Malam yang melelahkan

1525 Kata
Cecilia hanya terdiam selama menunggu lift, bahkan dia tidak mau melihat Darren dan hanya fokus ke layar tabletnya yang menampilkan buku elektronik. Terlihat dari narasi yang muncul di beberapa paragraf membuat pria itu yakin yang sedang gadis itu baca adalah sebuah n****+ percintaan yang membuat Darren mengernyit setelahnya. Ternyata gadis ini memiliki hobi membaca n****+ selain memikirkan pekerjaannya yang dia anggap sebagai dewanya itu. Darren tertawa kecil saat membayangkan wajah arogan itu menampilkan semburat merah pada kedua pipinya saat membaca adegan romantis. Sangat tidak cocok sekali dengan kepribadiannya yang garang. Cecilia hanya melirik sekilas ke arah Darren lalu menoleh ke arah lain sambil mendengkus keras. Dia semakin kesal dengan pria yang yang dengan terang-terangan menyindir hobinya itu. "Ada yang ngambek rupanya," ucap Darren dengan nada jahil. Namun jangankan menjawab, yang ada Cecilia malah mengambil earphone dari tasnya dan menyambungkannya dengan tablet. Dia seakan mengabaikan keberadaan Darren meskipun keduanya bernafas dan menghirup oksigen dari tempat yang sama. "Mas, istrinya lagi ngambek, ya?" Darren terkejut saat mendengar suara seorang wanita yang tiba-tiba muncul. Sebuah pertanyaan dari seorang wanita berumur 50 tahunan itu seketika membuat pria itu bingung bagaimana harus menjawabnya. Akhirnya hanya sebuah senyuman yang dapat dia berikan. Namun Darren melupakan fakta jika wanita adalah makhluk yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan kemampuan bicara jauh lebih banyak daripada pria. Sang ibu yang juga sedang menunggu lift kembali mengajaknya bicara dengan aura mengasihani yang sangat tinggi. "Mas, lebih baik bujuk saja istrinya dengan hadiah atau perlakukan yang baik saat akan memadu kasih," Darren tercengang saat mendengar perkataan sang ibu yang sudah semakin melenceng jauh ini. "Bu, maaf sebelumnya. Kami ini bukan pasangan suami istri..." "Mas, jangan begitu. Pantas saja istrinya marah karena Mas enggak mengakuinya sebagai istri. Aduh! Mas ini gimana toh? Punya istri secantik ini malah dibuat marah." Lagi-lagi sang ibu tidak mau mendengarkan penjelasan Darren dan malah memotong ucapannya dengan seenaknya. Bahkan sampai lift terbuka dan mereka bertiga masuk ke dalamnya, si ibu tidak ada hentinya memberikan wejangan bagaimana menjadi suami yang dapat diandalkan. Darren yang kebetulan membawa sebotol air mineral langsung menghabiskan isinya yang tinggal setengah lalu meremukkannya dengan sebelah tangan akibat rasa jengah. Namun sayangnya, rasa panas masih menjalari hati saat si ibu masih terus saja berbicara. Untung saja tak lama keduanya turun satu lantai lebih dahulu daripada sang ibu yang tetap menatap Darren dan Cecilia dengan senyuman. Darren segera menarik earphone yang terpasang di kedua telinga Cecilia dan langsung menyemburkan amarah kepada gadis angkuh yang sekarang menatapnya dengan garang. Mereka berdua masih berada di depan lift, hanya berdua saja di tempat ini sehingga memudahkan mereka untuk berdebat dengan suara kencang sekalipun. "Bapak ini apa-apaan! Kenapa sembarangan menyentuh dan melepaskan earphone saya?" tanya Cecilia dengan berteriak. "Kamu ini tidak tahu jika sejak tadi saya harus berhadapan dengan ibu-ibu kepo yang bertanya kenapa saya membuat istri marah. Kamu enak mendengarkan musik dari tablet," jawab Darren juga sambil berteriak. "Itu urusan Bapak. Kenapa juga Bapak harus meladeni orang yang tidak dikenal," sahut Cecilia kembali dengan sinis. "Jika kamu mengabaikan orang yang mengajak bicara itu sama artinya kamu dianggap tidak sopan.'' Bantah Darren tidak mau kalah. "Tapi itu hanya berlaku pada zaman dahulu. Sekarang banyak modus kejahatan yang menggunakan banyak cara untuk mengincar mangsa. Sebaiknya Bapak periksa sekarang juga, apa ada barang yang hilang?" ejek Cecilia, kemudian menghentakkan kakinya menuju kamar. Darren tercenung saat mendengar ucapan Cecilia yang sinis itu. Apakah benar yang dikatakan oleh Cecilia? Rasanya itu tidak mungkin terjadi. Tapi dorongan untuk membuktikan ucapannya terasa kuat. Tangannya tak lama merogoh ke saku celana di mana Darren menyimpan dompet Pierre Cardin pemberian dari Intan 2 tahun yang lalu sudah lenyap. "Ckckck, ternyata ibu kepo itu maling rupanya," sungut Darren setelah memasuki kamar. Untung saja iPhone miliknya masih aman dalam saku jas. Apakah ini pengaruh dari murahnya tarif di penginapan ini sehingga bermacam-macam orang dengan leluasa untuk memasukinya? Besok dia akan meminta Cecilia untuk mengurus surat kehilangan agar dapat membuat KTP dan kartu-kartu bank. Rasa kesal juga masih bersarang di dalam d**a Darren. Ingin rasanya pergi jalan-jalan, namun hujan membuat rencana itu harus batal. Akhirnya Darren mengirim pesan kepada Cecilia untuk mengatasi rasa jenuh di penghujung hari yang melelahkan ini. Cecilia : Apa kamu sudah tidur? 1 2 menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda jika Cecilia akan membalas pesannya Apa sebenarnya yang sedang dilakukan oleh gadis itu sekarang? Dan kenapa juga firasatnya tiba-tiba saja tidak enak. Tadinya Darren ingin langsung menghampirinya di kamar, tapi sesaat kemudian dia sadar jika belum membersihkan tubuh. Dengan segera Darren menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi. Udara yang cukup dingin membuatnya tidak berlama-lama di sana. Setelah memakai kaus abu-abu dan celana jogger panjang hitam, Darren memutuskan untuk pergi ke kamar Cecilia Namun dari kejauhan Darren melihat Cecilia yang sedang berbicara dengan Morgan dengan tangan yang disilangkan depan d**a dan tidak lupa ketinggalan wajah yang jutek. "Mau apa Bapak di depan pintu kamar saya?" tanya Cecilia dengan berang kepada Morgan yang tersenyum sinis. Kentara sekali jika keduanya tidak menyadari keberadaannya yang sudah berada di dalam radius 1.5 meter dari tempat mereka berdiri. Jarak kamar Darren dengan kamar Cecilia hanya berjarak 4 kamar. Tadinya Cecilia ingin mengambil kamar yang bersebelahan dengan Darren, namun sayangnya sudah penuh dalam jangka waktu 1 bulan. ''Jangan galak-galak dong jadi perempuan, nanti tidak ada pria yang mau mendekati kamu," sahut Morgan dengan nada meremehkan. "Bukankah udah saya katakan berkali-kali kepada Bapak, jika itu adalah urusan saya mau menikah atau tidak," balas Cecilia dengan ketus. "Cecilia, aku sampai sekarang tidak mengerti apa yang membuat kamu menolak lamaranku," ucap Morgan yang saat ini meletakkan tangan kanannya di dinding dan nyaris mengenai wajah Cecilia. Darren terkesiap saat mendengar perkataan dari Morgan, tidak menyangka selera wanita sang sepupu adalah gadis seperti Cecilia. "Kalau yang itu lebih baik tanyakan saja pada diri Bapak," jawab Cecilia yang sekarang menggeser tubuhnya menjauhi Morgan. "Cecilia... Mengapa kamu tidak segera mengetuk pintu kamar saya. Bukannya kita akan berdiskusi sambil makan malam," kedua orang itu menoleh ke arah Darren. Jika Cecilia menunjukkan raut wajah lega yang lagi-lagi sanggup dia rubah hanya sepersekian detik, beda lagi dengan Morgan yang memandang Darren dengan remeh. "Sepupuku tercinta, apa kabarnya?" tanya Morgan dengan nada mengejek. "Kabarku baik-baik saja seperti yang kau lihat," jawab Darren sambil terus menatap mata Morgan dengan tajam. Pria berkulit putih itu hanya mengangguk paham lalu menoleh kembali ke arah Cecilia kemudian berkata,"Sepertinya kita akan melanjutkan pembicaraan kita di lain hari. Jadi aku harap kamu akan merindukan aku. Darren melihat Cecilia yang bergidik ngeri saat Morgan selesai berkata. Bahkan gadis itu sama sekali tidak menggubris sapaan Morgan sebelum pria menyebalkan itu pergi dari hadapan mereka. "Kamu lebih baik malam ini tidur di kamar saya, melihat reaksi Morgan tidak tertutup kemungkinan jika dia akan kembali ke tempat ini saat kamu tidur dan menyelinap masuk." Darren tahu jika usulannya memang terdengar gila, tapi hanya itu satu-satunya cara yang terpikir untuk melindungi Cecilia dari Morgan. "Bapak cari kesempatan dalam kesempitan!" Sentak Cecilia sambil melayangkan tinjunya ke arah perut Darren. Gadis ini benar-benar sudah marah rupanya sehingga melupakan fakta jika Darren adalah bosnya di sini. "Kalau kamu mau dijebol sama Morgan, silahkan kamu tidur sendirian malam ini," ucap Darren dengan ketus sambil mengusap perutnya yang berdenyut nyeri. Gadis ini meskipun kecil tenaganya kuat juga rupanya. "Pak, bagaimana kalau kita makan lagi sebelum tidur?" ajak Cecilia dengan memalingkan wajah ke arah kiri. Tadinya Darren mau menolak ajakan Cecilia sebab perutnya masih terasa kenyang. Tapi melihatnya yang gelisah seperti ini mau tak mau membuat Darren kasihan juga. Dan setelah dia pikir-pikir tadi mereka makan pada jam 5 sore, sementara saat ini masih jam 8 malam, Darren jelas tidak mau tidak bisa tidur karena rasa lapar yang menyiksa pada tengah malam. Restoran di penginapan ini masih dipenuhi oleh beberapa orang pengunjung yang tidak dapat pergi menikmati malam di Ubud karena hujan deras yang masih mengguyur bumi. Dari kejauhan Darren melihat Morgan yang sedang asyik berbincang dengan seorang wanita yang memakai baju seksi. "Dasar buaya," ucap Cecilia saat ikut melihat ke arah Darren memandang. "Kamu marah? Itu artinya kamu juga ada rasa sebenarnya dengan Morgan," ejek Darren saat melihat raut wajah Cecilia yang terlihat kecewa. "Tidak! Dan melihat sepupu tercinta Bapak sedang menggoda seorang wanita, membuat saya meragukan makna lamaran yang dia ucapkan beberapa tahun yang lalu," ucap Cecilia dengan raut wajah datar namun menyindir. "Lebih baik kita segera makan, lama-lama tekanan darah saya tinggi dalam menghadapi kamu dan Morgan," ujar Darren yang memasukkan sesendok besar nasi goreng ke dalam mulut Cecilia yang tentu saja direspon marah olehnya. "Kalian ternyata makan malam di sini juga rupanya," Darren menoleh dan melihat Marcel yang sedang berdiri di samping meja mereka dengan tatapan merendahkan. "Seperti yang sedang kau lihat, hujan deras membuat kami tidak bisa berjalan-jalan malam ini," sahut Darren mencoba sabar. "Pak, lebih baik kita membahas urusan kantor mumpung kita punya banyak waktu luang sebelum tidur," sambar Cecelia yang segera meletakkan tabletnya di meja dengan bantuan tripod. Marcel yang ingin menyahut tampak kesal namun tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena melihat tatapan mata Cecilia yang tajam mengarah kepadanya. Sebenarnya Darren sudah merasa lelah dan tidak ingin berurusan lagi dengan pekerjaan saat ini. Namun biar bagaimanapun ini adalah pilihan yang terbaik daripada harus meladeni kedua sepupu yang menyebalkan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN