"Darren, aku kira kau sudah tidur," Darren menghela nafas saat mendengar suara Morgan yang menyebalkan.
"Ada apa sampai kau meneleponku? Apa kau mau mempermasalahkan saat aku meninju wajahmu kepada Tante Giorgia?" tanya Darren sambil
menyebutkan nama adik perempuan Giovani yang juga ibunya Morgan.
"Mama tidak pernah mempermasalahkan jika aku bertengkar yang penting aku bertanggung jawab sebagai CEO Jayadiningrat," sahut Morgan terdengar jumawa.
"Sepertinya menjadi CEO itu bagimu hal sepele ya, jadi kau bisa bermain-main seperti ini." timpal Darren dengan ketus.
''Katakan cepat ada perlu apa kau menghubungiku selarut ini," sambung Darren kembali.
Morgan meresponnya dengan gelak tawa tak lama kemudian sebelum dia mengejek sang sepupu sebagai anak balita. Untuk yang satu ini, Morgan dan Cecilia terdengar kompak, pikir Darren.
"Apa kau tidak penasaran bagaimana aku dan kekasihmu itu awalnya bertemu?" Darren menghela nafas kesal, sepertinya Morgan memiliki rencana lain dengan menanyakan hal itu.
"Tidak!"
Bertentangan dengan hatinya yang penasaran justru mulut Darren mengatakan hal yang sebaliknya.
Apakah juga saat di restoran tadi dia menampilkan raut wajah terkejut saat mengetahui jika Morgan dan Kathleen saling mengenal sebelumnya? Apa karena itu sepupunya yang menyebalkan itu menggunakannya untuk memprovokasi dirinya saat ini?
"Kasar sekali kau, padahal aku hanya ingin berbincang santai denganmu saja," sahut Morgan sambil tertawa mengejek.
"Sudahlah jika kau hanya ingin bergurau lebih baik aku tutup saja teleponnya," ucap Darren malas namun belum sempat dia menekan ikon gambar telepon bewarna merah suara Morgan yang berteriak kembali terdengar.
"Tunggu dulu....Kau ini susah sekali diajak bercandanya dan karena sepertinya kau sudah tidak sabar maka aku memberitahukan pertemuan pertamaku dengan Kathleen 3 tahun yang lalu. Saat itu kami bertemu di Jepang karena sama-sama berlibur dan tidak disangka kami berdua cocok dan menghabiskan sisa liburan kami berdua saja." d**a Darren terasa sesak saat Morgan berkata seperti itu.
"Jangan bergurau Morgan, karena aku tidak akan mempercayainya!" bentak Darren yang hanya ditanggapi dengan tertawa mengejek oleh Morgan.
"Terserah kalau kau tidak percaya tapi itulah kenyataannya dan dia cukup manis dan manja seperti kucing jinak saat bersamaku waktu itu," ucap Morgan lagi dengan nada yang semakin menyebalkan.
"Ckckck, terserah kau mau berhalusinasi apapun, aku tetap tidak percaya!" Darren yang sudah sangat kesal langsung mematikan sambungan telepon, tak membiarkan Morgan kembali berbicara.
Suasana hati yang buruk akhirnya membuatnya tak dapat terlelap, berulang kali Darren membalik posisi di tempat tidur. Tak pungkiri percakapan dengan Morgan membuat Darren berpikir ulang akan hubungannya dengan Kathleen dan sikap kekanak-kanakan gadis itu yang semakin lama membuatnya jengah. Darren juga jadi teringat pembicaraannya dengan Kathleen malam hari di telepon tepat di mana gadis itu bersikap kasar terhadap Cecilia.
"Kath, kenapa kamu kasar sekali dengan Cecilia?" tanya Darren.
"Kamu membela sekertaris itu daripada aku yang jelas-jelas kekasih kamu?" Namun alih-alih menjawab, Kathleen malah balik tanyanya dengan nada tidak suka.
"Ini bukan masalah kamu kekasihku atau bukan, tapi masalah etika. Bukannya dari awal aku sudah memberi tahu kamu kalau aku sedang sibuk-sibuknya, kamu saja yang tidak mengerti dan memaksakan keinginan kamu," timpal Darren dengan penuh penekanan.
"Kamu sekarang berani memarahiku, tidak dapat dipercaya! Darren, aku kecewa padamu!!" Pekik Kathleen yang mulai terisak.
"Kathleen. Jika kamu ingin aku temani hari Sabtu ini maka kita sudahi saja pembicaraan ini agar tidak ada salah satu dari kita yang akan melontarkan kalimat menyakitkan. Aku sangat capek dan ingin istirahat sekarang mohon mengertilah, Kathleen."
Setelah menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, Darren segera mematikan sambungan telepon. Bahkan pesan beruntun dari Kathleen hanya dia abaikan hingga besok paginya.
Suara ayam jantan berkokok menyadarkan Darren dari lamunan, dan tak lama sang surya mulai menampakan diri. Sialnya lagi saat ini matanya mulai mengantuk dan tak mungkin baginya untuk tidur kembali, meskipun hari ini Minggu tetap saja pekerjaan yang menumpuk harus segera dia selesaikan secepatnya.
"Loh kamu sudah bangun, Nak?" tanya Regina dengan dahi berkerut saat memasuki kamar sang putra.
Ini juga yang menjadi salah satu alasan Darren tidak dapat tidur lagi, setiap jam setengah 6 pagi Regina selalu masuk ke kamar untuk mematikan AC dan membuka gorden dengan alasan untuk perputaran sirkulasi udara di dalam kamarnya.
"Sudah Bun, tumben saja mata ini cepat terbuka," ucap Darren dengan berdusta.
Kalau sampai sang bunda tahu dia tidak tidur semalaman, omelan sepanjang rel kereta api akan kembali terdengar di pagi hari ini.
"Benarkah itu? Kenapa lingkaran bawah matamu itu menghitam kalau baru bangun tidur?" tanya Regina dengan mata memicing.
"Mungkin karena banyak sekali pekerjaan yang harus aku kerjakan, jadi rasanya lelah terus. Bunda, aku mau cuci muka dulu biar terasa lebih segar," ucap Darren setelah menghabiskan sebotol air mineral berukuran 600 ML, kebiasaannya setiap bangun pagi.
"Kamu mau minum kopi atau teh buat sarapan?" tanya Regina yang hanya menoleh sekilas ke arah sang putra.
"Kopi saja Bun, oh ya aku mau joging dulu sebelum sarapan." Wanita yang masih terlihat cantik itu hanya mengangguk sebelum keluar dari kamar.
Ternyata taman kota di dekat perumahan Giovani ramai juga saat weekend seperti ini, sehingga membuat Darren yang belum terbiasa dengan keramaian seperti ini merasa bingung dengan suara riuh dan berisik anak-anak kecil yang berlarian dengan ditemani teriakan menggelegar dari para ibu-ibu.
"Mas, Mas! Minggir rem sepeda saya blong!" Darren sontak melompat ke pinggir saat suara pria yang kencang terdengar di telinganya. Tak lama kemudian pria itu terjatuh dan sepedanya yang terlempar tak jauh dari kaki Darren.
Semua orang berkerumun di sekitar pria yang terjatuh itu untuk memastikan keadaannya dan sepeda yang sudah terlihat ringsek itu. Ringisan kesakitan keluar dari pria berusia 30 tahun itu yang menandakan jika dia terluka saat terjatuh tadi.
"Mas, jangan bengong aja di tengah jalan. Untung masih sempat menghindar kalau tidak sudah tertabrak," Darren menghela nafas saat terkena omelan seorang ibu-ibu.
Pria itu hanya mengurai senyum canggung menunggu amarah ibu itu mereda, selama hampir 15 menit dan membuat telinganya terasa panas. Aneh sekali, padahal dia yang hampir ditabrak tapi merasa seperti orang yang menabrak saja. Untungnya tak lama kemudian datanglah seorang gadis muda yang menghampiri pria yang jatuh dan membantu memapahnya berdiri.
"Sudahlah, Bu, ini bukan salah Mas itu. Abang juga tidak terluka parah bukannya kita tahu bagaimana sikap Abang kalau sudah berada di taman?" ucap sang gadis muda sambil memapah pria yang baru Darren ketahui memilki kebutuhan khusus.
Pancaran matanya yang tidak fokus yang semakin memperkuat dugaannya, ditambah juga pria itu memakai kaus bermotif kodok yang disesuaikan dengan botol minumnya. Sangat tidak sesuai untuk pria yang sudah berusia matang.
"Mas maafkan Ibu saya yang sudah memarahi Mas, seperti yang Mas lihat, Abang saya seperti ini keadaannya."
Pantas saja ibu itu memarahi Darren sampai seperti itu. Tenyata dia mencemaskan keadaan anak sulungnya yang istimewa ini.
Darren hanya mengangguk sekilas sebelum melihat punggung ketiganya yang menjauh dengan disertai pandangan mencibir dan kasak kusuk mengejek dari orang-orang.
Dasar orang-orang sinting yang tidak punya empati! Maki Darren dalam hati.
"Hey Darren! Kau juga sedang berolahraga di sini rupanya,'' suara yang menyebalkan yang tadi malam Darren dengar sekarang muncul lagi.
"Kelihatannya?" Darren menoleh dan balik bertanya dengan ketus.
"Kau ini rupanya tidak berubah juga dari dulu gampang emosian sekali, padahal aku hanya menyapa saja tetapi kau berlagak seakan aku yang membuatmu kesal," ucap Morgan dengan nada tengil.
"Memang kenyataannya seperti itu, dari dulu kau selalu mencari gara-gara denganku," timpal Darren yang mulai menyalakan rokok.
"Tapi apa yang aku katakan kemarin memang benar kenyataannya, aku dan kekasihmu itu ternyata memiliki satu kesamaan. Kau mau tahu tidak apa persamaan kami berdua?" tanya Morgan dengan nada menyebalkan.
Darren menghampiri Morgan yang ternyata sekarang lebih pendek daripadanya. Dengan penuh rasa percaya diri Darren menepuk pundak sang sepupu dan berkata dengan tajam.
"Kau tahu Morgan? Dengan perkataanmu semalam membuat aku banyak berpikir untuk menentukan apa keputusan yang akan aku buat. Tadinya saat baru sampai di sini aku juga belum bisa menentukan apapun.." Darren sengaja menggantung perkataannya untuk melihat reaksi Morgan yang kebingungan.
Rupanya wajah tampan itu bisa terlihat bodoh juga, ah dia jadi teringat kata-kata pria ini sejak kecil yang mengatakan jika kesenangannya adalah melihat wajah bodoh Darren hingga dia menangis meraung. Sungguh luar biasa sekali Morgan mempermainkan ketakutan dirinya.
"Tapi terima kasih sekali atas bantuanmu. Aku akan memutuskan Kathleen hari ini biar kau bisa menjadi pacarnya secepatnya," ucap Darren yang sekarang membisikkan perkataan ke telinga Morgan.
"Apa? Bukankah kau ini mencintainya? Kenapa mudah sekali bagimu untuk memutuskannya?" tanya Morgan dengan mata melebar.
"Ya berkatmu aku sadar jika rasa cintaku kepada Kathleen sudah menghilang dan aku tidak ingin menyakitinya lebih lama dengan mempertahankannya di sisiku," jawab Darren dengan yakin.
Masih dapat Darren lihat raut wajah terkejut Morgan lalu marah sebelum akhirnya meludah ke bawah seakan perkataannya ini adalah hal yang sia-sia.
"Kau tahu Darren, sikap sombong mu ini yang akan menghancurkan dirimu," ucap Morgan lalu melangkah menjauhi Darren meninggalkannya dalam seribu tanya yang menggantung.