigai motif sebenarnya Morgan mengadakan pesta ini. Tidak mungkin akan semeriah ini jika hanya sebatas untuk menyambut dirinya ataupun merayakan ulang tahun Marcel. Matanya tak lama mengitari sekitar ruangan dan menemukan Cecilia sedang berdiri agak jauh dengan gerombolan para sekretaris yang juga diundang pada pesta ini. Irene saja yang hitungannya sekertaris baru saja nampak nyaman berbicara dengan 3 orang sekertaris yang Darren kenali sebagai anak perusahaan Sanjaya Group dan perusahaan milik Jayadiningrat. Tadinya Darren ingin langsung menghampiri gadis yang terlihat penuh percaya diri meskipun sendirian di ruangan ini. Dalam pandangan mata Darren, Cecilia seakan memancarkan cahayanya sendiri dan pesonanya mengalahkan semua orang yang berada di ruangan pesta ini namun sebuah panggilan mengurungkan niatnya. "Darren, sudah lama tidak bertemu. Apa kabarnya?" Darren menoleh dan melihat seorang pria yang beberapa tahun diatas sedang memegang sebuah gelas tinggi dengan cairan berwarna kuning keemasan. Darren yang melupakan siapa pria yang mulai berbicara dengannya hanya mengulas senyum tipis sembari menanggapi ocehannya sesekali dengan anggukan kepala ataupun mendukung pernyataan yang dilontarkan oleh pria berkulit putih itu. "Ini kartu nama saya, saya harap kita dapat bekerja sama di masa mendatang," ucapnya seraya mengulurkan sebuah kertas karton glossy berwarna putih ukuran 88 x 55 mm itu yang segera disambut oleh Darren dan membacanya sekilas. "Baiklah, terima kasih Pak Felix Leonardo. Saya juga mengharapkan hal yang sama," sahut Darren yang juga mengulurkan kartu nama miliknya. Tak lama pria yang bernama Felix itu meninggalkan Darren karena mendapatkan panggilan telepon. Melihat dari raut wajahnya yang serius, Darren yakin jika telepon itu bersifat urgen. "Bapak Felix Leonardo adalah anak dari Alexander Leonardo, keluarga yang bergerak dalam bidang pertambangan batu bara dan nikel dan pesaing utama dari keluarga Adinata," suara Cecilia membuat Darren yang sedang melamun menoleh ke arahnya. Darren terkesiap saat melihat tampilan Cecilia dari dekat, gaun brokat maroon itu nyatanya terlalu transparan sehingga tidak dapat menutupi model kemben yang ada di dalamnya. Dan rasanya gadis itu menawan dan membangkitkan sesuatu di dalam tubuh Darren. "Kenapa kamu tiba-tiba membahas tentang keluarga Adinata?" tanya Darren. "Berita tentang Bu Intan sepertinya sudah banyak tersebar, setidaknya jika Bapak menjadikan keluarga Leonardo sebagai sekutu maka Melvin Adinata tidak dapat bersikap leluasa. Apalagi saya juga mendengar kabar jika salah satu pria Leonardo juga sepertinya mengincar Bu Intan," papar Cecilia dengan suara berbisik karena takut terdengar oleh orang disekitar mereka. "Cecilia, jangan bilang maksud kamu menjadikan Felix Leonardo sebagai sekutu adalah langkah untuk menghambat Melvin dan juga berpotensi mengibarkan perang antara kedua keluarga itu demi untuk mendapatkan Kak Intan," ujar Darren, tak lama matanya terbelalak saat melihat anggukan Cecilia. "Setidaknya tangan kita akan tetap bersih," timpal Cecilia dengan gerakan tangan seakan mencuci yang tak pelak membuat Darren menggeram kesal. Sementara itu di sudut ruangan pesta yang lain tampak sepasang pria dan wanita yang memandang keduanya dengan tatapan yang berbeda, sang pria menatap Cecilia dengan pandangan mendamba sementara sang wanita menatap Darren dengan pandangan penuh amarah. "Gan, jadi bagaimana cara kita menjebak dan memisahkan keduanya? Ckckck, baru saja putus dia sudah berani melupakan aku dan berduaan dengan perempuan s****l itu!" Dengan amarah yang membuncah dalam d**a sang wanita memegang erat tangkai gelas berisikan red wine. "Sabar, Kathleen, ini aku sedang mengamati keadaan," sahut Morgan sembari menenangkan amarah Kathleen yang terpancar jelas dari wajahnya. Dengan menggerutu Kathleen terus mengomel membuat telinga Morgan terasa panas juga. Emosinya pun terpancing dan dia menyahuti Kathleen dengan setengah berteriak. Untunglah keadaan sekitar mereka cukup ramai akan suara hingar bingar orang yang saling bersenda gurau ditambah lagi dengan suara alunan musik yang keras membuat keduanya tidak menjadi pusat perhatian. "Kathleen! Bisakah kau menutup mulut barang sebentar saja. Aku pusing mendengar omelanmu yang sepanjang rangkaian gerbong kereta itu!" "Sabarlah sebentar lagi, aku akan meminta pelayan untuk mengantarkan minuman kepada mereka lalu setelah itu kita akan bersiap memisahkan Darren dan Cecilia." Sambung Morgan dengan raut wajah mengeras. Sungguh menyusahkan saja! Umpat Morgan dalam hati. Itulah sebabnya dia tidak menyukai gadis seperti Kathleen yang manja dan rewel. Mereka hebat untuk urusan ranjang, Hanya sebatas itu! Gadis seperti Cecilia itu baru yang menantang. Membayangkan gadis yang biasanya sinis terhadapnya akan mendesah puas membuat gairahnya perlahan bangkit. Kathleen hanya mendengkus sambil menoleh ke arah lain, dia sadar jika terlalu terbawa emosi saat interaksi antara Darren dan Cecilia yang menurutnya melebihi seorang atasan dan karyawannya. "Mas, bisa ke sini sebentar?" Morgan yang melihat seorang pelayan pria sedang membawa sebuah nampan berisi 2 gelas white wine akhirnya memanggil. Morgan mengeluarkan 20 lembar pecahan Rp 100.000 kepada pria muda itu setelah menuangkan 5 tetes cairan di botol kaca kecil itu pada masing-masing gelas tersebut. "Mas, ini ada tips buat Mas. Saya minta tolong agar mengantarkan minuman ini kepada 2 orang yang berada di sana," ucap Morgan sambil menunjuk tempat Darren dan Cecilia masih berbincang. Meskipun sang pelayan tahu jika cairan yang diteteskan oleh sang pemilik pesta adalah sesuatu yang mungkin berbahaya, dia tidak punya pilihan selain melakukan tugas itu. Dan lagi uang yang diberikan Morgan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama sebulan penuh. "Kita akan memantau dari sini untuk mengetahui kapan obat itu akan bereaksi. Aku sudah memesan 2 kamar hotel untuk kita mencicipi tubuh mereka," sahut Morgan sambil merogoh saku jas dan memberikan sebuah kartu hotel kepada Kathleen. Tertera angka 536 pada kartu yang dipegang oleh Kathleen, sementara angka 539 untuk kartu yang dipegang oleh Morgan. Keduanya saling melempar senyum puas membayangkan rencana mereka akan sukses sebentar lagi. Kembali kepada Darren dan Cecilia yang sudah menerima minuman itu dari sang pelayan suruhan Morgan, awalnya Darren menolak untuk menerimanya karena menyetir sendirian. Dia takut akan mabuk dan menyebabkan kecelakaan jika memaksakan diri untuk minum. Akan tetapi sang pelayan tidak kurang akal dan berkata jika ada temannya yang dapat menjadi supir pengganti untuk Darren. Akhirnya Darren pun meminum wine yang memang sudah menerbitkan air liurnya sejak tadi. Rasa wine yang manis pahit melebur menjadi satu menciptakan sensasi nikmat pada lidah pria itu. Sementara Cecilia yang memang terbiasa meminum segala jenis wine dalam setiap pesta yang dihadirinya nampak mengernyit saat cairan itu sudah setengah berpindah ke tenggorokannya. 'Sepertinya ada rasa yang aneh dari wine ini. Apakah hanya perasaanku ataukah memang kualitas wine ini yang tidak bagus?' tanya Cecilia sembari menatap Darren yang menikmati wine itu. 'Mungkin saja hanya perasaanku saja, buktinya tuan muda ini tidak merasakan apapun,' sambungnya kembali dalam hati. Hanya saja ada satu fakta yang tidak diketahui oleh Cecilia, Darren belum pernah sekalipun meminum miras atau sejenisnya, karena sejak lulus SMA pria itu sudah merantau ke luar negeri untuk kuliah dan karena wejangan Regina membuat Darren tidak berani untuk mengkonsumsi minuman yang akan membuat kesadarannya hilang itu. Karena melihat Darren yang sangat menikmati wine itu membuat Cecilia mengendurkan pengawasannya dan kembali meneguk gelas kedua wine yang kali ini terasa biasa di lidahnya tanpa mengetahui jika obat perangsang itu sudah mulus memasuki tubuh keduanya. Butuh waktu 30 menit bagi obat perangsang itu bereaksi, baik Darren maupun Cecilia merasakan hal yang aneh pada tubuh. Rasa panas yang semakin membara disertai dengan erangan kesakitan keduanya menjadi sorak sorai kemenangan Morgan dan Kathleen. Tak lama kedua sekutu itu mendekati buruan masing-masing dan bersiap untuk mengeksekusi sang mangsa yang mulai tidak berdaya. Morgan tahu jika kedua orang itu mendamba sentuhan lebih pada sekujur tubuh. Lenguhan erotis yang keluar dari bibir keduanya menjadi irama musik yang menyenangkan hatinya. "Sekarang saatnya kita beraksi. Kamu bisa memapah Darren sendirian?" Morgan mulai memberikan instruksi pada Kathleen yang senang seakan mendapatkan mainan baru. "Apa kamu meragukan kekuatanku? Setidaknya tinggi badanku dengan Darren tidak terlalu jauh sehingga aku dapat memapahnya seorang diri," celetuk Kathleen dengan ketus. "Oke, kalau begitu aku percaya padamu," sahut Morgan yang sudah tidak sabar ingin menikmati tubuh Cecilia. Sudah terbayang dalam benak jika dia akan melakukan permainan panas itu dengan sekertaris sang om semalaman hingga pagi menjelang. Tak butuh usaha keras bagi kedua sekutu itu untuk masuk ke dalam kamar hotel dengan orang mabuk dan terpengaruh akan obat perangsang. Baik Darren dan Cecilia, sudah terbaring di ranjang ukuran king size dengan erangan kesakitan yang semakin menjadi. Rasa panas yang membakar tubuh semakin memperkuat rasa sakit yang terasa. Namun khusus Cecilia, gadis itu sampai meremas kedua gundukan yang mulai menegang itu dan membuat Morgan meneguk salivanya. Gadis sinis ini sudah sepenuhnya tidak sadar saat ini dan dia siap mencicipi dan memuaskan rasa dahaga Cecilia. Perlahan dia membuka jas dan simpul dasi yang mulai mencekik lehernya, melemparkan secara sembarangan. Langkah kaki Morgan juga semakin mantap menuju gadis yang sebentar lagi akan mereguk kenikmatan dunia bersamanya. Namun takdir seakan mempermainkan pria itu karena tak lama kemudian bel pintu kamarnya berbunyi disertai dengan suara pelayan hotel yang mengantarkan layanan makanan. "Sial! Dasar pelayan hotel g****k!" umpat Morgan yang lalu bersiap membuka pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN