Dari mana dia tahu nama lengkapku? Kutatap wajahnya lekat, mencoba mengingat wajah yang tak asing di mataku. Tapi percuma, aku tidak bisa mengingatnya.
"Dari mana Anda tahu nama itu?" tanyaku mengkerutkan kening.
"Jadi benar Nona adalah Aila Saraswati yang hilang saat banjir bandang delapan belas tahun lalu?"
Aku bergeming menatapnya, mencoba mengingat wajah itu.
"Aila? Kamu kah ini, Nak? Kamu tidak mengenali kami lagi?"
Bik Eni menyentuh pundakku, matanya berkaca-kaca. Aku tidak berkedip memperhatikan wajahnya, mencoba mengingat paras itu. Apa mereka orangtuaku? Apa mereka sekarang setua ini?
"Aila, ini bunda, Nak! Bertahun tahun Kami mencarimu ke mana mana. Sampai akhirnya kami pasrah karena tidak pernah ada kabar tentang kamu. Dan sekarang kita dipertemukan di sini."
"Bu-bunda? A-ayah? Benarkah ini kalian?" mataku perih menatap keduanya bergantian. Rasanya tidak percaya aku menemukan mereka di sini.
"Aila..."
Mang Opi dan Bik Eni yang akhirnya kutahu mereka adalah orangtuaku, memelukku erat. Aku masih syok, tak percaya dengan semuanya. Sekilas aku melirik Tuan Sky, lelaki itu tidak berkedip memandangku. seperti melihat adegan m***m saja!
"Aila, kemana saja kamu selama ini, Nak?"
Aku terdiam, tidak tahu harus bercerita apa. Saat tersadar dari pingsan setelah terbawa arus sungai waktu itu, aku sudah berada di sebuah lembah terpencil. Disanalah aku dilatih ala militer. Jangan tanya dimana, sebab aku sendiri tidak tahu dimana tempat itu. Setelah lima belas tahun aku di tempa, mereka mengeluarkanku dari tempat itu dengan mata tertutup. Aku bergabung dengan Mossa menjadi anggotanya. Sampai saat ini aku tidak pernah kembali ke lembah itu.
Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu. Mereka tidak perlu tahu apa yang kualami di luar sana. Itu diluar kuasa mereka. Maaf, ayah, bunda, hanya senyum yang bisa kulontarkan pada kalian, sebagai ungkapan bahagiaku. Bahkan air matapun aku tidak punya. Aku tidak tahu cara menangis. Delapan belas tahun aku dididik ala militer, pantang bagiku menagis.
"Jadi ini Neng Aila yang hilang dulu?" tanya salah satu lelaki disamping ayah.
"Iya, pak haji. Ini Aila anak saya." jawab ayah mengangguk.
"Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu.... Jadi rencana pernikahan ini bisa kita lanjutkan?"
Aku melirik ayah, wajah yang kini tampak tua itu, hanya menunduk. Begitupun bunda. Keduanya seolah menunggu perintah Tuan Sky. Aneh. Setakut inikah mereka pada Tuan Sky? Apa yang mengerikan dari lelaki flamboyan seperti dia?
"Tuan Sky, apa begini cara Anda melamar anak orang? Apa karena orangtua saya pelayan Anda, sehingga Anda tidak merasa perlu unggah ungguh pada mereka?"
"Aila, jangan begitu pada Tuan Sky!" mata ayah melotot memandangku. "Maafkan anak saya Tuan Sky,"
Hah? Kenapa ayah yang minta maaf? Konyol! Ada apa dengan mereka semua? Apa kekayaan Tuan Sky begitu memukau sehingga tidak ada yang berani membantahnya? Aku jadi penasaran ingin mengenalnya lebih dekat. Baiklah mari kita lihat seberbahaya apa dia?
"Aila Saraswai? Jadi kau gadis jelek ingusan itu? Hah, kalau bukan karena terpaksa, tidak mungkin aku mau menikahimu!"
Sialan! Dari mana dia tahu masa kecilku? Siapa dia? Apa dulu kami salaing kenal? Gigiku merapat memandangnya. Sayang, dia jauh dari jangkauanku, kalau dekat, pasti sudah kutepak luka di kakinya.
"Silakan dimulai Pak Haji!" ujar ayah sembari sedikit membungkukkan kepala.
"Baiklah.... Nona Aila, apa mas kawin yang Anda inginkan?"
Mas kawin? Yes! Saatnya memeras Tuan takur itu! Hem, bagaimana kalau villa ini. Tampaknya bagus? Kulirik Tuan Sky yang menunggu jawabanku.
"Bagaimana kalau mas kawinnya Vila ini?" ujarku menatap Tuan Sky
"Apa? Dasar preman, tukang peras!"
Matanya melotot memandangku, giginya gemertuk. Dia pikir aku takut melihat biji matanya yang indah itu? Flamboyan!
Mataku bergantian menatap ayah, bunda dan ketiga lelaki berbaju koko di samping ayah. Mereka tanpak tegang. Mataku beralih lagi pada Tuan Sky yang masih melotot padaku.
"Keberatan? Tidak masalah. Berarti tidak ada pernikahan! Impas bukan?"
"Ah, sial!" wajah Tuan Sky terlihat gusar. Sesaat kemudian dia menatapku sinis. Aku membalas tatapannya dengan senyum kemenangan. Kena kau!
"Bagaimana Tuan Sky, apa Anda bersedia memenuhi permintaan mas kawin Nona Aila?" tanya Pak Penghulu takut takut.
"Baiklah, Villa ini menjadi milikmu." ujarnya menatapku kesal.
Iyes! Hahaha.... Aku menang! Kalau begini adil bukan? Tidak masalah tidak ada pesta meriah.
"Mari kita mulai. Mang Opi, silakan berjabat tangan dengan Tuan Sky."
"Baik Pak Haji."
Ayah berdiri mendekati Tuan Sky, lalu membungkukkan kepalanya. Takut takut, ia menjulurkan tangan.
Tuan Sky meraih tangan ayah, ia tersenyum aneh padaku. Menjijikan. Apa yang dia pikirkan? Malam pertama? Hah, tidak semudah itu Ferguso!
"Saya nikahkan Putri kandung saya, Aila Saraswati binti Taufik dengan Mas kawin satu buah Villa, dibayar tunai!"
"Saya terima nikahnya Aila Saraswati binti Taufik dengan mas kawin satu buah vila dibayar tunai."
"Sah?" tanya penghulu kepada saksi.
"Sah!" jawab yang lainnya.
"Sekarang Tuan Sky dan Nona Aila sah sebagai suami istri." ujar penghulu.
"Alhamdulillah," sahut yang lain.
"Silakan di cicipi kopi dan kudapannya, Pak Haji." ujar bunda menyodorkan benerpa makanan ringan.
Sesaat suasana menjadi cair. Masing masing sibuk menikmati secangkir kopi dan cemilan seadanya.
"Nona Aila silakan cium tangan suami Anda!" pinta penghulu padaku.
Baru saja aku ingin beranjak, Tuan Sky angkat bicara.
"Tidak usah! Nanti tanganku kotor kena ludah!"
Seketika penghulu dan tiga saksi itu menutup mulut menahan tawa. Wajah mereka sampai merah padam.
Hem, enaknya diapain tuh orang? Apa dia tidak tahu pil kina rasanya pahit? Mungkin nanti dia perlu mencobanya.
"Baiklah, Tuan Sky, tugas kami sudah selesai, kami izin pamit. Ketiganya berdiri kemudian memberi selamat kepadaku ayah dan bunda. Kepada Tuan Sky mereka hanya membungkuk tanpa berani menyentuh tangannya.
Aku membantu bunda membersihkan kamar. Setelah selesai, kami duduk di teras belakang. Delapan belas tahun terpisah, membuat kami ingin berbincang lebih lama.
"Aila, kenapa kamu bisa bersama tuan muda?"
"Saya pengawalnya, bun."
"Apa? Pengawal?"
Mata ayah dan bunda membulat memperhatikanku dengan seksama dari ujung kepala hingga ujung kaki. Apa yang aneh? Keduanya menelan ludah dengan ekspresi ngeri.
"Ayah dan bunda tidak tahu apa yang kamu alami di luar sana selama delapan belas tahun, hingga membuat kamu jadi begini. Tapi apapun itu, ayah bersyukur, kamu selamat dari bencana itu."
"Maksud ayah jadi begini? Apa ada yang salah sengan saya?"
Ayah dan bunda saling pandang, lalu keduanya tersenyum.
"Kamu nggak ingat kalau dulu kamu cewek banget? Sukanya main boneka dan masak masakan. Penakut, cengeng. Dan ingusan." ujar bunda senyum senyum.
Masa sih, masa kecilku sesuram itu? Jadi benar apa yang dikatakan Tuan Sky kalau aku ingusan?
"Memangnya Tuan Sky itu siapa sih? Kok tahu masa kecil saya?"
Ayah dan bunda tersenyum memandangku.
"Kamu nggak ingat sama tuan muda?"
Aku menggeleng,
"Kalau anak lelaki berjas hitam yang kamu sebut pangeran, kamu ingat?"
Hem, otak ku berpikir keras mencoba mengingat sesuatu. Sekilas, bayangan pesta meriah dan wajah anak lelaki berbaju hitam yang tampan, berkelebat dalam ingatanku.
"Anak lelaki itu, dia?" tanyaku dengan mata membulat.
Ayah dan bunda mengangguk. Ow. Jadi dia pangeran kecil itu. Hah, pantas saja gayanya angkuh. Memang bawaan orok!
"Aila...." dari dalam terdengar suara Tuan Sky memanggilku.
"Ayo, Aila, cepat ke sana!"
"Baik, bun. Permisi!"
Aku melangkah menuju kamar Tuan Sky.
"Kukira dengan menikahimu, kau akan merawatku lebih baik. Ternyata jauh lebih biruk!"
"Mau jadi duda, hm?" tanyaku dengan wajah datar.
Seketika matanya membulat menatapku.