Part 7

1108 Kata
"Selamat malam Tuan Sky," ujar lelaki itu menghampiri. Aku bergegas turun dari mobil lalu membantu memapah Tuan Sky ke dalam. Aneh, mengapa tubuhnya terasa begitu berat bahkan diangkat oleh dua orang. Hem, sepertinya ada yang tidak beres. Kulihat kesamping, ternyata lelaki itu tidak ikut memapahnya. Ow, Jadi begini, Tuan Sky sengaja mengerjaiku? Tunggu kau akan kubalas. Dalam hitungan ketiga kulepaskan rangkulannya. Rasakan, kau! Seketika lelaki paruh baya yang tak jauh disisinya segera menangkap. "Tuan Sky, apa Anda baik baik saja?" "Aw, pinggangku!" Ck ck ck, ternyata setampan apapun wajahnya, kalau sedang meringis kesakitan, jelek juga ya? "Nona, Apa yang anda lakukan pada Tuan Sky?" Aku tersenyum kecut sembari memainkan rambutku, lalu kulirik Tuan Sky yang masih kesakitan. Matanya tajam menatapku. Giginya merapat. "Akan kubalas kau! Aw,...." teriak Tuan Sky, sembari memegangi pinggangnya. Hah, Jalan saja harus dipapah, bercita-cita ingin membalasku? Nikmat saja deritamu. Enak saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Dasar otak m***m. Lelaki paruh baya itu membaringkan Tuan Sky di tempat tidur. "Mag Opi, carikan penghulu, bawa dia kesini. Sekarang!" "Pe-penghulu, Tuan?" "Apa gajimu tidak cukup untuk membeli korek kuping?" "Ma-maaf, Tuan. Baik, akan saya bawa penghulu ke sini." Ragu ragu, Mag Opi meninggalkan kamar. Keningku berkerut, mataku menyipit menatapnya. Dasar sinting! Sedang kesakitan begitu, masih saja ingat mencari penghulu. "Menikah sekarng?" "Iya, kau harus betanggung jawab merawatku. Bukankah ini usulmu meninggalkan rumah sakit? Jadi malam ini juga kita harus menikah!" "Apa hubungannya merawatmu dengan menikah?" "Tentu saja ada! Memangnya kau mau tidur sekamar denganku tanpa menikah? Mungkin Mossa mau melakukannya, tapi aku tidak. Aku bukan laki laki murahan!" Sialan nih, orang! Bicara nggak pake mikir! Mulutnya minta disumpel pake kain pel. Hem, baiklah, mungkin ada cara lain untuk membuatnya diam. Aku memasang wajah bengis berjalan mendekati kakinya. Membunyikan jariku satu peratu. Aku memasang kuda kuda bersiap melayangkan satu tinjuan ke kakinya yang terbalut perban. "Nona Aila, Jangan! Kau ini, kenapa kakiku terus yang kau incar?" Reflek ia menarik kakinya. Wajahmya meringis menahan sakit. "Katakan Ampun!" ujarku sembari naik ke tempat tidur. Mataku tajam meliriknya, kepalan tanganku menggantung di atas luka kakinya." "Kau ini agrsif sekali. Apa kau tidak sabar menunggu sampai penghulu datang?" Dasar otak m***m! Tanpa aba aba, kutepak luka di kakinya. Sontak dia berteriak. Wajahnya memerah, matanya melotot memandangku. "Lagi?" tanyaku dengan wajah datar. "Cukup. Aw, sial! Kenapa ada wanita sepertimu? Siapa yang membesarkanmu?" Masih nyinyir juga? Sepertinya tepakan tanganku tadi kurang kuat. Baiklah, akan kutambah. Kuangat tanganku, jemariku lurus siap menepak. "Nona Aila, jangan! Cukup. Sakit." ujarnya melindungi kakinya dengan kedua telapak tangannya. Matanya menatapku sayu. "Kumohon dengan sangat." ujarnya lembut. Astaga, mata itu. Kenapa terlihat begitu indah? Jantungku berdentuman tak beraturan. Sorot mata itu seolah baru saja melesat masuk ke pembuluh darah, membangunkan semua sendi yang sedang tertidur pulas. Cepat kupalingkan wajahku. Apa apain ini! Manaboleh aku terpesona pada lelaki plamboyan seperti dia. Dia bukan tipe-ku. "Permisi Tuan, Nona." Aku terkesiap dan menoleh kearah suara itu. Wanita paruh baya tadi, datang membawa nampan. "Silakan diminum, Tuan, Nona." ujarnya sembari meletakkan satu teko dan dua gelas di nakas. Setelah menuangkan minuman, ia kembali pergi meninggalkan kamar. "Mau minum?" tanyaku tanpa menoleh. Malas aku melihat wajah flamboyannya itu. Menjijikkan. "Boleh, kalau kau memaksa." Oh Tuhan. Menyebalkan sekali manusia satu ini. Mungkin ini alasannya dia belum nenikah. Tidak ada wanita yang tahan dengan mulutnya. Walau kesal, aku tetap mengambilkannya minum. Bibirnya terlihat kering. Aku tidak mau dia dehidrasi. Nanti aku juga yang repot. "Ini," ujarku menyerahkan segelas teh manis hangat. Dia meraih gelas dari tanganku, kemudian mensesep teh yang beraroma melati itu. Sesaat suasana, hening. Aku tidak tahu apa yang membuat Tuan Sky diam. Aku duduk membelakanginya, kakiku menjuntai ke lantai. "Nona Aila, Apa kau pernah merasa kesepian?" Hem, pertanyaan macam apa itu? Kesepian? Hah, bagaimana mungkin tinggal di kota yang sangat sibuk bisa kesepian? Memangnya tinggal di goa! "Tidak! Hidupku selalu sibuk, sesibuk ibu kota. Kenapa Anda bertanya begitu?" aku menggeser dudukku, menghadapnya. menaikkan satu kaki ke tempat tidur. "Tidak apa-apa, lupakan saja!" Dasar sinting! Ngapain nanya kalau tidak ada apa apa! Sesaat aku teringat tentang ucapan dua lelaki di kapal Nona Ezi. Apa benar dia mencintai adiknya sendiri? "Tuan Sky, apa nona Ezi adik kandung Anda? Dia menoleh lalu menghela napas. Ia merebahkan kepalanya bersandar di tumpukan bantal. Aku meraih gelas ditangannya lalu meletakkannya di nakas. "Bukan, kami saudara tiri. Dulu, saat masih remaja, ayahku dan ibunya saling jatuh cinta. Tapi karena tidak mendapat restu keluarga, keduanya berpisah. Ayahku menikah dengan wanita lain, dia lah ibuku. Dan Ibu Ezi menikah dengan lelaki lain, dialah Ayah Ezi. Kami tidak punya hubungan darah sama sekali." "Anda jatuh cinta padanya?" Dia mengangguk. Matanya sayu menatap lurus kedepan. "Kenapa tidak menikahinya?" "Untuk apa menikahi wanita yang hati dan cintanya bukan untukku?" "Anda kalah bersaing dengan Sean?" "Heh, lelaki pecundang Itu bukan sainganku! Ezi bersikeras kami satu ayah beda ibu." "Kenapa tidak melakukan test DNA?" "Sudah. Tapi dia tidak percaya hasil test itu. Dia menelan mentah mentah ucapan ibunya. Bahwa kami satu ayah." "Bukankah mereka sudah berpisah dan memiliki pasangan masing masing?" "Apa kau sepolos itu? Pertanyaan bodoh?" Emosiku kembali terpancing dibuatnya. Apa dia tidak bisa memilih kata yang lebih baik? Menyebalkan! Tanpa berkata apapun aku beranjak dari kasur lalu berjalan keluar. "Hei, kau mau kemana?" Aku tidak menjawab pertanyaannya persetan dengannya. "Aila....!" Aku tidak mempedulikan panggilannya yang masih terdengar di luar kamar. Aku berjalan ke pintu belakang. Angin malam berhembus meniup wajahku. Udara sejuk meredakan emosiku yang tersulut oleh mulut Tuan Sky. "Nona Aila, Tuan Muda memanggil Anda." Aku berbalik mendengar sapaan itu. Wanita paruh baya itu menatapku lekat. "Ck," malas aku berjalan ke kamar Tuan Sky. Sesampainya di depan kamar, aku terperanjat. Mataku tajam menatap Mang Opi dan 3 lelaki berbaju koko duduk didekatnya. "Masuk Non Aila." ujar wanita paruh baya yang akhirnya kupanggil Bik Eni. Ia memegang sebuah selendang putih. Astaga, apa pernikahanku berlangsung begitu menyedihkan? Tidak ada pesta, tidak ada pelaminan, tidak ada gaun pengantin. Tuan Sky, kau sungguh keterlaluan! "Nona Aila, Mari, duduklah di sana." Bik Eni menarik tanganku. Aku mengikutinya menuju karpet lalu duduk disampingnya. Ia memakaikan selendang di kepalaku. "Tuan Sky, apa anda sudah siap?" Sekilas, kulirik Tuan Sky yang mengangguk sembari tetap berbaring di tempat tidur. Aku kembali menunduk saat Penghulu membacakan rukun sah nikah. Aku tertegun saat penghulu bertanya tentang siapa yang akan menjadi waliku. Kejadian delapan belas tahun sialam, kembali berkelebat dalam ingatanku. Aku terpisah dari Ayah dan bunda saat hanyut terbawa arus banjir bandang di sungai. "Nona Aila, Siapa wali Anda?" tanya Penghulu sekali lagi. "Saya tidak punya wali. Saya terpisah dari keluarga saat terjadi banjir bandang di desa saya tinggal." Sesaat suasana hening. "Aila Saraswati?" Mataku membulat menoleh pada Mag Opi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN